Jalanhijrah.com-Beberapa bulan yang lalu, di saat virus corona sedang gempar-gemparnya malanda berbagai daerah di Indonesia. Hampir setiap hari saya mendapat berita duka dari siaran masjid di desa, ataupun melalui sosial media. Tak jarang pula, di pagi hari yang buta, siaran di masjid telah memberitahu saya bahwa ada satu dua orang yang telah meninggal dunia.
Virus corona memang telah merenggut banyak nyawa, membuat beberapa dari kita merasakan lara akan kehilangan orang yang kita cinta. Keterpisahan membuat perasaan sedih dan takut bercampur aduk. Meskipun kita telah dewasa, dan sudah berpengalaman untuk menghadapi keterpisahan sebelumnya. Tetapi tetap saja, jiwa kita tak pernah siap jika harus kembali dihadapkan dengan keterpisahan. Apalagi, jika keterpisahan itu adalah untuk selama-lamanya.
Hidup rasanya seperti berada di kamp konsentrasi, di mana bayang-bayang kematian terasa sangat dekat dengan diri kita. Kematian seakan selalu mengintai kita di mana pun kita berada. Kematian bisa datang tiba-tiba dan kita tak pernah tau tepat kapan waktunya. Sebagaimana yang di katakan oleh Imam Al-Ghazali bahwa sesuatu yang paling dekat dengan diri kita adalah mati.
Kita tak akan pernah bisa lari dari kematian, karena kematian itu pasti. Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an: kullu nafsing zaaa-iqotul mauut (Setiap yang bernyawa (pasti) akan merasakan mati.)
Hal tersebut membuat saya bertanya-tanya akan apa makna hidup kita yang sebenarnya?
Jika pada akhirnya suatu saat kita akan merasakan mati, apakah keberadaan kita di dunia memiliki makna tersendiri?
Dan bagaimana kita harus memaknai kematian?
Beruntung, saya menemukan satu definisi yang lebih baik untuk memaknai kematian yang saya dapatkan dari salah satu karya Rene Descartes, The Passions of The Soul: “Kematian tidak pernah datang karena rusaknya jiwa, namun karena suatu bagian tubuh penting mengalami kerusakan”.
Dalam al-Qur’an keabadian jiwa juga dijelaskan: kholidina fiha abada (Kekal di dalamnya). Jiwa tercipta abadi, tapi tubuh rentan mengalami kerusakan dan bisa mati. Kematian hanyalah fase tranformasi jiwa menuju alam akhir. Tidak ada satu pun manusia yang mati sebenarnya, yang ada hanyalah manusia yang meninggal(kan) dunia.
Keabadian jiwa juga dituliskan oleh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam salah satu magnum opusnya yang terkenal Fushuhs al-Hikam: “Ia adalah manusia, fana dalam bentuknya, abadi dalam esensinya”
Para sufi lain seperti Maulana Jalaluddin Rumi pun berpendapat demikian, bahwa kematian sejatinya tidak ada. Ia hanya bagian dari perubahan semesta. Kematian hanya merupakan tipuan dari mata. Seluruh panca indera kita menipu kita dengan memberikan kesan perpisahan yang sesungguhnya tak ada.
Dalam salah satu syairnya, Rumi menggambarkan ketiadaan kematian dan keterpisahan dengan begitu indah:
“Perpisahan hanya bagi mereka yang mencintai dengan bola mata, mereka yang mencintai dengan ruh dan hati tak akan pernah berpisah”
Karena sejatinya, ruh dan hati merupakan esensi dalam kehidupan yang tak akan pernah binasa. Berbeda dengan bola mata dan panca indera lainnya, mereka akan berhenti saat pemiliknya mati. Bahkan Imam Al-Ghazali menegaskan dalam Kimiya’us Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) bahwa pada saat meninggal kenikmatan hati akan semakin besar dan sinarnya semakin benderang.
Tubuh manusia memang rentan mengalami kerusakan. Oleh karena itu manusia diharuskan untuk selalu merawat dan menjaga tubuhnya dari segala ancaman dan penyakit. Manusia juga diharuskan untuk selalu menyucikan hatinya, karena hati adalah entitas yang akan dibawa hingga mati.
Kita memang tak pernah bisa menentukan kapan kita akan mati, tapi kita bisa menentukan dalam kondisi apa kita akan mati nantinya.
Dan, pada akhirnya kita akan tersadar, jika kehidupan sejatinya tak pernah berhenti. Bahkan ketika tubuh kita telah mati, jiwa kita masih akan terus melanjutkan perjalanan dari alam barzakh menuju ke surga. []