Habib yang Saya Idolakan, Kamu yang Mana?

Jalanhijrah.com – Istilah “habib” bukanlah sesuatu yang asing terdengar di Negara Indonesia. Meski, ia bukan negara Islam. Ketika mendengar sebutan “habib”, pasti yang terlintas di benak banyak orang adalah mereka termasuk ahlul bait atau keturunan Nabi. Meski, tidak semua orang tahu, bahwa habib termasuk keturunan Nabi dari Sayyidah Fathimah.

Pertanyaannya, haruskah kita menghormati habib? Masihkah penghormatan itu tetap ditegakkan jika habib berpemikiran yang berbeda atau “nyentrik” dengan kebanyakan orang? Kedua pertanyaan ini sebenarnya berangkat dari perbedaan mindset seputar paham keagamaan antar para habaib.

Disebutkan dalam surah asy-Syura ayat 23: Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.

Ayat tersebut, sebut Ibnu Abbas, memiliki kaitan dengan pembahasan ahlul bait. Meski, di sana tidak disebutkan secara tersurat kewajiban menghormatinya. Tapi, Nabi Muhammad pernah bersabda: Sesungguhnya aku menitipkan kepada kalian dua perkara yang berat, yaitu Kitabullah dan keturunanku (ahli baitku), dan sesungguhnya keduanya tidak dapat dipisahkan sebelum keduanya sampai di telaga(ku).

Pesan Nabi itu menegaskan kewajiban memperlakukan habib dengan sikap yang mulia. Karena, mereka berasal dari keturunan yang suci dari ahli bait yang paling mulia di muka bumi ini dipandang dari segi keturunan, kedudukan, dan kebanggaannya. Di antara sikap menghormati habib adalah tidak menghinanya, merasa senang dengan kehadirannya, dan memandangnya seakan memandang Nabi.

Baca Juga  Paradoks Media Sosial; Antara Validasi Kebenaran dan Polarisasi Kebencian

Di Indonesia cukup sering kita bertemu habib. Di antaranya, Habib Muhammad Quraish Shihab. Meski, dia sendiri kurang berkenan dipanggil habib, karena dia dengan kerendahan hatinya merasa belum pantas menyandang status yang cukup mulia itu. Habib, baginya, adalah sosok yang mencintai orang lain dan dicintai oleh mereka.

Beratnya menyandang status habib, meski dalam dirinya mengalir darah Nabi, Habib Quraish Shihab lebih senang dipanggil dengan sebutan “Profesor”. Karena, sebutan ini benar-benar diraihnya dengan kesungguhan belajar dan berkarya yang dia lalui. Tidak heran jika Prof. Quraish Shihab menyatakan, cukuplah saya dikenal karena dua hal: akhlak dan karya yang dibuatnya.

Terus, bagaimana dengan akhlak Prof. Quraish Shihab? Bagi saya, standar akhlak dapat dilihat dari pesan Nabi Muhammad Saw., bahwa muslim yang baik adalah mereka yang mampu menjaga lisan dan tangannya menyakiti orang lain. Mereka merasa tenteram berada di sisinya. Prof. Quraish Shihab dalam pandangan saya termasuk salah seorang habib yang mampu meneladani pesan Nabi tersebut.

Hal itu dibuktikan dengan sikap tawaduk Prof. Quraish Shihab meski dia sendiri tidak sependapat, apalagi tidak seiman dengan orang lain. Dalam ranah keimanan, Prof. Quraish Shihab memperlihatkan penghormatan mereka dengan keterbukaannya dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Bahkan, dalam beberapa karyanya, termasuk Tafsir Al-Mishbah dia sering mengutip pesan yang diambil dari Bibel, kitab orang Kristen.

Baca Juga  Aktivis Khilafah Masih Menunggangi Isu Palestina?

Di samping itu, dalam ranah pemikiran Prof. Quraish Shihab sangat menghargai dengan tidak menyesatkan, apalagi mengkafirkan orang yang berbeda pemikiran. Bahkan, saking tawaduknya dia selalu berkata “bisa jadi” dalam beberapa pendapatnya. Sisipan tersebut mengisyaratkan bahwa pendapat yang diutarakan belum tentu benar sehingga tidak masalah jika dilakukan kajian ulang.

Selain Prof. Quraish Shihab, mungkin kita kenal Habib Luthfi Pekalongan. Gaya dakwahnya persis Prof. Quraish Shihab. Satu sisi yang saya perhatikan dari dakwah Habib Luthfi adalah sikap kebangsaannya yang sangat tinggi. Memperjuangkan tanah air, baginya, adalah suatu keharusan yang tak terbantahkan. Semangat juang ini dibawakan dalam setiap dakwah dengan tidak menjelekkan pemerintah yang sah dan tidak memprovokasi umat.

Semangat kebangsaan yang dimiliki Habib Luthfi persis yang dilakukan Gus Dur semasa hidupnya. Gus Dur termasuk orang yang tidak terima jika ada kelompok separatis yang bersikeras menghancurkan tanah air Indonesia. Indonesia, bagi Gus Dur, adalah tempat di mana ia dilahirkan. Ia adalah rumah yang ia bangun. Sungguh sangat tidak masuk akal jika ada pribumi yang nekat merusak rumahnya sendiri.

Sebagai penutup, menghormati habib itu adalah suatu keharusan. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah mencari habib yang berilmu dan berpemikiran moderat, sehingga setiap dakwahnya dapat membawa kita menjadi umat yang selalu berada dalam jalan kebenaran.[] Shallallah ala Muhammad.

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *