Mengenal Tradisi Kecantikan Wanita Sudan Perspektif Gender

Jalanhijrah.comKecantikan tidak hanya dinilai sebagai estetika. Akan tetapi, kecantikan divalidasi memiliki pengaruh yang besar terhadap klasifikasi status sosial, kelas, dan jenis kelamin. Sementara itu, fenomena standar kecantikan suatu negara berbeda dengan negara lainnya. Perbedaan ini tidak hanya terjadi di skala internasional, tetapi juga di skala regional. Artinya, konsep kecantikan tidak dapat didefinisikan oleh satu prinsip. Hal ini dipengaruhi oleh relasi sosial dan praktik budaya yang menciptakan komersialisasi standar kecantikan, dan bersifat dinamis.

Kecantikan identik dikorelasikan dengan wanita. Dalam kamus Oxford, definisi kecantikan adalah ‘kombinasi kualitas, berupa warna, atau bentuk yang memanjakan indra estetik, yakni visual’. Lazimnya, wanita berpacu dengan dirinya dan wanita lain demi mencapai fitur-fitur tertentu selaras dengan standar kecantikan regional. Selaras dengan argumentasi Feminis dalam Forbes bahwa wanita telah menginvestasikan banyak waktu, energi dan emosional dalam upaya mencapai standar kecantika. Namun, berakhir sia-sia.

Sama halnya dengan masyarakat Sudan yang memiliki kesepahaman yang sama mengenai definisi kecantikan. Dalam upaya mencapai fitur-fitur kecantikan tersebut, biasanya ditansmisikan melalui ritual dalam tradisi masyarakat Sudan.

Definisi kecantikan masyarakat Sudan niscaya mengalami pergeseran. Sebagaimana standar kecantikan kuno ditandai oleh praktik shilok (skarifikasi pipi) dan  dag al  shalofa (tato bibir). Adapun konsep kecantikan kuno dimaknai sebagai  identitas suku tertentu.

Seiring berjalannya waktu, praktik ini pun ditinggalkan dan dianggap tidak lagi relevan dengan beberapa alasan. Salah satunya, dalam konteks ini masyarakat lebih menggaungkan nasionalisme bukan lagi kesukuan. Namun, masih terdapat praktik kecantikan tradisional yang masih bertahan bahkan memodifikasikannya dengan modernitas. Berikut pemaparan tradisi traditional yang masih berlangsung.

Baca Juga  Perempuan Merdeka atas Cita dan Cinta

Ritual Kecantikan Wanita Sudan

Ritual kecantikan dokhan adalah terapi mandi asap beraroma yang dipercayai dapat mengobati berbagai penyakit, diantaranya; sifilis, gonore, nyeri sendi, serta berbagai manfaat kecantikan. Hal ini dikonfirmasi dari komunikasi intens terhadap beberapa warga negara Sudan. Mereka meyakini bahwa ritual dhokan dilakukan untuk mendapatkan kulit yang lebih terang, dan hanya dilakukan oleh wanita yang sudah menikah atau wanita yang akan menikah.

“…ritual dhokan dilakukan oleh calon pengantin wanita untuk mendapatkan warna kulit lebih terang. Bagi kami, ritual ini sakral” Abdullah.

“…dhokan hanya teruntuk wanita yang akan menikah untuk mendapatkan warna kulit yang lebih cerah, bukan untuk gadis.” Amina.

Adapun operasionalnya, wanita dilumuri dengan karkar (minyak aromatika) dalam keadaan telanjang dan ditutupi selimut wol. Selanjutnya, ia duduk di atas tanah yang bagian tengahnya di lubangi dan diisi kayu bakar. Selama proses terapi dokhan, lazim menambahkan pijatan aromatik yang disebut ‘dilka’ untuk hasil kulit tampak bersih, sehat, kenyal, dan wangi.

Selain manfaat kecantikan, ritual dhokan juga dipercayai dapat mengobati bayi yang sedang mengalami diare akibat tumbuhnya gigi. Dengan dilakukaknnya dokhan, maka terjadilah  proses ‘pemasakan asi’. Bayi yang meminum asi ‘yang dimasak’ tersebut diyakini akan sembuh dari diare.

