Jalanhijrah.com- “Siapa pun yang mampu menangkap spiritualitas keesaan Allah dalam ibadah haji, ia tidak akan membiarkan jiwanya jatuh ke dalam kehinaan dan represi.”
Demikian ungkapan menantu Rasulullah yang merupakan suami dari Sayyidah Fatimah az-Zahra, Sayyidina Ali, setelah melaksanakan ibadah haji dengan beberapa sahabat di masa kepemimpinannya.
Ibadah haji bukan hanya sekadar lembaran sejarah yang harus diisi oleh kehidupan seorang muslim. Haji juga bukan sekadar sepetak lahan di jazirah gersang bernama Hijaz, yang tiap tahun dihadiri oleh jutaan umat manusia. Bukan juga hanya sekadar rangkaian amal ibadah dengan tata cara ketat yang harus dijalani oleh seorang muslim. Lebih dari itu semua, ibadah haji adalah rahmat Ilahi yang diturunkan tiap tahun, pada waktu-waktu tertentu. Jauh di balik berbagai tata cara ibadah yang indah itu, tersembunyi rahasia, idealisme dan hikmah yang sangat besar.
Haji: Kesamaan dan Kesamarataan
Makna sosial yang bisa diambil dari pelaksanaan ibadah haji adalah kesamaan (musawa) di hadapan Allah dan lambang persatuan dan kesatuan umat. Tidak ada perbedaan pejabat dengan rakyat jelata, orang kaya dengan orang miskin, kulit hitam dengan kulit putih dan berbagai status sosial lainnya yang selama ini dibanggakan manusia. Ajaran ini tercermin sejak orang yang melaksanakan ibadah haji memasuki miqat.
Di sini mereka harus berganti pakaian karena pakaian melambangkan pola, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Pakaian kadang menciptakan batas palsu yang tidak jarang menyebabkan perpecahan di antara manusia. Selanjutnya, dari perpecahan itu timbul konsep “aku”, bukan “kami atau kita”, sehingga yang menonjol adalah kelompokku, kedudukanku, golonganku, sukuku, bangsaku, dan sebagainya yang mengakibatkan munculnya sikap individualisme. Penonjolan “keakuan” adalah perilaku orang musyrik yang dilarang oleh Allah.
Selain itu, haji merupakan aktualisasi ketakwaan. Pada bulan Ramadan, kita menjadi tamu Tuhan. Sedangkan bulan Dzulhijah, saatnya kita mendatangi Rumah Tuhan (Baitullah). Pada detik-detik terakhir haji itulah, kita tunjukkan loyalitas (dalam makna lahir) dan peleburan eksistensi (dalam makna batin) dalam wujud penyembelihan hewan kurban kepada-Nya.
Berkunjung ke Baitullah, dengan harapan Tuhan menyambut dan mengakui sebagai tamu-Nya yang sah. Imaji kita sebagai tamu yang diundang bisa berubah menjadi tamu tak diundang ketika syarat-syarat sebagai tamu tidak kita penuhi. Maka Tuhan menyuruh kita menapaktilasi prosesi penghambaan Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Selama ziarah agung berlangsung, kita diuji dengan cara kita bergabung dengan tamu-tamu Tuhan yang lain dari segala bangsa, mazhab, warna kulit, jenis kelamin. Maka haji menjelma dalam wujud lain sebagai ajang silaturahim, transformasi informasi dan pengetahuan, menguatkan solidaritas dan konsolidasi akbar antar umat Islam sedunia.
Tetes keringat dan aroma ketiak yang kita keluarkan adalah sekadar uap ketika tidak ada sikap egaliter dan keterbukaan batin untuk melihat segala perbedaan dan menghargai pluralitas sosial yang eksis di masyarakat.
Haji: Simulasi Padang Mahsyar
Tidak hanya itu, haji juga merupakan miniatur dan momentum simulasi mahsyar. Setiap insan dikembalikan kepada nature-nya. Tak dibenarkan menyandang atribut apapun selain “muhrim” (orang yang berihram). Kain putih yang melilit tubuh setiap pelaku haji merupakan seragam resmi yang secara otomatis menggerus semua perbedaan dan simbol-simbol kapitalistik. Siapapun dia, harus merasakan derita. Wukuf adalah latihan antri untuk audit. Padang Arafah adalah altar raksasa yang menampung seluruh umat manusia yang berjajar menanti auditing dan investigasi oleh pansus yang tak bisa anti suap.
Dalam kitab-kitab fikih klasik maupun kontemporer, orang yang sedang menunaikan ibadah haji tidak diperkenankan menggunakan parfum dan ‘semua sarana pamer dan kepura-puraan’. Ia juga dikenai denda berat bila menununjukkan sikap narsis atau congkak dengan bercermin. Ia bahkan tidak diperkenankan menutup kepalanya agar sengatan sang surya yang menusuk kulit kepalanya menyadarkannya akan peristiwa kolosal mahsyar.
Haji juga mengajarkan cinta lingkungan, tak dibenarkan membunuh nyamuk sekalipun atau mencabut tanaman hanya iseng. Ia juga mesti menjalani kehidupan bebas seks dan kesenangan baik secara imajinal maupun fisikal. Dan, yang terpenting lagi, pelaku haji harus bisa menunjukkan sikap tegas dengan menolak segala kejahatan, kezaliman dan kebatilan yang dituangkan dalam prosesi bara’ah saat melempar jumrah.
Fenomena inilah yang ditakuti setiap penguasa yang arogan lagi zalim. Unjuk kekuatan di mana pun itu politis. Mobilisasi umat Islam terbesar ini pun adalah juga politis. Pesan Tuhan menjadi gamblang. Haji yang diterima Tuhan, haji mabrur, adalah jihad fisabilillah. Bahwa syarat jihad adalah ketika kita menyatu bersama dan meresapi betul problem keumatan. Karena haji adalah penegasan tauhid, penafian terhadap selain Tuhan, terhadap segala bentuk kekuasaan arogan lagi zalim. Semestinya gelar haji/hajjah di depan nama orang adalah simbol bagi keberanian melawan setiap penindasan. (AN)
Penulis