Jalanhijrah.com – Mendekamnya Habib Rizieq di penjara, adalah kesempatan emas bagi Habib Bahar bin Smith. Habib Rizieq kehilangan tahta, suara, panggung dan pengaruh bagi semua aspek yang ia telah ramu-canangkan bertahun-tahun. Panggung itu kini milik Habib Bahar. Singa podium telah tergantikan dan yang menggantikannya adalah Habib Bahar.
Jelas Habib Rizieq tak mungkin iri. Karena Habib Bahar sendiri menjalankan misi yang sama: mengkritik pemerintah untuk menjadikan NKRI Bersyariah. Keduanya berada dalam politik yang sama, tegak dalam politik Islam. Dalam beberapa ceramahnya, ia seperti telah menjadi orang satu. Dua-duanya pintar mengolah bahasa, berorator, lantang dan juga berani mengejek orang nomor satu di Indonesia dengan sikap misoginis.
Bahar Mengambil Panggung Rizieq
Usia yang relatif muda, Bahar mampu melakukan itu. Tak perlu berpikir panjang, di benaknya ia memang harus terlihat sangar, berani, dan pilih tanding. Dalam jajak rekamnya, Bahar dengan Majelis Pembela Rasulullah (FPI) pada 2020 telah melakukan razia Café De Most Pesanggrahan Jakarta Selatan. Di di banyak kasus, ia telah melakukan kekerasan kepada sopir taksi, melakukan kekerasan verbal dan mencela kepada kelompok yang liyan.
Apabila tindakan Habib Bahar tersebut diprotes oleh habib lain dan muslim yang lain, Bahar akan berlindung pada nama dan darah keturunannya. Argumentasinya, apa yang dijalankan Bahar sudah tepat karena ia habib pasti orang pintar, wong keturunan Nabi. Dan jika itu tetap dielak, maka kelompok Bahar akan mencap bahwa yang mengelak itu “anti-ulama, anti-habib, memusuhi ulama, dll.”
Namun, kerena demikian itulah Islam menjadi cemar. Habib Bahar yang selalu berceramah keras atas nama agama Islam, menjadikan Islam terlihat kerontang sifat sopan santunnya. Karena sikap Bahar itu, Islam bisa teranggap agama yang keras, suka mencela dan tidak mau mengalah. Islam terlihat seperti mengalami kebangkrutan akhlak.
Bangkrutnya Harmonisasi Islam
Bangkrutnya harmonisasi Islam bukan karena ajarannya. Melainkan karena sikap pemeluknya. Banyak contoh sikap yang bisa membangkrutkan harmonisasi Islam. Mencela adalah salah satu sikap yang sangat buruk. Agamawan sepakat bahwa itu adalah sesuatu yang bahkan bisa jadi penyakit keagamaan. Dan itu masuk dalam sikap-sikap ekstremisme agama.
Seperti kata Quraish Shihab, ucapan kasar saja seperti memaki, berbohong, dan menyebarkan berita bohong, menyebarkan isu negatif atau pujian yang berlebihan sudah terindikasi bahwa orang seperti ini mengindap perilaku keagamaan yang ekstrem.
Apalagi, melakukan tindakan dengan luapan emosi yang meronta-ronta (melampaui batas) sehingga tidak mengenali siapa dirinya dan orang lain dan menjadikan orang lain celaka, sangat tidak dikenali dalam ajaran Islam. Bahkan sikap itu dikecam Islam.
Ucapan kasar, menolak berdiskusi, merasa paling benar, dan lainnya memang sering keluar dari mereka yang banyak ibadahanya, tekun membaca Alquran, dan rajin salat malamnya. Namun demikian, seperti kata Quraish Shihab, semua itu menjadi kosong tanpa makna jika tidak dilandasi sikap toleran dan akhlak Islam. Berakhlak Islam adalah bertoleran, mengakui keberagaman, saling menghormati, dan saling cinta kasih satu sama lain.
Di sana tidak ada suara gaduh, dan prasangka yang buruk apalagi perilaku yang mencerminkan keburukan. Di sana juga tidak berlaku otoritas sosial seperti darah turunan kehabiban, turunan kiai, dan petani. Batas berakhlak dan tidak adalah perilaku yang baik dan tidak. Habib sekalipun jika perilakunya buruk, tetap ia bernilai keburukan.
Tuhan menurunkan Nabi hanya untuk menyempurnakan kemuliaan-kemuliaan berakhlak. Dan sepanjang tahun dari lahir hingga wafat, Nabi telah mempraktikkannya. Untuk perkataan yang kasar, Nabi telah menegaskan bahwa mencela manusia itu fasik dan membunuhnya tanpa ada alasan yang dibenarkan agama menjadi kekafiran. Ucapan Nabi tentu berlaku untuk siapa pun, termasuk pada seorang Habib dan Habaib.