Jalanhijrah.com – Dalam catatan hariannya, Pemahaman Islam yang Dinamis, 8 Maret 1969, Ahmad Wahib, salah satu pembaharu Islam asal Madura mengatakan, kendati telah diyakinkan bahwa kita adalah pemeluk Islam, belum tentu pikiran kita berjalan sesuai dengan Islam. Kata Wahib, kevakuman filsafat Islam telah menyeret kita sekadar menjadi Muslim emosional. Apakah ‘kevakuman filsafat Islam’ yang dimaksud Wahib ada kaitannya dengan fenomena terorisme yang marak hari-hari ini?
Saya pikir pernyataan Wahib tersebut patut untuk direnungkan. Gejolak pemikiran Islam di masa lalu sudah terkodifikasi menjadi literatur, yang mudah kita temui di rak-rak perpustakaan. Sayangnya, literatur berbahasa Arab (baca: kitab kuning) seringkali kita jadikan diktat, bukan sebagai produk pemikiran yang tentatif. Jika itu yang dimaksud Wahib sebagai kevakuman, tentu patut kita bersedih. Ternyata, rigiditas—juga radikalisasi—Islam juga disebabkan oleh kitab kuning itu sendiri.
Sungguhpun demikian, kita harus berterima kasih kepada kitab kuning. Sebagai kesinambungan rantai pengetahuan, penghubung kita dengan pemikir di zaman dengan konteks tertentu, perannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Di lembaga salaf, ia bahkan memiliki posisi sebagai rujukan sentral. Saking sentralnya, kebenarannya dipersepsikan sebagai yang absolut. Setiap ada orang baru ingin mempelajari Islam, ia dianggap recommended. Di tangan baru itulah, kitab kuning menjelma sebagai teks mati.
Dalam keadaan tertentu kita mesti bertanya: apakah itu menjadi awal mula radikalisme dan terorisme? Faktanya, di kampung-kampung, kitab para salaf al-salih menjadi pegangan otoritatif. Karya-karya Al-Ghazali semisal Bidayatul Hidayah dan Ihya’ ‘Ulumiddin adalah pedoman di bidang sufistik. Tak tanggung, keduanya, juga banyak yang lainnya, diposisikan persis ada di bawah otoritas Al-Qur’an dan hadis. Seorang mualim dengan lantang menyeru, menentang kitab tersebut bisa jadi murtad.
Bagaimana kitab kuning dikonstruksi oleh realitas partikular di masa lalu, serta bagaimana ia jadi produsen keberagamaan kita di masa kini, mencerminkan tingkat pemahaman kita tentang ajaran keagamaan itu sendiri. Sebagaimana radikalisasi disebabkan oleh pemahaman tekstual atas nas, kita juga sering lupa tentang kitab kuning; yakni kisaran temporalitas teks dan dinamika konteks kita.
Kitab kuning vis-à-vis Konteks Kita
Sebagai produk masa lalu yang menjadi diktat, kitab kuning membutuhkan tangan-tangan baik yang paham akan kontekstualisasi. Teks kitab kuning memang telah mati, tetapi konteks kita hidup. Kesenjangan teks dan konteks ini seringkali memicu lahirnya pemahaman yang radikal, dalam artian negatif. Doktrin salaf al-salih yang faktanya sudah tak lagi relevan dengan zaman kita harus direkonstruksi pemahamannya. Bagaimana ia memahami jihad dan term-term sensitif lainnya, tak bisa diterima begitu saja.
Berikut saya kemukakan sebuah contoh. Dalam kitab Sullam Taufiq-nya Syekh Abdullah ba ‘Alawi, yang disyarah Syekh Nawawi Banten, dikatakan bahwa siapapun yang mencuri di atas kadar empat dinar, maka tangan kanannya dipotong, hingga pergelangan. Jika mengulanginya, kaki kirinya dipotong. Jika kembali mencuri, tangan kirinya dipotong. Jika belum jera juga, kaki kanannya juga. Ketentuan tersebut merupakan perincian tafsir atas tuntunan Al-Qur’an, juga realitas pengarang kitab tersebut.
