Gus Dur (1940-2009) sudah meninggalkan kita tapi memberi cerita-cerita yang kadang belum lengkap untuk menjadi album kenangan. Cerita penting teringat mumpung 2025: “makan gratis”. Dulu, Gus Dur pernah ikut “makan gratis”. Ia bukan pencetus kebijakan makan (bergizi) gratis. Sejak 6 Januari 2025, nama Gus Dur tentu tak melekat dengan selebrasi makan bergizi gratis di seantero Indonesia. Kita sengaja mengingat Gus Dur “makan gratis” agar sejarah tak sekadar penggalan-penggalan.
Pada suatu hari, Gus Dur diselamatkan dari suguhan (mengandung) babi. Konon, olahan daging babi itu lezat. Gus Dur sengaja digagalkan agar tak menikmati makanan haram merujuk ajaran Islam. Gus Dur dan babi itu menjadi berita kecil dalam majalah Hai, 5-11 Februari 1985. Kita menduga berita sudah lama terlupakan. Berita penting saat kita kepikiran makan (bergizi) gratis dan pergaulan intelektual.
Onghokham selaku sejarawan dan juru masak memberi keterangan kepada Gus Dur: “Jangan khawatir. Semua makanan yang ada di atas meja ini ditanggung halal. Jangan takut. Ayo, silakan coba.” Sosok santun dan suka berbagi. Sejak lama, Onghokham biasa mengundang teman-teman dan para mahasiswa menikmati beragam makanan di rumah. Ia tampil sebagai juru masak agar sekian lidah menikmati kelezatan. Peracik sejarah itu terbukti mahir dalam memasak.
Gus Dur termasuk menjadi tamu saat Onghokham mengadakan pesta kecil di rumah. Si juru masak memiliki pertimbangan dalam sajian makanan berdasarkan kehadiran teman-teman. Gus Dur itu tokoh besar bagi umat Islam di Indonesia. Onghokham ingin membahagiakan Gus Dur dengan cara memahami kaidah-kaidah makan bagi kalangan Islam.
Kita mengutip pengakuan Onghokham: “Demi kiai, demi menghormati Cak Dur yang punya pengikut lima juta orang. Bayangkan jika lima juta orang itu memusuhi saya.” Perkataan itu kejujujuran disampaikan sambil tertawa. Ia memastikan tak ada kandungan babi dalam beragam makanan untuk pesta kecil. Ia sadar makanan bakal berdampak untuk kehormatan Gus Dur dan NU. Pesta itu tanpa daging babi.
Kita mengutip masalah makanan dalam Islam melalui penjelasan Abdul Basith Muhammad (2016). Ia mengukuhkan: “Pengharaman daging babi sudah menjadi kesepakatan para ulama (ijmak) karena telah ditetapkan oleh nas-nas Al Quran dan sunnah.” Penjelasan pun merujuk sains: “Daging babi mengandung banyak lemak dan kolesterol, yang berbeda sekali dengan hewan-hewan pemakan rumput. Lemak itu akan melekat di dinding pembuluh darah yang berakibat mengerasnya dinding pembuluh, yang menyebabkan naiknya tekanan darah, melemahnya otot jantung, dan lemahnya aliran darah ke otak.”
Pada saat Onghokham mengundang para intelektual pesta makanan di rumah, urusan-urusan berkaitan agama mungkin tak dibicarakan panjang dan serius. Mereka menikmati makanan sambil membuat percakapan-percakapan mengenai (situasi) Indonesia. Kaum intelektual terbiasa omong-omong politik, sejarah, filsafat, atau sastra sambil pesta makan. Mereka pun tak lupa bergosip agar hidup makin “lezat”. Pesta makan dan percakapan tanpa olahan daging babi tak mengurangi mutu. Kita tak memiliki catatan jumlah kehadiran Gus Dur di rumah Onghokham bermisi “makan gratis” dan diskusi.
Kita mengartikan Onghokham itu pembuat kebijakan makan gratis bagi intelektual, jurnalis, mahasiswa, dan seniman di Indonesia. Ia ingin berbagi kelezatan setelah rajin menulis kolom-kolom di Tempo, Prisma, dan Kompas. Kesaktian memasak “kata” membuat ia menjadi panutan bagi orang-orang ingin mengerti sejarah. Keunggulan dalam urusan dapur makin menjadikan Onghokham itu sosok penting dalam jalinan pengetahuan dan masakan.
Di buku berjudul Tetap Jadi Onghokham: Sejarah Seorang Sejarawan (2024) susunan David Reeve, kita mendapat beragam kutipan mengenai Onghokham, makanan, memasak, dan pesta. David Reeve mengisahan: “Ong gemar menyelenggarakan pesta makan malam dengan sajian masakan, minuman, dan obrolan. Selain itu, dia juga mencoba memberi edukasi kepada orang-orang mengenai seni hidup.” Makan bersama dijadikan perwujudan misi bergaul dan pembuktikan menikmati hidup.
Situasi di rumah sengaja membuat teman-teman atau para tamu betah: “… awalnya akan dipersilakan duduk di beranda depan perpustakaannya. Kemudian berpindah ke paviliun ruang makan. Di sana, dijumpai rangkaian bunga dan barang-barang indah bernilai yang menjadi miliknya (perangkat alat makan malam berkualitas, gelas-gelas anggur yang berkilauan ditembus cahaya lilin). Semua itu disiapkannya untuk acara makan malam yang dihadiri 6-12 orang. Ada banyak obrolan dan tawa ria, gosip-gosip, maupun diskusi ilmiah. Kesemuanya bagai perhelatan seminar akbar.”
Kita berimajinasi kehadiran Gus Dur dalam pesta makan malam di rumah Onghokham makin sering menimbulkan tawa. Gus Dur “makan gratis” sambil memberi lelucon-lelucon gratis membuat orang-orang bergembira. Kenikmatan hidup itu makan dan tertawa tanpa ada menu haram. Kedekatan Gus Dur dan Onghokham ditentukan tulisan. Penjelasan dari David Reeve: “Ong, si pengelana kota, sering mampir ke kantor-kantor surat kabar, khususnya harian Sinar Harapan, tempat Aristides Katoppo bekerja sebagai editor, begitu pula mampir ke Tempo dan Kompas.
Pada 1984 dan 1985, Ong dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sering duduk berdampingan di meja kantor majalah Tempo.” Keakraban itu disahkan pengakuan Onghokham: “Sekarang, aku memiliki seorang teman muslim.” Tempo mempertemukan mereka. Kita mengandaikan persahabatan itu membenarkan sikap-sikap Gus Dur. Greg Barton (2006) berulang menjelaskan pembelaan Gus Dur untuk para keturunan Tionghoa dan orang-orang beragama berbeda di Indonesia.
Onghokham menganggap pertemuan dan persahabatan dengan Gus Dur mesti terbukti di atas meja makan. Kesadaran hukum makanan dalam Islam berpengaruh dalam keputusan Onghokham tak membuat olahan daging babi. Kita makin mengerti peristiwa silam tak sekadar pesta makan atau “makan gratis” tapi pergaulan Indonesia ingin rukun, bahagia, dan bermartabat. Begitu. Cetak PDF Bandung Mawardi Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah
*Artikel ini telah tayang di Arina.Id. Jika ingin baca aslinya, klik tautan ini: https://arina.id/human/ar-JLN4m/gus-dur-dan-sajian-makan-gratis-pak-onghokham