rang-orang yang menjadi teroris adalah orang yang hijrah, namun tidak memiliki guru atau bimbingan yang baik. Hal itu disampaikan mantan narapidana teroris dan perintis rumah moderasi beragama di Depok, Ustadz Sofyan Tsauri pada workshop moderasi beragama di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang.
Acara tersebut diinisiasi pusat studi moderasi beragama dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat(LP2M) dengan mengusung mengambil tema “Countering Religious Extremism and Nurturing Religious Moderation”.
“Mereka yang menjadi teroris adalah orang yang hijrah, namun tidak memiliki guru atau bimbingan yang baik. Mereka cenderung memahami ilmu secara sempit,” ujar Sofyan.
Menurutnya, fenomena hijrah tanpa guru atau bimbingan yang baik diibaratkan syariat islam itu seperti halnya dengan matematika atau hitam dan putih. Oleh karena itu, banyak orang-orang saintis akhirnya terjebak akibat pola saintis yang ada di dalam diri mereka sendiri.
“Dahsyatnya doktrin yang dibawa kelompok itu dianggap memang begitu berbahaya mengingat waktu untuk mempelajari ilmunya saja sangat singkat. Ini yang sebenarnya menjadi titik kekurangannya, namun dibalik itu mereka sudah merasa dan mampu menyatakan mendapatkan nilai-nilai yang dianggap sebagai kebenaran,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, salah satu tipe pelajar atau mahasiswa atau akademisi yang rentan terpapar radikalisme dan terorisme adalah dari ilmu sosial dan saint.
“Fakultas-fakultas eksakta cenderung lebih rawan tersangkut paham radikalisme,” terang Ustad Sofyan.
Menurutnya, orang atau pelajar bidang sosial, cenderung mempunyai sudut pandang lain ketika melihat suatu persoalan sehingga kebal dengan doktrin serupa. Sementara orang-orang saintis, cenderung hanya terpaku pada hal yang di depannya saja.
Hal itu sesuai data yang merupakan hasil penelitian sembilan dari sebelas pelaku oleh psikolog di Amerika. Menurutnya kebanyakan pemimpin jihad di dunia memiliki background dari bidang eksakta alias saintis.
Pada akhir pemaparan, Sofyan berpesan kepada para mahasiswa agar berhati-hati dan waspada saat berinteraksi, berteman, bergaul hingga dalam berkomunikasi dengan siapapun dan dimanapun berada bahkan juga saat bersosial media.
Di tengah krisis global dan kebingungan spiritual yang melanda banyak orang, hijrah menjadi salah satu istilah yang sering disebut sebagai jalan keluar. Hijrah, yang secara harfiah berarti “perpindahan” atau “migrasi,” dalam konteks spiritual Islam berarti perpindahan dari hal-hal buruk menuju kehidupan yang lebih baik dan dekat dengan nilai-nilai agama.
Namun, hijrah yang seharusnya menjadi proses transformasi positif sering disalahartikan atau diselewengkan. Salah satu penyimpangan paling berbahaya dari konsep hijrah adalah ketika ia digunakan sebagai justifikasi untuk tindakan kekerasan dan terorisme.
Terorisme telah menjadi ancaman global yang kompleks, melibatkan banyak faktor mulai dari ideologi hingga politik. Salah satu alasan mengapa beberapa individu bisa terjerumus ke dalam jaringan teroris adalah interpretasi yang salah dari konsep hijrah. Ketika seseorang memutuskan untuk hijrah tanpa panduan dan bimbingan yang tepat, ia rentan terhadap pengaruh ideologi ekstremis yang menawarkan solusi sederhana namun berbahaya untuk permasalahan hidup yang mereka hadapi.
Hijrah: Dari Konsep Suci ke Justifikasi Kekerasan
Hijrah dalam sejarah Islam adalah momen suci ketika Nabi Muhammad dan para pengikutnya pindah dari Mekah ke Madinah untuk menghindari penganiayaan dan membangun masyarakat yang lebih adil. Ini adalah perjalanan fisik dan spiritual yang ditandai dengan pengorbanan dan komitmen terhadap nilai-nilai luhur.
Namun, bagi beberapa kelompok ekstremis, hijrah diartikan sebagai kewajiban untuk meninggalkan masyarakat yang mereka anggap “kafir” dan bergabung dengan “negara Islam” atau kelompok militan yang mengklaim mempraktikkan Islam yang “murni.”
Interpretasi yang salah ini mengaburkan makna sebenarnya dari hijrah. Alih-alih mencari pembaharuan spiritual dan kehidupan yang lebih baik, mereka yang tergoda oleh ideologi ekstremis justru mendapati diri mereka terjebak dalam jaringan kekerasan yang tidak hanya merusak kehidupan mereka sendiri tetapi juga menebar teror di masyarakat luas.
Ketiadaan Guru yang Bijak dan Berkompeten
Salah satu penyebab utama dari penyimpangan ini adalah kurangnya bimbingan dari guru atau mentor yang bijak dan berkompeten. Dalam Islam, bimbingan dari seorang ulama atau guru spiritual sangat penting dalam proses pembelajaran dan pengembangan diri. Seorang guru yang bijak dapat memberikan interpretasi yang benar dari ajaran agama dan membimbing muridnya untuk menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama.
Namun, banyak individu yang terjebak dalam ekstremisme tidak memiliki akses ke guru yang berkompeten atau memilih untuk mengabaikan bimbingan yang benar. Mereka sering kali mencari jawaban di tempat yang salah, seperti forum-forum online yang mempromosikan ideologi kebencian atau bergabung dengan kelompok yang menawarkan panduan spiritual palsu yang berujung pada kekerasan.
Peran Pendidikan dan Moderasi dalam Mencegah Ekstremisme
Untuk mencegah terjadinya penyimpangan ini, pendidikan dan moderasi harus menjadi prioritas. Pendidikan agama yang benar dan komprehensif sangat penting untuk membantu individu memahami ajaran agama dengan cara yang benar. Kurikulum pendidikan harus memasukkan pembelajaran tentang toleransi, kerukunan, dan penghargaan terhadap perbedaan.
Selain itu, para ulama dan tokoh agama harus aktif dalam membimbing umat dan menyediakan bimbingan yang diperlukan untuk menjalani kehidupan yang penuh makna sesuai dengan ajaran agama yang sebenarnya.
Moderasi juga memainkan peran penting. Masyarakat harus didorong untuk menghindari pandangan yang ekstrem dan mencari keseimbangan dalam memahami dan mempraktikkan ajaran agama. Ini termasuk menghargai perbedaan pendapat dan memahami bahwa Islam adalah agama yang menekankan kasih sayang dan perdamaian.
Membangun Ketahanan Masyarakat Terhadap Ideologi Ekstremis
Pencegahan ekstremisme juga membutuhkan upaya kolektif dari seluruh masyarakat. Keluarga, komunitas, dan pemerintah harus bekerja sama untuk membangun ketahanan terhadap ideologi ekstremis. Ini bisa dilakukan dengan mempromosikan inklusivitas, menciptakan ruang untuk dialog antaragama, dan menyediakan dukungan bagi mereka yang berada dalam situasi rentan.
Pemerintah dapat memainkan peran dengan menyediakan program deradikalisasi dan rehabilitasi bagi mereka yang sudah terjebak dalam jaringan ekstremis. Program-program ini harus dirancang untuk membantu individu memahami kesalahan dari ideologi yang mereka anut dan memberikan mereka keterampilan untuk kembali ke masyarakat sebagai anggota yang produktif dan damai.
Menjaga Makna Hijrah yang Sebenarnya
Hijrah adalah konsep yang kaya dan penuh makna dalam Islam. Namun, ketika dipahami dan dipraktikkan dengan cara yang salah, ia dapat menjadi alat yang berbahaya bagi mereka yang mencari jalan keluar dari kebingungan hidup mereka. Untuk mencegah hal ini, kita harus memastikan bahwa setiap individu memiliki akses ke bimbingan yang benar dan mendalam tentang ajaran agama. Guru yang bijak dan berkompeten, pendidikan yang komprehensif, dan masyarakat yang inklusif adalah kunci untuk menjaga makna hijrah yang sebenarnya dan mencegah penyimpangan yang berujung pada kekerasan.
Teroris adalah orang yang telah berupaya untuk hijrah, namun sayangnya, mereka tidak memiliki guru yang baik untuk membimbing mereka ke jalan yang benar. Kita harus berupaya untuk mengisi kekosongan ini dengan menyediakan bimbingan yang tepat dan mempromosikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama. Hanya dengan cara ini kita dapat mencegah penyimpangan dan memastikan bahwa hijrah tetap menjadi perjalanan menuju kebaikan dan perdamaian.