Masalahnya, apakah tafsir demikian masih relevan di zaman kita? Jelas tidak. Teks tersebut lahir dipengaruhi konteks abad pertengahan dan mainstreamtafsir di masa itu secara dialektis. Sedangkan pada saat yang bersamaan, konteks kita hidup hari ini sudah berbeda. Mencuri hukumannya adalah penjara. Meskipun hukuman potong tangan-kaki berbeda dengan penjara, tetapi ada kesamaan spirit: hukuman tersebut sama-sama bertujuan membuat pencuri jera.
Lalu di mana letak pengaruh kitab kuning terhadap terorisme? Yaitu pada pencukupan pemahaman tekstual tadi. Mempersepsikannya sebagai sumber kebenaran ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis, membuat seseorang bertindak radikal. Jihad, misalnya, yang dipahami sebagai perang melawan kafir tidak dikontekstualisasikan, dimaknai berdasarkan literal teks. Padahal setiap kitab kuning tetaplah sebuah tafsir. Sehingga jika tak relevan, dan kontekstualisasi juga tidak bisa, menolaknya adalah keniscayaan.
Kontekstualisasi; Sebuah Keniscayaan
Sebenarnya kontekstualisasi hanya dipakai untuk teks yang universal; Al-Qur’an dan hadis. Sementara itu, kitab kuning bersifat temporal. Kontekstualisasi yang dimaksud di sini sebatas apabila spirit dasar (al-ushul) masih bisa ditemukan. Teks dan konteks kitab kuning sudah usang, sehingga memahaminya begitu saja akan mengalami ketimpangan kontekstual. Dalam kondisi seperti itu, paham radikal-terorisme menemukan momentum.
Tetapi apakah bisa kita katakan, bahwa sejujurnya kitab kuning itu bertendensi melahirkan fenomena terorisme?
Jawabannya iya. Beberapa orang yang ahli kitab kuning, yang tidak ahli mengontekstualisasi, laku amaliahnya cenderung keras. Konteks kitab kuning umumnya ditulis adalah masa di mana Islam adalah superior, dan konfrontasi menjadi sesuatu yang afirmatif. Tetapi dalam konteks kita, di mana keberagaman melebur dalam status egaliter, konfrontasi adalah ide buruk. Adalah tepat bila dikatakan, secara hierarkis, kitab kuning ciptakan pemahaman rigid-eksklusif, dan eksklusivitas tersebut menjadi embrio terorisme.
Antara kitab kuning dan radikalisasi memiliki hubungan kausalitas-dialektis. Turat adalah satu stimulus lahirnya sikap radikal, dan pada tataran aksi, kekerasan serta aksi teror adalah konsekuensi logisnya. Di tengah kesenjangannya dengan kita proyek kontekstualisasi adalah alternatif. Tetapi jika tetap tidak memiliki relevansi, temporalitasnya menuntut kita untuk sama sekali menolaknya. Semua itu untuk membendung lahirnya terorisasi disebabkan rigiditas kitab kuning itu sendiri.
Tentu saya tidak menegasikan bagaimana kitab kuning menjadi penengah atas lahirnya pemikiran moderat dalam diskursus keislaman. Yang lama tapi baik (al-qadim al-shalih) harus berjalan beriringan dengan pembaruan yang representatif (al-jadid al-ashlah), yang kita sebut sebagai kontekstualisasi. Sebagaimana pernah saya katakan, radikalisasi bersemayam dalam mindset. Sedangkan mindset dipengaruhi, di antaranya, oleh doktrin keagamaan.
Oleh sebab itu, yang mesti diubah adalah mindset kita atas kitab kuning itu sendiri; bahwa ia temporal, tentatif, dan tak memiliki otoritas sebagai yang sakral seperti Al-Qur’an dan hadis. Dengan begitu, kitab kuning tidak akan jadi sumbu radikalisme dan terorisme. Justru ia akan menjadi jembatan bagi lahirnya moderasi Islam, di samping sebagai bukti khazanah peradaban Muslim. Tanpa itu, kitab kuning akan terkesan sebagai diktat menakutkan yang mencerminkan rigiditas keberagamaan dan juga sikap radikal-terorisme.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
*Penulis: Ahmad Khori