Jalanhijrah.com-Berbicara masalah berita hoax, memang tiada ujungnya. Kenapa? Karena antara kubu positif dan negatif, dalam perkembangan digital selalu memiliki kecenderungan yang menonjol di antara keduanya. Berlatar belakang apa pun pengguna, tentu menanggung resiko sebagai pemegang otoritas tertinggi.
Tepatnya di bulan Februari lalu (02/2022), akun Facebook palsu berlogo ponpes al-Ishlah Sendangagung-Lamongan telah beredar. Namun, memajang foto gedung Mts al-Ishlah Bobos Cirebon.
Akun ini memposting gambar brosur penawaran pinjaman dana tanpa riba. Serta mengubah menjadi yayasan pinjaman dana al-Basyti dan tetap memakai nama ponpes al-Ishlah Sendangagung-Lamongan. Bernomor kontak Kyai Syamsuddin, dan tiada seorang guru dengan nama tersebut (alishlah.ac.id/16/02/2022).
Seiring berjalannya era perubahan sosial, pesantren harus sesegera mungkin menanggulanginya dengan menciptakan ruang kreativitas. Jihad algoritma adalah tawaran artikel ini agar dijadikan sebagai strategi bijak.
Apa itu Jihad Algoritma?
Istilah jihad algoritma, merupakan gagasan yang dihasilkan melalui potcats Habib Ja’far Husain bersama Gita Wirjawan. Ulasan singkatnya, bahwa bentuk ketertinggalan umat, diukur berdasarkan segi penguasaan media sosial. Terutama perihal algoritma (alif.id/02/01/22).
Program aplikasi – meliputi Facebook, Youtube, Instagram, dsb yang berjalan di komputer, laptop, notebook, smartphone, dan perangkat elektronik lainnya, tentu dirancang dengan analisis yang cermat. Ide dibalik semua program tersebut dikatakan algoritma.
Jihad tak selamanya diartikan dengan bentuk materi. Tapi, juga perjuangan intelektual, emosional, dan spiritual. Yang makna etisnya, bertujuan untuk menegakkan pengaturan entitas moral di muka bumi.
Maka, optimalisasi dalam memproduksi jihad algoritma, yang jelas dibutuhkan aktualisasi penting dalam mengakses konten bersifat positif sekaligus inspiratif. Jadi, secara implisit umat tak tertinggal sekelumit pun perihal peran besar digital yang hakiki.
Transformasi Pesantren
Menurut KH. Hasani Nawawi, pesantren adalah sebuah lembaga yang berfungsi membentuk anggotanya agar bertaqwa kepada Allah. Beliau memberi definisi ini sesuai dengan esensi fundamentalnya.
Sementara di era digital, sangat didamba-dambakan agar diterapkannya pada sebuah masa yang hampir seluruh tatanan kehidupan dibantu oleh teknologi. Indikator pesantren yang mengalami transformasi, tingkat perkembangannya tentu harus jauh lebih meningkat.
Artinya, perubahan sosial ini memang terbilang sensitif. Disadari ataupun tidak, nyatanya populasi dari rentetan ke-sosial-an akan punah jika tidak ada satu di antara realita masyarakat yang mengikutinya.
Pesantren yang reponsif mengikuti tren di era digital, tidak memutus tradisi klasik yang sudah permanen melekat. Tapi, mengharuskan diri supaya bersikap fleksibel dalam merevitalisasi kebudayaan.
Tidak menghindar dari perubahan, tidak terikat doktrin, toleran, dan berpandangan luas serta terbuka, nampaknya sudah semestinya dilakukan pesantren. Karena, apa pun kesulitan yang dialami sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak serta merta berdiam diri.
Sehingga menurut Cak Nur, pesantren itu dibentuk untuk menciptakan kesadaran tertinggi dalam mengajarkan tiga hal. Yakni: Tuhan, manusia, dan alam. Juga tidak seolah-olah mempelajari tentang topik keislaman saja.
Berita Hoax dan Jihad Algoritma Pesantren
Sekali lagi, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah menyebar semakin cepat. Konstelasi pola pikir manusia pun dituntut berubah. Tak luput dari itu, berita hoax juga cukup andil menjadi proses terbentuknya pola negatif yang timbul karena TIK.
Arti hoax adalah kabar, berita palsu atau bohong. Juga bisa didefinisikan sebagai upaya pemutarbalikan fakta yang seolah-olah meyakinkan namun tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
Selaku pemilik utama algoritma – baik kyai, guru, dan santri, sudah pasti mengakses konten positif demi menjaga nama baik pesantren. Tetapi, mengandalkan jiwa meneliti, mendalami, menghayati, hingga menghasilkan ilmu pengetahuan, jauh di atas rata-rata jika dimaknai lebih dalam.
Bagaimana pun itu, maka setidaknya pesantren berhasil menjadi lembaga yang mampu mengintegrasikan antara medan digital dengan produktifitas perorangan. Lantas, hal ini algoritma pesantren tentunya terealisasikan sebagai jihad yang membasmi kemungkaran.
Penulis: M. Zulfikar Nur Falah