Rendang Islam, Rendang Kafir, dan Muslim Sumbu Pendek

Jalanhijrah.com– Nama Ustaz Adi Hidayat (UAH) masuk top trending Twitterpada Minggu (19/6) kemarin dengan 5,654 perbincangan netizen. Ceramah UAH yang viral ialah tentang agama rendang, yang disinyalir sebagai tanggapan terhadap Gus Miftah. Seperti diketahui, sebelumnya, Gus Miftah membuat vlog mempertanyakan sejak kapan rendang punya agama Islam atau kafir, untuk menyindir pihak yang mempersoalkan rendang babi yang sempat hangat. UAH pun menjawab pertanyaan Gus Miftah.

“Jangan pernah mengecilkan siapa pun, apalagi jika sudah menjadi tradisi. Ada pertanyaan, sejak kapan rendang itu punya agama? Sejak batik, calung, angklung punya kewarganegaraan. Paham? Kalau batik diklaim sama Malaysia mau tidak? Tidak, orang Indonesia akan mengatakan, batik itu budaya Indonesia. Sudah melekat budaya keindonesiaannya sehingga tidak mau diklaim negara lain. Sejak kapan rendang punya agama? Kan sama. Itu pertanyaan yang tidak berfaedah. Rendang itu budaya masyarakat Minang, sedangkan di Minang falsafahya berbunyi, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Karena itu yang keluar dari Minang lekat dengan syariat, walaupun produk makanan. Jadi jangan tanyakan tentang agamanya. Kalau bertanya tentang agamanya itu pertanyaan kurang kerjaan,” jelas UAH.

Siapa yang salah, UAH atau Gus Miftah? Siapa yang harus ditanggapi dari keduanya? Jawaban pertanyaan ini subjektif. Masing-masing jemaah dari kedua dai tersebut akan saling melakukan pembenaran hujah. Tetapi, sampai kapan debat tentang agama rendang akan berlangsung? Sampai kapan masing-masing jemaah menjadi Muslim sumbu pendek yang mudah meledak? Mengapa rendang harus diperdebatkan apakah ia Islam ataukah kafir?

Ribut-ribut Rendang

Sebenarnya masalah rendang babi bukan persoalan yang besar. Yang dipermasalahkan dari kemarin apakah rendang itu makanan milik umat Islam saja, dan non-Muslim dilarang menirunya. Seharusnya, andai sebagian masyarakat kita bukan Muslim sumbu pendek, yang demikian tidak perlu dibesar-besarkan. Tinggal berikan maklumat, di depan warung yang berjualan, bahwa ini rendang babi, dan umat Islam tidak boleh membeli-memakannya. Tidak perlu ribut.

Baca Juga  Propaganda Khilafah di Instagram, Mana Peran Polisi Siber?

Ambil contoh lain misalnya ayam panggang. Ayam panggang boleh dimakan umat Muslim. Tetapi apakah yang dipanggang hanya ayam? Tidak. Non-Muslim juga memanggang babi, misalkan babi guling yang konon kriuknya sangat mereka sukai. Apakah babi panggang harus diributkan? Apakah yang boleh hanya ayam panggang, dan panggang itu hanyalah milik umat Islam? Tidak. Itu terlalu sempit. Begitu pula, meributkan rendang Islam dan rendang kafir juga sebenarnya sangat memalukan.

Sama seperti “panggang”, “rendang” hanyalah metode memasak. Sementara itu, kehalalan dan keharaman makanan tidak terletak pada metode, melainkan pada objek yang dimasak: apakah itu ayam, sapi, unta, atau babi. Kalau yang dipanggang ayam, Muslim silakan memakannya. Kalau dipanggang babi, umat Muslim dilarang memakannya. Sama juga halnya rendang. Kalau yang direndang itu sapi, silakan umat Islam beli sebanyak-banyaknya. Jika yang direndang itu babi, jangan. Selesai.

Ribut-ribut rendang sebenarnya dipicu oleh sindrom perasaan memiliki. Karena rendang adalah metode memasak orang Padang, maka sebagian Muslim merasa itu milik mereka. Seperti dalam penjelasan UAH, budaya Minang kentara Islam meskipun itu makanan, sehingga masakan Padang wajib halal. Pertanyaannya, terlepas dari falsafah Adat Basandi Syarak, apakah seratus persen orang Padang itu Muslim? Dan kalau ada satu persen non-Muslim, apakah mereka tidak punya hak pada budaya mereka sendiri?

