Jalanhijrah.com- “Bagaimana kehidupan perempuan yang dalam sebuah keluarga tidak ada seberapa sosok laki-laki? Masak mau nunggu laki-laki untuk bisa beli makan di luar,” ucap lega salah satu peserta di sebuah forum yang sedang membicarakan peta khilafah di Indonesia.
Peserta lain juga berkomentar begini, “Beberapa waktu ketika di mediaku membahas tentang isu perempuan dan Afghanistan , netizen dari kelompok sebelah justru menanyakan begini, emang pernah ke Afghanistan? atau pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Jadi media kami bingung banget untuk meresponnya,” tulisnya dengan nada yang cukup menjengkelkan.
Pertanyaan reflektif di atas adalah sebuah penyadaran kepada kita semua tentang bagaimana memaknai ruang wacana yang cukup masif. Media sosial memberikan ruang yang sangat bagi setiap individu dalam menyuarakan keyakinan dan pendapatnya. Misalnya dalam sebuah contoh kampanye hitam di media sosial. Satu orang memiliki 100 akun instagram. Apabila ada 100 orang dalam sebuah komunitas, maka ada 1000 akun yang dimiliki untuk memuat dan mengkampanyekan sebuah topik. Termasuk ketika isu agama yang sangat rentan di masyarakat. Ketika aktivis khilafah dalam wacana di media sosial menguasai ruang yang sangat luas dengan representasi pengikutyang sangat banyak, maka strategi media sosial di atas perlu kita tiru agar mampu menggemakan wacana keislaman yang ramah kepada semua kalangan.
Kelompok-kelompok aktivis khilafah yang selama ini memperjuangkan pendirian negara Islam selalu meragukan omongan Taliban sebagai representasi pemerintahan Islam. Padahal sebenarnya, ketika menentang sistem pemerintahan Islam masa sekarang, kehadiran Taliban justru menjawab secara nyata bahwa pemerintahan Islam yang diusung oleh kelompok khilafah justru membuat negara terjun ke dalam jurang.
Saya justru selalu penasaran mengapa aktivis khilafah yang bergerak di media sosial dengan followers-nya yang banyak, memiliki massa di media sosial berjuta-juta tidak pernah mengakui kekejaman Taliban yang berdiri tegak atas nama Islam. Sebab kalau dilihat dari berbagai kejahatan Taliban, sistem pemerintahan yang dilaksanakan sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam, tidak manusiawi dan sama sekali tidak memberikan ruang bagi perempuan.
Salah satu kebijakan Taliban adalah melarang perempuan berpendidikan. Padahal Islam justru memberikan ruang bagi perempuan untuk belajar dan kesempatan berpendidikan. Menuntut ilmu (belajar) merupakan salah satu tujuan syari’ah ( maqasid syari’ah ) yakni menjaga akal agar tetap sehat dan waras. Artinya, laki-laki ataupun perempuan punya kewajiban untuk menuntut imu dan menggunakan potensi yang diberikan Allah semaksimal mungkin. Dengan demikian, pemerintahan Taliban yang berkedok Islam, hanyalah sebuah pembingkaian semata, di mana sama sekali tidak menunjukkan nilai-nilai Islam semata.
Dari sini kita mampu memahami bahwa, warisan pemerintahan yang menggunakan Islam, hanyalah sebatas kata ‘Islam’ saja, tanpa menerapkan nilai-nilai Islam yang berkeadilan dan berkemanusiaan.
Ajakan Jihad dan Perang
Tidak bisa dipungkiri bahwa, keberadaan Taliban dalam mengambil kekuatan di Afghanistan menjadi inspirasi bagi para jihadis di dunia untuk menenangkan dan melakukan aksi serupa agar bisa menjalankan misi yang sama. Perang yang dilakukan di Afganistan dan fatwa ulama Wahabi berjihad secara personal tidak hanya meginspirasi kelompok Salafi menjadi jihadis temporer, tetapi juga legitimasi untuk penyebaran ideologi terorisme ke seluruh dunia.
Di Indonesia, seperti kelompok-kelompok Islam Abu Bakar Ba’asyir misalnya, menyebarkan dan melarang ideologi jihad dan teror melalui pengajian, majelis taklim dan memilih berseberangan dengan pemerintah. Ba’asyir merupakan mantan aktvisi Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam, dan pendiri ponpes Ngruki telah ditunjuk sebagai Amir Jamaah Islamiyah (JI), sayap Al-Qaeda di Asia Tenggara.
Perubahan peta politik terorisme global berpengaruh terhadap peta lokal jihadir di Indonesia. kehadiran ISIS yang mengganti posisi Al-Qaeda khususnya ketika pasca penangkapan dan pembunuhan Osama bin Laden, memberikan dampak pada gerakan terorisme global dalam melakukan siasat atas kaderisasi yang dilakukan oleh kelompok jihadis di Indonesia.
Dengan demikian, maka kemenangan Taliban atas Afghanistan merupakan contoh yang paling kuat dalam memberikan pemahaman bahwa khilafah gagal dalam menciptakan kemashlahatan dan tidak memberikan contoh yang konkret sebagai percontohan negara Islam.
Kita selalu senantiasa belajar dari setiap pengalaman dan contoh yang baik. Termasuk dalam percontohan sebuah pemerintahan yang selalu dikampanyekan oleh aktivis khilafah. Selama ini, sistem khilafah yang disuarakan di Indonesia, selalu menyajikan narasi yang absurd dan imajinatif. Taliban adalah contoh bahwa kesejahteraan negara Islam belum terjamin, bahkan sebaliknya. Mejarakan perempuan, tidak menganggap bahwa perempuan adalah manusia, dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Wallahu a’lam
*Penulis: Mullifah Magister Mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Bisa disapa melalui instagram @muallifah_ifa