“Saya tidak pernah membayangkan suatu hari ketika saya akan kelaparan atau melihat anak-anak saya kelaparan. Hentikan perangnya. Biarkan tepung masuk. Bagaimana kita memohon kepada dunia?” Tanya Fadia Wadi salah seorang pengungsi warga Palestina dikutip dari Al Jazeera Senin (16/12/2024).
Fadia Wadi adalah seorang kbu berusia 44 tahun dan memiliki sembilan anak. Ia mengatakan kelaparan telah memaksanya untuk berkompromi yang tak terduga bayangkan sebelumnya.
“Seperti yang Anda lihat, tepung ini busuk, penuh dengan serangga, dan berbau tidak sedap. Tapi pilihan apa yang saya miliki? Tepung tidak tersedia atau terlalu mahal,” imbuh Fadia Wadi.
Untuk mengatasi kelaparan saja, Fadia Wadi membuat roti dari tepung-tepung yang busuk.
Putra sulungnya tewas dalam serangan udara Israel pada Januari, sementara suaminya tetap di lokasi yang berbeda di utara, meninggalkannya untuk menafkahi delapan anak lainnya.
Fadia enggan untuk mengambil bantuan roti yang diberikan oleh pihak setempat, Fadia merasa lebih aman daripada mengantri roti di toko roti.
“Saya mencoba mengambil roti dua hari yang lalu, tetapi saya kembali berlumuran memar akibat penyerbuan itu, kehidupan yang tragis dan rumit,” ketus Fadia.
Melonjaknya harga dagang, sayuran, daging dan unggas serta makanan pokok lainnya sangat jarang tersedia dan sangat mahal, Fadia tidak punya pilihan lain kecuali memasak dengan tepung basi yang dipenuhi serangga.
“Dulu kami membuang tepung busuk ini ke hewan, tapi sekarang kami memberikannya kepada anak-anak kami, tanpa mengetahui atau peduli dengan risiko kesehatannya, kelaparan mendorong kita,” terang Fadia.
Hal serupa pun di alami oleh Ghada al-Kafarna, pria berusia 41 tahun tersebut hari-hari mengantri dan berebut roti untuk makan keluarganya. Saat itu, pukul 11 pagi dan ia sudah berada disana selama dua jam terakhir. “Bagi saya, mengamankan makanan dan roti adalah perjuangan terus menerus,” ujar Ghada.
Ghada tidak punya penghasilan tetap, suaminya menderita penyakit kronis yang membuatnya tidak bisa bekerja. Kini, Ghada beserta anak-anaknya hanya bergantung dari dapur komunitas dan amal-amal baik yang membagikan makanan gratis.
“Ketika dapur komunitas berhenti, saya tidak punya pilihan selain meminta makanan kepada tetangga,” katanya.
Hari-hari Ghada penuh dengan kelelahan dan kelaparan, perasaan dan kesabarannya sebagai seorang ibu memang dipertaruhkan. “Anak-anak saya belum makan apa-apa hari ini. Selama empat hari terakhir, dapur amal ditutup karena situasi sulit, dan anak-anak saya tidur dalam keadaan lapar setiap malam,” katanya sambil mengusap mata.
“Saya meminta bantuan orang-orang sekitar saya dan memohon bantuan mereka setiap hari,” kata Ghada melanjutkan.
Sebelumnya diberitakan, pada Oktober 2023 besertaan Israel memulai perangnya di Gaza, Israel mengumumkan blokade total terhadap pasokan penting ke jalur Gaza. Israel telah membatasi 83 persen bantuan makanan yang masuk ke Gaza menurut PBB.
Sementara pada 1 Desember, badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan menghentikan pengiriman bantuan di titik persimpangan utama untuk bantuan kemanusiaan warga Gaza karena masalah keamanan seperti pencurian oleh kelompok bersenjata. Nurul Anwar Nurul Anwar content writer dan kontributor Islami.co
***
Krisis kemanusiaan di Palestina terus menjadi luka mendalam bagi dunia. Di tengah konflik yang tiada henti, rakyat Palestina kini dihadapkan pada ancaman kelaparan yang mengerikan. Sebuah kisah memilukan datang dari Fadia Wadi, seorang ibu berusia 44 tahun dengan sembilan anak. Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera pada Senin (16/12/2024), Fadia menyatakan bahwa kelaparan telah memaksanya melakukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Seperti yang Anda lihat, tepung ini busuk, penuh dengan serangga, dan berbau tidak sedap. Tapi pilihan apa yang saya miliki? Tepung tidak tersedia atau terlalu mahal,” ujarnya dengan nada putus asa. Dalam kondisi yang tak manusiawi ini, Fadia Wadi terpaksa membuat roti dari tepung yang tidak layak konsumsi. Ia bahkan bertanya dengan getir, “Bagaimana kita memohon kepada dunia? Hentikan perangnya. Biarkan tepung masuk.”
Blokade berkepanjangan yang diberlakukan oleh rezim Zionis di Jalur Gaza dan wilayah lainnya telah menyebabkan penderitaan luar biasa. Warga Palestina tidak hanya kehilangan kebebasan bergerak, tetapi juga akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, obat-obatan, dan bahan bakar. Kebijakan ini secara terang-terangan melanggar hukum internasional dan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Namun, dunia seolah bungkam. Negara-negara besar yang mengaku sebagai pembela hak asasi manusia justru menjadi pendukung rezim Zionis, baik secara politik, ekonomi, maupun militer. Akibatnya, jutaan warga Palestina terjebak dalam siklus penderitaan tanpa ujung, menghadapi pembunuhan, penghancuran rumah, dan kini, kelaparan.
Data dari berbagai organisasi internasional menunjukkan bahwa lebih dari dua juta warga Palestina kini hidup dalam kondisi di bawah standar kelayakan. Anak-anak menjadi kelompok paling rentan, menghadapi malnutrisi dan trauma akibat perang. Kisah Fadia Wadi hanyalah satu dari sekian banyak potret keputusasaan yang menggambarkan dampak kebijakan tidak manusiawi rezim Zionis.
Yang lebih menyakitkan, dunia internasional seolah menjadi penonton bisu. Resolusi PBB untuk menghentikan blokade dan agresi Israel terus-menerus diveto, sementara bantuan kemanusiaan sering kali terhambat. Lalu, kepada siapa rakyat Palestina harus berharap?
Bagi umat Islam, Palestina adalah tanah yang diberkahi, tempat Masjid Al-Aqsa berdiri sebagai simbol kemuliaan Islam. Ketika penderitaan rakyat Palestina semakin dalam, pertanyaan “Kapan pertolongan Tuhan datang?” menggema di hati umat Muslim di seluruh dunia.
Pertolongan Tuhan tidak hanya akan datang melalui mukjizat, tetapi juga melalui tangan-tangan manusia yang berjuang untuk keadilan. Kewajiban kita adalah memberikan dukungan, baik melalui diplomasi, bantuan kemanusiaan, maupun penggalangan opini publik untuk melawan propaganda Zionis.
Nestapa yang dialami Fadia Wadi dan jutaan warga Palestina adalah pengingat bahwa perjuangan mereka adalah perjuangan kita semua. Dunia tidak boleh terus-menerus menutup mata terhadap kebiadaban yang dilakukan oleh rezim Zionis.
Kita harus bersatu, menyerukan keadilan, dan menunjukkan bahwa dunia masih memiliki nurani. Karena jika tidak, kelak sejarah akan mencatat, bukan hanya kebiadaban Zionis, tetapi juga keheningan dunia yang membiarkan penderitaan ini terjadi.
*Artikel ini telah tayang di rubrik Feature di Islami.Co dengan judul “Duh, Kelaparan Merajalela, Warga Palestina Buat Roti dari Terigu Basi”, namun dikembangkan pembahasannya.