Ribut-ribut rendang mengandung tiga hal buruk. Pertama, intoleransi dan inlusivisme. Kedua, mandeknya diskursus keislaman sehingga rendang pun jadi bahan perdebatan. Ketiga, ketidakdewasaan dalam beragama yang mengkristalisasi Muslim sumbuk pendek. Di kalangan Muslim sumbu pendek ini, hal remeh-temeh pun jadi seolah besar. Rendang pun diributkan, seolah ia lebih urgen dari masalah kemiskinan yang melanda masyarakat Muslim.

Baca Juga  Couple Prenatal Gentle Yoga: Bentuk Komunikasi Suportif Suami Istri pada Masa Kehamilan

Tetapi, jika memang Muslim sumbu pendek harus mengklasifikasi rendang menjadi rendang Islam dan rendang kafir, kenapa mereka tidak juga mempersoalkan ayam goreng Islam dan babi goreng kafir, sate kambing Islam dan sate babi kafir, juga kekonyolan-kekonyolan lainnya? Sepertinya memang benar, ada narasi yang dibangun dari ribut-ribut soal rendang ini, yaitu radikalisasi Islam. Muslim sumbu pendek mendorong umat Islam jadi tukang frontal, tidak hanya pada sistem pemerintahan, tapi juga pada makanan. Naif.

Radikalisasi Islam

Mari pinggirkan masalah rendang, untuk menemukan masalah yang sebenarnya. Jujur saja, masalah ini tidak benar-benar tentang rendang, melainkan eksklusivisme beragama. Misalnya, UAH vs Gus Miftah, yang memang memiliki gaya dakwah berbeda. Keduanya, juga jemaah dari keduanya, berada di dua kutub perspektif yang berbeda mengenai rendang. Lebih jauh, penekanan keduanya melebar tidak hanya pada masalah halal-haram, melainkan Islam-kafir yang memang sensitif.

Radikalisasi Islam dalam hal ini menggunakan eksklusivisme beragama sebagai perantara. Yang dikikis jelas: inklusivisme dan toleransi antarsesama bangsa Indonesia. Rendang menjadi umpan yang merenggangkan jarak Muslim dan non-Muslim, seolah mereka tidak bisa berkompromi bahkan dari metode memasak sekalipun. Radikalisasi semacam ini sangatlah buruk untuk iklim keberagamaan Indonesia, akan membuat kerukunan meluntur dan perpecahan ada di depan mata.

Dalam masalah rendang Islam dan rendang kafir, umat Islam sering kali melupakan satu hal penting, yaitu bahwa kerukunan umat beragama adalah tuntang penting dalam Islam. Islam sendiri, mengenai makanan, hanya memberikan rambu halal atau haram, terserah metodenya mau direbus, digoreng, dibakar, dipanggang, bahkan direndang. Tidak ada makanan beragama. Bagaimana jika jadi budaya seperti dijelaskan UAH?

Baca Juga  Menolak dan Melawan Manipulasi Sejarah Kelompok Radikal

UAH lupa satu hal, bahwa kaidah “Al-‘Adah Muhakkamah (Adat Bisa Menjadi Hukum)” adalah kaidah Fikih, yaitu setiap hal yang berkaitan dengan syariat. Misalnya celana, yang merupakan adat lokal. Apakah shalat—sebagai salah satu syariat Islam—bisa dilakukan dengan bercelana? Jawabannya iya, karena budaya celana tidak mencederai syarat-syarat sah shalat. Begitu juga kopyah, kaos, dan lainnya, selama suci dan menutup aurat tidak jadi masalah.

Tetapi semua itu berkaitan dengan syariat shalat. Sekarang, pikirkan, apakah rendang itu berkaitan dengan syariat? Cacat logika semacam itu ditampilkan oleh para Muslim sumbu pendek yang mudah meledak dan merasa ternistan bahkan hanya karena persoalan rendang. Umat Islam sepertinya sedang ditarik untuk jadi radikal, didorong untuk mudah tersinggung, diseret untuk tidak bertoleransi bahkan sekadar dalam metode mengolah makanan sekalipun. Istilah Islam-kafir telah jadi kendaraan radikalisasi. Ironi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Penulis: Ahmad Khoiri

Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *