gerak cepat rivalitas Islam

Jalanhijrah.com – Massa pendukung Habib Rizieq Syihab menggelar demo terkait putusan banding kasus swab RS Ummi, Bogor. Massa melakukan long march dari arah Perempatan Coca Cola hendak menuju ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Cempaka Putih, Senin (30/8). Dalam aksi tersebut, aparat keamanan jadi sasaran. Ada polisi terluka, meski tidak mengalami cedera parah.

“Mereka adalah Kabag Ops Polres Metro Jakarta Pusat AKBP Guntur, Kasat Intel Polres Metro Jakarta Pusat dan dua anggota Sabhara Polda Metro Jaya,” terang Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Hengki Haryadi, seperti dilansir dari JPNN.

Istana merespons peristiwa tersebut. Dalam kanal YouTube Pena Istana merilis video dengan judul agak provokatif: Mengejutkan, Simpatisan Rizieq Baku Hantam Dengan Polisi, dengan thumbnail “Aksi Saling Dorong Terjadi…!!! 1.000 Personel Di Kerahkan. Simpatisan Rizieq Bikin Ulah Hingga Lakukan Ini Ke Polisi”.

Sejumlah media massa memberitakan bahwa Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Mahfud MD mengecam aksi demo tersebut. Namun, berdasarkan penelusuran Redaksi Harakatuna, video tersebut bukan resmi dari istana. Ada pihak yang sengaja membuat konten hiperbolis dengan tujuan yang pasti provokatif.

Namun berita tersebut datang dari pihak yang pro-pemerintah. Sementara itu, dari pihak demonstran juga ada korban. Berdasarkan pantauan Detik, di Jalan Suprapto, Cempaka Putih, seorang pria mengenakan kaus berwarna putih bertuliskan #2019KomandoHabibRizieqSyihab terluka di bagian dahi. Pria itu mencoba kabur dari kejaran polisi dan ditangkap di atas halte TransJakarta, tapi belum diketahui bagaimana ia bisa berdarah.

Baca Juga  Narco-Terrorism (II): Fadli Sadama, Teroris Indonesia dan Kesadisannya

Seluruh kekacauan yang terjadi pematiknya adalah kasus Habib Rizieq. Sejumlah pihak meminta pemerintah segera membebaskannya, dan fokus pada masalah yang lebih urgen: koruptor alias maling negara terlaknat—menurut mereka—yang mendapatkan sanksi ringan. Sanksi impoten terhadap para maling negara kemudian melahirkan sangsi masyarakat.

Artinya, semakin tumbuh ketidakpercayaan terhadap hukum yang kemudian memobilisasi mereka, para demonstran terutama, untuk bertindak menggunakan kekerasan. Anarkisme menjadi konsekuensi logis dari keputusasaan dan kebencian yang mendalam. Ini tentu merupakan lampu darurat bagi pemerintah dalam penegakan hukum. Jika tidak, anarkisme pasti akan terulang.

Pada sidang yang lalu, Habib Rizieq diputuskan bebas bulan Juli. Tapi ia kembali divonis kasus berbeda yang membuat dirinya gagal bebas. Di mata pendukungnya, pasal yang didakwakan sengaja dibuat untuk membuatnya mendekam di penjara. Bagaimanapun, bagi pengikutnya Habib Rizieq tidak bersalah atau bisa jadi bersalah tapi hukumannya berlebihan.

Melihat fakta tersebut, pemerintah mesti segera membenahi inti masalahnya, yaitu kesangsian keadilan. Sebab, saat ini yang tidak percaya dengan keadilan hukum bukan hanya pengikut Habib Rizieq, melainkan seluruh pengamat—baik oposan atau netral—di luar pemerintahan. Kasusnya misal peringanan hukuman pada para maling negara dan penghapusan mural oleh aparat.

Segala ketimpangan yang sudah membengkak, dan segala ketidakadilan yang dianggap semakin jelas di depan mata: antara terhadap Habib Rizieq dan kepada maling negara, adalah masalah yang sangat serius. Di sini hendak ditegaskan bahwa anarkisme para pengikut Habib Rizieq bukanlah sebab, melainkan akibat dari kesangsian akan keadilan tersebut.

Baca Juga  Fatih Karim dan Gurita Bisnis Yayasan Penyebar Kegilaan Khilafah HTI

Habib Rizieq menjadi contoh bagi para pengikutnya bahwa pemerintah bersikap tidak adil. Itu di satu sisi. Di sisi lainnya, masyarakat sedang dipertontonkan ketidakadilan penerapan hukum, misalnya kasus Juliari Batubara, maling bansos Covid-19, juga Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki, yang masing-masing mendapat keringanan dengan alasan yang dianggap irasional.

Lalu bagaimana untuk mencegah terulangnya anarkisme seperti yang terjadi kemarin?

Ada dua hal yang bisa ditempuh baik oleh simpatisan Habib Rizieq maupun pemerintah. Pertama, penuntasan segera sidang terhadap yang bersangkutan demi meminimalisir kericuhan massa pendukung. Jika Habib Rizieq memang terbukti, ia pasti bersedia. Namun sebaliknya, jika banding ditolak, pengadilan harus berkoordinasi dengan pihak terdakwa untuk mencegah mobilisasi.

Kedua, massa pendukung mesti mempercayai penegakan hukum dan tidak anarkis. Ketiga, pihak yang mengompori kedua belah pihak, seperti Ferdinand Hutahaean yang narasinya sering kali menyulut emosi masyarakat. Provokator di tengah proses hukum wajib ditindak tegas dan ditertibkan agar tidak memperkeruh keadaan.

Keempat, pemerintah memiliki beban moral untuk menegakkan keadilan dan memperbaiki citra negatif yang hari ini disematkan kepada mereka sebagai pihak yang tidak adil. Kesangsian terhadap keadilan tidak bisa dipandang remeh karena anarkisme menjadi ancaman nyata.

Kelima, atau yang terakhir, para maling negara harus dihukum berat dan dijauhkan dari remisi apalagi dengan alasan yang nepotis dan sulit dicerna akal. Di sini perlu disadari oleh seluruh pihak, bahwa para maling negara tersebut adalah “penyebab” kesangsian masyarakat terhadap keadilan. Adapun Habib Rizieq dan massanya merupakan “preseden buruk” dari kesangsian tersebut, sedangkan anarkisme adalah “akibat” dari seluruh permasalahan.

Advertisements

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *