Jalanhijrah.com– Di mana ada konflik sosial-politik, di situ dipastikan radikalisme dan terorisme tumbuh subur. Sebagai gerakan politik yang dibangun di atas premis keagamaan, radikalisme dan terorisme memang selalu mengeksploitasi isu agama untuk mempropagandakan agendanya. Kaum radikal selalu berselancar di atas isu perbedaan mazhab, aliran dan praktik keagamaan dengan tujuan memprovokasi dan memecah-belah umat.
Gejala yang sama juga tampak dalam konteks Indonesia. Seperti kita lihat, saban kali isu agama menyeruak ke permukaan dan menimbulkan polemik publik, kaum radikal nyaris selalu tampil sebagai penumpang gelap. Mereka bersorak-sorai ketika umat Islam terpecah karena perbedaan pendapat atau afiliasi politik. Alih-alih mendamaikan, mereka terus mengipasi bara perpecahan itu dengan narasi hoaks dan provokasi.
Tujuannya tidak lain adalah agar bara perpecahan itu bereskalasi menjadi konflik sosial bahkan kekerasan massal. Kaum radikal, layaknya kaum kolonial, menggunakan metode devide et impera alias adu-domba untuk melemahkan integrasi sosial. Jika ikatan sosial itu merenggang, dan masyarakat hidup dalam situasi konfliktual, maka saat itulah benih radikalisme dan terorisme akan tumbuh subur.
Dalam konteks ini kita patut belajar dari negara-negara di kawasan Timur Tengah yang hari ini luluh-lantak oleh konflik antar-sesama anak bangsa yang dibingkai oleh sentimen isu agama. Indonesia, sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan kaya akan sumber daya alam sudah barang pasti merupakan target empuk kaum radikal. Terlebih, Indonesia dikenal sebagai negara multireliji dan multikultur.
Strategi Mencegah Eksploitasi Agama
Kekuatan tak terlihat (the invisible power) yang ingin menghancurkan bangsa ini dari dalam pasti ada. Maka dari itu, kita (masyarakat dan pemerintah) wajib membangun mekanisme deteksi dini untuk menghalau setiap potensi adu-domba dan provokasi mengatasnamakan agama. setidaknya ada tiga langkah untuk mencegah maraknya eksploitasi agama oleh kaum radikal-teroris.
Langkah pertama yang harus dilakukan ialah mengelola keberagamaan dalam konteks suku, ras, budaya dan agama dengan menciptakan kehidupan harmonis. Relasi sosial-keagamaan idealnya bertumpu pada sikap saling menghormati dan menjaga satu sama lain. Masing-masing entitas agama, suku dan ras harus memiliki kesadaran bahwa semuanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Relasi sosial-keagamaan yang harmonis ialah benteng untuk menangkal setiap anasir radikalisme dan terorisme yang berusaha memecah belah umat.
Dibanding negara mayoritas muslim lainnya, Indonesia patut bersyukur karena para pendiri bangsa telah mewariskan Pancasila sebagai kalimatun sawa’ alias titik temu antar-berbagai identitas. Pancasila ialah wujud dari negosiasi identitas keindonesiaan di satu sisi dan keislaman di sisi lain. Dalam paradigma Pancasila, keindonesiaan dan keislaman bukanlah suatu hal yang bertentangan, alih-alih menunggal dalam satu identitas.
Langkah kedua ialah mencegah upaya komodifikasi dan eksploitasi agama khususnya untuk kepentingan politik. Di banyak negara muslim, pecahnya konflik sosial-politik yang dibungkus baju agama dimulai manala agama diseret ke dalam panggung politik praktis. Politik identitas yang dibingkai ke dalam sentimen perbedaan agama lantas menjadi sumber perpecahan di kalangan umat.
Fenomena eksploitasi agama untuk kepentingan politik itu tampak di Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Kelindan antara politik identas dan populisme Islam telah melahirkan praktik politisasi agama paling brutal dalam sejarah Indonesia modern. Konsekuensinya ialah umat Islam kini terpolarisasi akibat perbedaan pilihan politik.
Langkah ketiga ialah membangun sinergi yang kuat antara pemerintah (umara), masyarakat (umat) dan tokoh agama (ulama). Ketiga elemen –umara, ulama dan umat– itu merupakan pilar atawa sokoguru tegaknya sebuah negara muslim. Tidak terkecuali dalam konteks Indonesia. Di titik ini, ulama, umara dan umat harus menjalankan perannya dengan sebaik mungkin.
Umara sebagai pemegang otoritas pemerintahan harus bersikap adil dan bijak dalam membuat kebijakan. Umara memiliki tanggung jawab untuk mengakomodasi semua kelompok agar tidak timbul kesenjangan ekonomi, sosial dan politik. Tersebab, kesenjangan inilah yang acapkali menjadi celah masuknya paham radikal-ekstremis.
Ulama sebagai waratsatul anbiya alias pewaris para nabi harus berperan menjadi teladan (role model) bagi umat sekaligus menjadi penyambung lidah yang menghubungkan relasi antara umara dan umat. Ulama, dalam struktur negara demorkasi modern idealnya menempatkan dirinya sebagai bagian dari civil society yang independen. Demikian pula, umat hendaknya menempatkan dirinya untuk selalu patuh pada umara dan menaati kebijakannya sejauh tidak keluar dari koridor agama.