Harakatuna.com. Sejauh data-data yang terhampar, penanganan terorisme di Indonesia masih jauh dari maksimal. Meski banyak pihak yang mengatakan lebih baik dari sebelumnya, tetapi sampai kini, belum ditemukan tanda-tanda kapan berakhirnya teror di Indonesia. Hal demikian terasakan, ketika non-muslim masih merasa was-was ketika ingin beribadah ke tempat ibadahnya.
Maka itu, banyak pihak berharap pemerintah lebih jauh lagi bekerja keras utamanya memaksimalkan literasi dan alat komunikasi yang ada. Baik untuk memberikan edukasi akan bahayanya teror dan provokasi keagamaan ekstrem, juga menjadi ajang mitigasi adanya sumber-sumber teror di tengah masyarakat.
Oleh sebab itu, masyarakat menginginkan penindaklanjutan penangan terorisme di Indonesia. Apalagi, di tengah-tengah kabar kemenangan Taliban yang bisa saja memotivasi sel-sel tidur teroris di Indonesia. Mengingat organisasi teroris di Indonesia, pernah punya kaitan khusus dengan beberapa teroris di Afghanistan.
Bom Bali 1 tahun 2002 misalnya, memiliki eksposur kuat dengan teroris di Afghanistan. Maka demikian, banyak pihak yang menganalisis, sedikit banyak, sel-sel tidur teroris di Indonesia bakal mengambil “jalan lain”, dan karena itu menjadi kewaspadaan bersama.
Karena sangat mungkin dengan naiknya Taliban ke panggung politik di Afghanistan turut serta para kombatan teroris mengalami kepercayaan diri yang cukup kuat dan tinggi dalam lanskap gerakannya. Baik sebagai pemanasan di antara sesama teroris untuk bergerilya membangun kepercayaan perekrutan, hingga pada saat waktunya melakukan pembiakan.
Hanya menunggu momentum. Sel tidur teroris menanti bangun dan bangkit bergerak. Saat memontum belum ada, maka mereka tetap berada di jalan yang pasif. Momuntem ini lahir atas kelengahan pemerintah dalam mengirimkan pesan-pesan atau sinyal yang membuat teroris tidak takut. Seperti pemerintah tidak lagi mau memburu teroris atau dalam tahun ini penanggulangan terorisme bukanlah menjadi bagian yang utama dalam pemerintahan.
Dari situ saja, telah menjadi angin segar bagi teroris. Itu artinya ada kesempatan lapang untuk mereka melakukan aksi apa saja. Bagi peneliti, gejala itu sangat memungkinkan timbulnya mutasi sel pada terorisme. Baik teroris yang terorganisir, atau teroris yang bergerak secara seporadis. Menurut Muzakki, yang pertama itu, bakal membuat lahirnya banyak kelompok baru. Sedang yang kedua, hanya akan melahirkan singa penyendiri. Tapi sesungguhnya, yang terakhir inilah yang justru sangat berbahaya. Karena mereka bergerak secara sadar atas inisiatif sendiri tanpa kekangan dari otoritas teroris di atas.
Namun, anehnya, di Indonesia, dua-duanya itu bermain di Indonesia. Satu di antara lain saling menunjukkan taringnya di antara lembah para teroris. Bahkan mereka terpantau bermusuhan. Kenapa? Karena mereka beda pilihan teologi dan politik. Sudah banyak kita lihat, teroris di Indonesia, ada yang berafiliasi terhadap ISIS, dan ada yang lain ke Al-Qaeda. Keduanya sama-sama berkontestasi bahkan berhantaman.
Tapi masing-masing keduanya saling aktif dalam melakukan gerakan, latihan, perekrutan anggota baru hingga perencanaan aksi di lapangan. Terkadang pula, keduanya sama-sama muncul meski tidak ada momentum apapun untuk melakukan amal terornya.
Dengan demikian, artinya pemerintah patut memeriksa dan meninjaklanjuti sel-sel teroris yang kini sudah dan sedang bermutasi di Indonesia. Dengan naiknya Taliban ke panggung politik dunia, penanganan teroris harus diperkuat sehingga tidak terjadi kehilangan nafas atas sebuah keteledoran yang disengaja. Pemerintah tidak boleh kendor memberantas dengan tegas para teroris di Indonesia. Badan-badan yang seharusnya bekerja lebih giat lagi, perlu dibangunkan agar tidak seperti teroris yang lagi bobok pasif.