Selanjutnya, tradisi pingit. Seorang wanita yang hendak menikah, maka ia harus dipingit (tidak boleh keluar rumah). Selama proses pingit, wanita diberi asupan makanan yang banyak. Tujuannya untuk menambahkan berat badan. Memiliki tubuh yang montok merupakan bagian dari konsep cantik.

Baca Juga  Menerka Ulang Sejarah Perempuan yang Hilang

“Sejauh ini yang saya ketahui, orang Sudan menyukai wanita yang sedikit berisi di bagian dada dan pinggul. Oleh sebab itu, wanita yang akan menikah, akan diberi makanan yang dapat menambah bobot badan mereka.”Farida.

Selanjutnya, ritual bridal henna hitam. Ritual ini masih bertahan dan sangat populer dikalangan masyarakat Sudan. Pemaknaanya bukan sekedar untuk terlihat cantik atau ritual dalam prosesi pernikahan. Bridal henna hitam merupakan wujud dari identitas wanita Sudan. bagi wanita yang sudah menikah dan pengantin wanita, keduanya melukis henna dibagian kaki dan tangan. Berbeda halnya dengan seorang gadis mereka harus memilih melukis henna dibagian tangan atau kaki. Pemilihan tersebut dianggap sebagai tanda kegadisan mereka.

Ritual-ritual tersebut masih menarik perhatian masyarakat. Terkonfirmasi dari berkembangnya ritual tersebut ditandai oleh maraknya modifikasi ala international yang dapat dijumpai di salon-salon modern. Meskipun demikian, ritual-ritual tersebut tidak kehilangan substansinya.

Sementara itu, jika dilihat dari perspektif gender bahwa ritual-ritual tersebut mengindikasikan seorang wanita dituntut oleh masyarakat disekitarnya untuk memenuhi standar kecantikan tertentu. Ia tidak hanya didorong oleh dirinya tetapi lingkungan yang dinormalisasi dengan istilah tradisi. Harapannya, wanita yang berhasil mendekati definisi kecantikan dapat menyenangkan laki-laki.

Selain tradisi yang telah di paparkan, terdapat tradisi infibulasi wanita atau sunat Fir’aun yang marak dilakukan masyarakat secara rahasia. Praktik ini dilarang karena alasan kesehatan dan tidak adanya  rujukan agama yang kuat. Meskipun demikian, beberapa kepercayaan kuno mengenai infibulasi bertahan hingga saat ini, diantaranya; sebagai bentuk perlindungan, kesucian dan kehormatan. Adapun kepercayaan Era Arab pra-Islam, bahwa dengan menginfibulasi anak wanita akan memberikannya perlindungan. Artinya, tidak perlu pengawasan ketika anak tersebut keluar rumah (mengembala domba). Selain itu, terdapat kepercayaan lain bahwa klitoris akan terus tumbuh besar sama halnya dengan pertumbuhan bagian tubuh yang lain.

Baca Juga  Inilah Sumber Dosa Jariyah Yang Jarang Diketahui

Berasas dari kepercayaan-kepercayaan tersebut, pemaknaan terhadap infibulasi wanita mengarah pada ruang rekonstruksi gender. Dengan kata lain, wanita dituntut untuk menghilangkan maskulinitasnya. Dalam masyarakat Sudan, maskulinitas dipercayai sebagai hal yang tidak pantas, atau memalukan di diri seorang wanita. Oleh sebab itu, sisi maskulinitas harus dihilangkan seperti dilakukannya infibulasi untuk mencegah tumbuhnya klitoris.

Kepercayaan tersebut membentuk sebuah keyakinan di tengah masyarakat, meskipun aturan dilarangnya praktik infibulasi sejak 1945 oleh kolonial. Ironisnya, kampanye dari otoritas keagamaan belum membawa perubahan yang signifikan hingga saat ini.

Apriliyani Harahap, Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *