Mengkaji Konsep al-ikrah (Paksaan) dalam Kekerasan Seksual

Jalanhijrah.com-Menurut syariat, ikrah adalah membawa orang lain kepada apa yang tidak disenanginya. Secara bahasa Ikrah menurut Imam Jurjany adalah: adanya paksaan dari orang lain terhadap sesuatu yang tidak disenangi disertai adanya ancaman. Menurut istilah ikrah diartikan adanya paksaan dari seseorang tanpa hak terhadap perkara yang tidak disenangi.

Menurut kamus bahasa Indonesia ada beberapa arti Ikrah atau Paksa: yaitu mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun tidak mau. Sedangkan makna terpaksa adalah: berbuat di luar kemauan sendiri karena terdesak oleh keadaan; mau
tidak mau harus; tidak boleh tidak.

Rukun terjadinya ikrah (paksaan) diantaranya:
1. Al-Mukrah (orang yang dipaksa)
2. Al-Mukrih (orang yang memaksa)
3. Al-Mukrah bihi (cara paksaan yang digunakan oleh orang yang memaksa)
4. Al-Mukrah ‘alaihi (sesuatu yang dipaksakan untuk dilakukan oleh mukrih)
Sementara itu, syarat-syarat ikrah antara lain:

Pertama, Si pelaku mampu merealisasikan apa yang diancamkannya, sedangkan orang yang dipaksa tidak mampu menolaknya walaupun dengan cara melarikan diri.

Kedua, Adanya dugaan kuat dari orang yang dipaksa bahwa jika dia menolak maka orang yang memaksa pasti membahayakan dirinya.

Ketiga, Sesuatu yang diancamkan kepada orang yang dipaksa akan terjadi pada saat itu juga, seandainya yang memaksa berkata: “Bila kamu tidak melakukan hal ini maka aku akan memukulmu besok hari,” maka hal itu tidak dianggap sebagai Ikrah.

Keempat, Paksaannya telah ditentukan. Ketika ada seseorang yang memaksa dengan mengatakan: “bunuh lah Zaid atau Amar”. Hal ini tidak termasuk kategori paksaan.

Kelima, Paksaan bukan pada tempatnya (bukan pada yang hak). Apabila paksaan pada tempatnya maka hal ini tidak termasuk Ikrah.

Berdasarkan konsep al-ikrah (paksaan), coba kita khusus kan dalam masalah kekerasan seksual, yang mana dalam perbuatannya pasti melibatkan al-ikrah (paksaan) untuk mencapai kepuasan seksual. Namun mirisnya kekerasan seksual yang terjadi selalu dibantah atas dasar paksaan, tetapi menggunakan dalil suka sama suka atau disetujui keduanya. Hal inilah yang kemudian menjadi suatu normalisasi ketika terjadi kasus kekerasan seksual. Al-ikrah (paksaan) bisa terjadi apabila korban tidak memberikan persetujuan (consent)
atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kekerasan.

Baca Juga  Kisah Abu Dujanah, sang Pemegang Pedang Rasulullah di Perang Uhud

Di Indonesia sendiri masalah kekerasan diatur dalam UU KUHP Pasal 285 hingga 290 disebutkan bahwa faktor-faktor penentu utama adanya kekerasan antara lain, adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, korban tidak sadarkan diri atau tidak berdaya, korban berumur di bawah 15 tahun atau umurnya tidak jelas, serta jika pelaku dan korban tidak dalam hubungan menikah. Artinya secara tersirat KUHP mengatur bahwa persetujuan (consent) untuk berhubungan seksual tidak bisa diberikan hanya dalam keadaan-keadaan ini saja.

Berikut juga Permendikbud PPKS No.30 Tahun 2021 mengatur kekerasan seksual bukan perbuatan seksual, sehingga jika tanpa persetujuan seseorang atau korban dihapuskan atau dikeluarkan, itu artinya aturan tersebut tidak lagi mengatur kekerasan seksual, tentu ini bertentangan dengan maksud dan tujuan dibuatnya peraturan tersebut.

Hubungan seksual diatur dalam hukum pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan, apabila di dalamnya mengandung unsur ketiadaan persetujuan (consent). Artinya poin persetujuan ini menjadi sangat penting untuk dapat membuktikan apakah seseorang melakukan tindak pidana atau tidak. Persetujuan ini juga menjadi poin penting yang memberikan legitimasi bagi negara untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan pribadi warga negaranya.

“Dalam hubungan seksual yang tidak didasari oleh persetujuan, maka negara diharuskan hadir guna memberikan perlindungan kepada korban. Sebaliknya, dalam perbuatan yang disadari dengan persetujuan, negara tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk dalam mengintervensi”. Jika berbicara legal atau tidaknya hubungan seksual, artinya kita akan masuk ke dalam diskursus mengenai ada atau tidaknya consent, bukan hanya status legal kependudukan atau perkawinan semata.

Baca Juga  Tangkal Secara Menyeluruh Radikalisme di Medsos

Bagaimana hukum Islam memandang masalah kekerasan seksual dengan paksaan (ikrah), mengutip kitab Qurrotul Uyun yang ditulis oleh Syaikh Qasim bin Ahmad bin Musa bin Yamun disebutkan hubungan seks dengan paksaan (ikrah) merupakan perbuatan tercela karena menghilangkan hak istri untuk mendapat kenikmatan serta dapat merusak iman. Hal ini juga tidak sesuai dengan konsep mu’asyarah bil ma’ruf seperti yang disebutkan di Q.S Al- Baqarah 2:228:

ِمْثُلاَّلِذي َعَلْيِهَّنِباْلَمْعُروِف

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”

Kata ikrah disebutkan secara berulang dalam Alquran dengan konteks kekerasan seksual. Seperti pada Q.S An-Nur 24:33 yang membahas mengenai pemaksaan pelacuran. Dalam fiqih, beberapa ahli fiqih menggunakan kata al- ikrah untuk merujuk pada perkosaan.
Karena itulah Islam tidak menghukum korban kekerasan seksual. Mereka tidak menginginkan hal tersebut melainkan di bawah paksaan. Hal ini telah diatur dalam Alquran di Q.S Al-An’am 6:145:

َف َم ِن ا ْض ُط َّر َغ ْي َر َب ا ٍغ َّو َلَ َع ا ٍد َف ِا َّن َر َّب َك َغ ُف ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم

“Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Islam melarang perbuatan kekerasan seksual baik fisik maupun nonfisik. Bahkan dalam Alquran telah disebutkan dengan merujuk pada “ar-rafast” dan “al-fakhasiyah“. Menurut Muffasirin, ar-rafast ialah ungkapan keji yang menjurus pada seksualitas perempuan. Misalnya menyebut seorang perempuan sebagai pelacur. Sedangkan al-fakhasiyah merupakan perbuatan juga ucapan yang merendahkan martabat perempuan serta seksualitasnya, yang bisa berupa meraba-raba, menggesekkan kelamin, serta bentuk kekerasan seksual lainnya.

Baca Juga  Gagalnya U-20 di NKRI: Bukti Kedaulatan atau Menangnya Radikalisme?

Berdasarkan konsep Ikrah (paksaan) dalam konteks kekerasan seksual tentu Islam melarang perbuatan pemaksaan kekerasan seksual. Karena itulah Islam tidak menghukum korban kekerasan seksual, mereka tidak menginginkan hal tersebut melainkan di bawah paksaan.

Kajian-kajian agama kita masih lalai saat bicara tentang kekerasan seksual dan berkutat dengan bahasan-bahasan yang diproduksi secara massal dan cenderung menyalahkan korban. Seperti perempuan merupakan sumber fitnah, pendek akal, serta harusnya diam di rumah, tidak berpakaian menggoda atau menggunakan parfum.

Dalam Islam, hubungan rumah tangga harus dijalani dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Ini merupakan konsep kesalingan antara suami dan istri dalam membangun rumah tangga. Yakni dengan menekankan keikhlasan di antara keduanya selama berinteraksi dan menjalaninya dengan ikhlas. Sehingga tujuan pernikahan yang samawa, mawaddah, wa rahmah dapat tercapai. Untuk itu maka dibutuhkan persetujuan bersama mengenai tata cara berinteraksi antar pasangan tersebut.

Karena itulah Islam melarang adanya al-ikrah (paksaan) dalam hubungan antar sesama muslim, khususnya suami istri. Sederhananya, dalam melihat kekerasan seksual cukup berfokus pada ketidakadaan persetujuan, karena jika kegiatan seks tersebut dilakukan dengan paksaan maka hal tersebut merupakan suatu kejahatan.

Penulis: Zumrotun Nazia Mahasiswa Pascasarja UIN Malik Ibrahim Malang

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *