Hamil

Jalanhijrah.com – Dewasa ini, banyak dari pengantin baru memilih menunda untuk memiliki momongan dengan berbagai alasan yang ada, ataupun sepasang suami istri yang memberi jarak kelahiran pada anak-anaknya. Namun, bagaimana hukumnya menunda kehamilan? Adakah hukum yang dibenarkan dalam Islam sebagai bentuk pencegahannya? Mari kita simak jawabannya yang diberikan oleh Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim.

Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, merupakan seorang ulama yang berasal dari Mesir, Beliau sudah sangat ma’ruf dan tersohor dengan kitabnya yang terkenal yaitu Shahih Fiqh Sunnah yang diterbitkan oleh Al-Maktabah At-Taufiqiyah.

Sarana untuk mencegah kehamilan dapat berupa ‘azal, pemandulan secara permanen (selamanya) dan pencegahan kehamilan temporer (dalam jangka waktu tertentu). Pembahasan mengenai ‘azal ini sebenarnya telah berlalu, dan termasuk ke dalam ‘azal adalah setiap cara yang dilakukan oleh para wanita untuk mencegah kehamilan untuk jangka waktu tertentu, baik dengan cara minum pil, atau dengan cara lainnya.

Yang lebih utama dan hati-hati adalah tidak mempergunakan berbagai cara tersebut. Namun yang perlu dikatakan, “Apabila minum pil seperti ini atau yang lainnya disertai niat agar tidak hamil karena takut rezeki menjadi sempit atau takut menjadi orang fakir karena belum mampu bertanggung jawab sepenuhnya jika nanti mempunyai anak. Maka hal ini diharamkan karena termasuk berburuk sangka kepada Allah Subhaanahu wa Taa’ala yang Maha Menanggung Rezeki, baik rizki untuk para orang tua, maupun untuk anak-anak mereka.

Baca Juga  Menempatkan Feminisme pada Tempatnya

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberikan rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Israa’: 31).

Adapun pemandulan permanen dengan menghilangkan ovarium, rahim, atau semisalnya, maka jelas sekali keharamannya, karena memutuskan keturunan yang diperintahkan syari’at untuk dipelihara dan diperbanyak. Dikecualikan dari keharaman itu, ialah apabila keadaan darurat yang sangat mendesak, yakni kasus di mana keberadaan Rahim itu akan berbahaya bagi nyawa sang ibu, maka dalam kasus ini pemandulan permanen diperbolehkan.

Adapun, pemandulan dalam jangka waktu tertentu, maka hukumnya disamakan dengan ‘azal yang telah dijelaskan di atas sebelumnya, (yakni makruh). Wallahu a’lam.

 

Laila Nazhila (Guru di Pondok Pesantren Dayah Terpadu Almuslimun, Lhoksukon, Aceh Utara dan juga penulis pada situs NovelMe. Menulis bagi saya adalah “Healing & Sharing”, berbagi wawasan kepada orang lain adalah hal yang menyenangkan untuk saya.)

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *