Jalanhijrah.com- Keterlibatan istri dalam aksi terorisme acapkali luput dari pembahasan. Karena aksi terorisme identik dengan jenis kelamin laki-laki, sedangkan istri diposisikan sebagai korban. Padahal dalam perkembangannya, perempuan justru berperan menjadi bomber baik dilakukan sendiri (lone wolf) maupun dengan pasangan suaminya atau dikenal dengan bom pengantin.
Tren keterlibatan istri dalam aksi terorisme memang memiliki perubahan yang cukup signifikan. Awalnya istri diposisikan sebagai korban dan tidak tahu menahu perbuatan suaminya, kemudian berkembang menjadi suport system tindakan suami, dan yang ketiga menjadi pelaku bomber.
Hal inilah yang menjadi kendala dalam mengukur sejauh mana keterlibatannya dalam aksi yang dilakukan oleh suaminya. Beberapa pihak menyatakan bahwa meskipun menjadi pelaku utama, istri tetaplah korban. Korban dari doktrin dan ideologi yang didapat dari suaminya pasca menikah. Namun di satu sisi, banyak juga perempuan yang dengan penuh kesadaran menyatakan bahwa tindakannya murni lahir dari keyakinannya bukan karena pengaruh dan doktrin dari suami.
Erin Gayatri dalam konferensi WGWC di tahun 2020 melakukan pemetaan model-model pernikahan yang dilakukan oleh pelaku teroris untuk mengukur sejauh mana keterlibatan istri dalam aksi tersebut. Sehingga, untuk menentukan apakah istri berperan sebagai suport system ataukah pelaku ataukah korban bisa dilihat dari model pernikahan yang dilakukan oleh kedua pasangan. Adapun model-model pernikahan tersebut adalah:
Pertama, Ordinary Marriage
Adalah pernikahan yang dilakukan oleh pelaku terori dimana sebelumnya kedua belah pihak tidak terlibat dalam kasus terorisme. Hal ini sebagaimana pernikahan pada umumnya yang menikah didasari oleh ketertarikan satu sama lain dan keduanya belum terpapar paham radikal.
Namun di tengah perjalanan pernikahannya, salah satu pihak atu keduanya sama-sama terpapar paham radikalisme dan keduanya atau salah satu pihak memutuskan untuk terlibat dalam jaringan.
Memetakan peran istri untuk jenis pernikahan ordinary marriage ini tergolong cukup sulit. Karena penegak hukum harus benar-benar memastikan siapakah diantara keduanya yang terpapar terlebih dahulu. Siapa yang mempengaruhi dan siapa yang dipengaruhi.
Karena istri bisa jadi memang tidak tahu apa yang dilakukan suami dan hanya melakukan peran sebagaimana istri lain pada umumnya. Dan tidak menutup kemungkinan juga dalam jenis pernikahan ini, istri justru yang mempengaruhi suami untuk terlibat dalam aksi radikalisme dan terorisme.
Kedua, Pride Marriage
Adalah seorang perempuan yang menikah dengan laki-laki yang memang aktif terlibat dalam aksi terorisme. Dalam pernikahan jenis ini, biasanya ia menjadi istri kedua sedangkan pertemuannya dengan suami diperantarai oleh istri pertama.
Pernikahan jenis ini terjadi karena perempuan tersebut mendampakan sosok suami yang memiliki pemahaman agama yang bagus yang ditandai dengan identitas-identitas lahiriah yang tampak dari sosok calon suami. Sedangkan dalam pemahaman narasi ekstrimis, perempuan yang baik adalah perempuan yang rela dipoligami dan mendapat jaminan syurga.
Pemahaman perempuan tentang agama yang masih setengah-setengah ini kemudian dimatangkan selama proses pernikahan. Dalam relasi inilah, doktrin atas paham radikal diinternalisasi dengan berbagai cara. Sehingga ia juga diliatkan dalam aksi-aksi radikal yang dilakukan pihak suami. Oleh karena itu, dalam jenis pernikahan ini akan sangat terlihat perbedaan peran antara satu istri dengan istri lainnya dalam membantu aksi teror yang dilakukan suami.
Tujuan suami menikahi banyak istri salah satunya adalah untuk mengkader dan mencari pendukung yang dapat memudahkan gerakannya. Dalam posisi inilah istri bisa ditempatkan sebagai korban atas kejahatan yang dilakukan oleh suaminya. Karena meskipun istri menjadi suport system ataupun bomber sekalipun, ia adalah korban dari doktrin suami yang diperoleh selama menjalani rumah tangga.
Ketiga, Vehicle Marriage
Dalam pernikahan jenis ini, seorang perempuan menikah dengan laki-laki yang memiliki tujuan sama yaitu aksi terorisme. Keduanya menikah dalam posisi sudah terpapar paham radikal, dan menikah digunakan sebagai kendaraan dan perantara untuk merealisasikan tujuannya tersebut.
Karena istri dalam posisi ini memang sengaja menikah untuk menyemaikan pemahaman radikalnya maka ia secara aktif terlibat menyebarkan ideologi tersebut kepada pihak-pihak lainnya. Jika istri dalam pernikahan ini diposisikan sebagai korban, besar kemungkinan ia akan mengulangi perbuatan yang memang diyakininya sebagai sebuah kebenaran tunggal.
Jika istri terlibat terorisme dengan melakukan pernikahan jenis ini, maka ia harus diposisikan sebagai pelaku meskipun tidak menjadi bomber atau hanya terlibat sebagai suport system. Karena ia sudah memiliki niat buruk untuk melancarkan ideologinya dan menggunakan pernikahan sebagai perantara untuk merealisasikan tujuan bengisnya.
Pemahaman yang baik mengenai ketiga model pernikahan sebagaimana disebut di atas akan memudahkan penegak hukum dalam mengkategorikan keterlibatan istri dalam aksi terorisme. Kesalahan yang dilakukan penegak hukum dalam memetakan apakah istri sebagai korban ataukah pelaku akan memiliki dampak yang signifikan dalam upaya pemberantasan aksi terorisme dan radikalisme. Karena pelaku dan korban tentunya memerlukan perlakuan yang berbeda baik secara hukum maupun sanksi sosial yang akan diperoleh dari masyarakat disekitarnya.
Penulis