Jalanhijrah.com– Gegeran NU berakhir dengan ger-geran. Kemarin perpecahan seperti sudah di depan mata gara-gara cekcok pelaksanaan muktamar. Tetapi patut disyukuri bahwa para kiai masih memperlihatkan kebijaksanaannya dan tidak larut dalam konflik politik yang memang tidak seharusnya terjadi. Terkait NU, saya punya pengalaman menarik. Konflik NU ternyata berpotensi mengikis marwahnya. Atau jangan-jangan, di kampung saya, ia memang sudah tenggelam oleh Neo-Sarekat Islam.
Saya terlahir dari NU tulen. Sejak kecil, bapak selalu mewanti-wanti agar kelak kalau keluarga meninggal, jangan sampai lalai tahlilan. Meskipun hanya sedikit, dan sebentar, tergabung dalam struktur keorganisasian, amaliah kami sangat sarat ke-NU-an. Mirip sekali dengan yang disebut NU kultural. Dan saya bukan satu-satunya. Orang kampung saya juga suka ziarah, istighatsah, koloman, atau tahlil. Saking NU-nya, yang tidak bertahlil dan ziarah dikira orang kafir. Muhammadiyah misalnya.
Persepsi masyarakat kampung saya pada Muhammadiyah memang tidak mengenakkan. Tetapi itu tidak pernah dianggap kebencian, melainkan karena iklim keberagamaan yang eksklusif. Benar apa yang diutarakan Rektor UIN Mataram, Prof. Masnun Tahir. Di hadapan saya, dalam suatu forum, ia menyitir dengan mengatakan, “Islam di Madura, ya, NU itu. Tidak ada orang kafir di Madura selain Muhammadiyah.”
NU di Madura memang tidak lagi perlu dipertanyakan. Salah satu keluarga saya yang kuliah di Yogyakarta pernah menjadi bulan-bulanan tetangga karena masuk Muhammadiyah. Meski itu pilihan, masyarakat tidak mau tahu. Selain NU tetap dianggap menyimpang. Ini juga yang kemudian membuat saya gagal kuliah di Jogja. “Ella, Cong. Tako’ dhing matè engko’ ta ètahlilaghi di’ bâ’ân(Jangan, Nak. Takut kalau saya meninggal kamu tidak mau menahlili),” kata almarhum bapak, ketika saya hendak pamit.
Beruntung sekali ketika di perguruan tinggi, saya mulai berpikir terbuka. Tidak hanya tahu soal NU dan Muhammadiyah, saya juga tahu tentang Sarekat Islam (SI). Tetapi apa yang saya ketahui di kampus tidak semua bisa dibawa ke rumah, meski saya tetap berpikiran terbuka. Dan semakin tahu tentang SI, saya menjadi semakin ragu apakah saya benar-benar Nahdhiyin. Atau, apakah iya di kampung saya itu semua orang adalah jemaah NU?
Kegelisahan demi kegelisahan bukan sesuatu yang tak beralasan. Saya melihat bahwa antara NU dan SI memiliki beberapa amaliah yang sama. Lalu saya berpikir keras; apakah masyarakat ini mengikuti NU, atau justru karena kesamaan amaliah, toh sebenarnya mereka SI? Sahkah ke-NU-an saya? Meski tidak terjadi pada keseluruhan orang Madura, sebagai orang Pamekasan saya merasakan betul fenomena ini. Dan sekali lagi, yang merasa gelisah, saya pikir saya bukanlah satu-satunya.
Jika demikian, maka tesis Prof. Masnun akan segera keliru. Sebab, ternyata masyarakat kampung saya tidak benar-benar NU. Mereka adalah masyarakat SI, tetapi karena kesamaan amaliah dengan NU mereka tidak mau ambil pusing. Yang terpenting tahlilan dan barzanjian jalan, melalui tradisi kamradatau koloman. Apalagi memang orang Madura terkenal dengan jargonnya: ta’ wet-rowetta. Semarak politik hari-hari ini menjadi penjelas kerancuan ini. Kiai-kiai di Pamekasan mulai berani mengaku SI.
Ada kisah menarik tentang fenomena ini. Tetapi saya samarkan identitasnya.
Suatu sore saya diajak salah satu senior berkunjung ke dhâlem pembina organisasi pengabdian saya. Sesampainya di tempat, kami berbincang banyak hal, yang salah satunya tentang NU.
“NU samangkèn ma’ sapanèka ghi, Ustadz, tak padâ sareng e bâkto kèyaè Hasyim Asy‘ari? (NU sekarang kok begini ya, Ustadz, tidak sama dengan saat zaman Kiai Hasyim Asy‘ari?),” tanya senior saya.
Lalu sigap ustadz pembina tadi menjawab. “NU ka’dissa (NU itu),” katanya, “ampon èramal sareng Kèyaè. Sabbhân bâdâ orèng acabis atanya NU bâghus napa bhunten. Terros Kèyaè ajâwâb, ‘iyâ satèya’. Dhâddhi sè bâghus yâ lambâ’, sè satèya la èramal ta’ bhâghus (sudah diramal oleh Kiai, kiai sepuh Pamekasan. Dulu ada orang nanya NU itu baik apa tidak. Lalu Kiai menjawab, ‘iya sekarang’. Jadi yang baik itu dulu. Yang sekarang itu sudah diramal tidak baik).”
Kaget sekali saya mendengar pernyataan—yang menyinggung—tersebut. Betapa tokoh masyarakat Pamekasan sudah berani menyudutkan NU, tetapi pada saat yang sama ia meneruskan amaliah-amaliahnya. Ketika peran sentral kiai di Pamekasan masih mendominasi, maka itu menjadi pesan provokatif di masyarakat. Dan secara tidak langsung, kiai tersebut meminta masyarakat untuk meninggalkan NU, lalu memilih organisasi besutan Haji Samanhudi tersebut.
Sungguhpun demikian, status sebenarnya masing remang-remang. SI di Madura memang organisasi keislaman tertua dibanding NU. Tetapi identitas ke-NU-an juga masih melekat. Akibatnya, beberapa orang yakin bahwa dirinya seorang Nahdhiyyin, sembari mengingkari keterlibatannya secara struktural. Duduk perkaranya jelas; perbedaan politik dalam pesta demokrasi yang baru saja digelar. Dalam Pemilu lalu, kiai Pamekasan adalah basis suara oposisi, sedangkan NU berada di baris petahana.
Gerakan Pembangunan Masyarakat Islam (Gerbangsalam) adalah identitas Pamekasan. Ketimbang dengan Sumenep, Pamekasan lebih mirip Sampang dalam hal identitas keislamannya. Di kota ini, bendera SI sudah dipasang di tepi-tepi jalan pinggiran kota. Mobilisasinya kian masif, dan tampaknya NU Gerbangsalam berada dalam titik mengkhawatirkan. Kendati secara struktural tetap ada, tapi amaliah masyarakat cenderung SI. Tentu saja atas peran besar para kiainya.
Kiai Pamekasan memang berada dalam pusaran Neo-Sarekat Islam. Sementara ke-NU-an Gerbangsalam mulai dikaburkan melalui stigmatisasi terhadap NU itu sendiri. Saya harus mengayuh sekuat tenaga memosisikan diri di antara dua identitas tersebut. Satu-satunya cara meyakinkan khalayak tentang pengukuhan ke-NU-an mereka ialah menyuguhkan mereka pemahaman bahwa hanya NU-lah yang setia pada negara ini, tidak hanya karena kebutuhan politis seperti SI.
Saya haqqul yaqin kalau dibiarkan demikian, maka bukan mustahil NU akan diganti Neo-Sarekat Islam; yang mengaku NU secara kultural, tetapi berafiliasi politik dengan SI. Padahal peran NU di Gerbangsalam memiliki jejak lebih yang jelas ketimbang SI. Oleh karena itu, sebelum menjalar secara keseluruhan, peran ke-NU-an mesti jadi proyek kolektif yang digalakkan di Pamekasan. Jika tidak, tinggal menunggu waktu masyarakat Gerbangsalam meninggalkan NU dan hijrah pada Sarekat Islam.
Akibatnya jelas, masyarakat memiliki amaliah NU yang tetap jalan seperti istighatsah maupun tahlil. Sayangnya tangung jawabnya kepada NKRI laik diragukan, sebab mereka pasti lebih condong ke kanan-kananan.
Buktinya, banyak masyarakat sekitar saya yang mengklaim diri NU secara keberislaman, namun sikapnya pada NKRI bermakmum pada FPI. Sepertinya hari ini, di tengah hiruk-pikuk internal NU tentang muktamar yang akan datang, NU di kampung saya telah tenggelam. Neo-Sarekat Islam muncul, tapi dengan jiwa yang sarat ke-FPI-an. Sangat mengherankan, bukan?
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…