Mendedah Pembaruan Radikal Yudian Wahyudi; Komparasi Ekstrem dengan Para Pembaru Islam di Indonesia

Judul Buku: Pembaruan Islam Yudian Wahyudi; Komparasi dengan Hasbi Ash Shiddieqy, Hazairin, Nurcholish Madjid dan Quraish Shihab, Editor: Mansur dan Yasin Yusuf Abdillah, dkk., Tahun Terbit: 2021, Penerbit: Suka Press, Tebal Halaman: 224 hlm., ISBN: 978-623-7816-33-1, Peresensi: Saiful Bari.

Jalanhijrah.com – Sekalipun banyak tokoh muslim Indonesia yang urun rembuk memperkaya khazanah pemikiran Islam baik di tingkat nasional maupun global, namun sebenarnya kita belum banyak mengetahui bahwa Prof. KH. Yudian Wahyudi, Ph.D. merupakan Sang Pembaru Islam di abad ke-21.

Sebagaimana bunyi judul buku ini, kita semua dibikin kaget karena nama Prof. Yudian disebut pembaharu Islam kontemporer yang disandingkan sederet tokoh muslim Indonesia yang memiliki pengaruh seperti Prof. Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. Hazairin, Prof. Nurcholish Madjid dan Prof. Quraish Shihab.

Kemudian, yang menjadi pertanyaan, dalam aspek apa Yudian dikatakan pembaharu Islam kontemporer? Bagaimana pemikirannya? Apakah Yudian apple to apple dengan Hasbi, Hazairin, Cak Nur, dan Quraish Shihab?

Buku antologi yang dimotori oleh Khoirul Anam, dkk ini bisa turut membantu menjawab pertanyaan ini. Tetapi, sudah barang tentu masih banyak yang tidak kita ketahui apa dan bagaimana pemikiran Prof. Yudian selain yang nampak di buku ini. Buku ini penting karena diulas bagaimana Yudian memberikan catatan kritis atas gagasan keempat tokoh pendahulunya. Hal menarik adalah selain mengkritisi para tokoh sebelumnya pemikirannya begitu aplikatif.

Di samping itu, buku menjadi lebih menarik karena berhasil memotret diskursus pembaruan Islam melalui pemikiran-pemikiran tokoh muslim Indonesia. Di antaranya, Prof. Hasbi Ash Shiddieqy (1904-1975), Prof. Hazairin (1906-1975), Prof. Nurcholish Madjid (1939-2005) dan Prof. Quraish Shihab (1944-Sekarang). Tak hanya itu, buku ini mengupas tema pembaruan ke dalam tiga bagian yakni, pembaruan hukum Islam, pembaruan pendidikan pesantren dan pembaruan tafsir dan ushul fiqh.

Baca Juga  Melawan Isu Khilafah, Imagine Community yang Mustahil Terealisasi

Bagian pertama, membahas pemikiran Hasbi tentang Fiqih Indonesia yang ramai-ramai ditolak oleh sejumlah tokoh seperti Kuntowijoyo, Ali Yafie dan Ibrahim Hosen. Apabila tokoh lainnya menolak konsep Fiqih Indonesia ini maka Yudian justru mendukung dan bahkan ia pasang badan demi teraktualisasinya gagasan Habis.

Tak hanya itu, ia juga menegaskan bahwa gagasan Hasbi layak diwacanakan kembali sebagai salah satu upaya menggapai reformasi hukum Islam di Indonesia abad ke-20. Walau begitu, Yudian tetap mengkritisi pemikiran gurunya itu yang ia anggap masih bersifat konseptual (hlm. 7-9).

Dari Fiqh Indonesia kembali ke teori Receptie yang digagas oleh Prof. Christian Snouck Hurgronje. Jamak diketahui, teori Receptie ini merupakan upaya kolonial Belanda yang ingin memonopoli penerapan hukum di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, muncul berbagai tanggapan mengenai hukum yang berlaku di Indonesia. Bersamaan dengan itu, muncul nama Prof, Hazairin dengan teorinya Receptie Exit (hlm. 29).

Sebagai anak bangsa yang lahir di Bukittinggi, Hazairin menolak teori Receptie yang lekat pada hukum adat. Ia menganggap bahwa teori Receptie adalah teori iblis. Dengan begitu, Hazairin menawarkan teori baru yang ia sebut teori Receptie Exit. Menurutnya, teorinya itu dilandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (yang dijiwai nilai-nilai Islam) dan tentunya tidak dijiwai hukum adat (yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis) (hlm. 36).

Berbeda dengan gagasan di atas, Yudian dengan istilah Lisanul Kaum dan teori Kesinambungan dan Perubahan (continuity, change, transcendence) yang muncul belakangan tidak menolak teori Receptie ala Snock Hurgronje. Yudian justru menganggap teori Receptie sebagai upaya penyatuan nilai-nilai adat dengan hukum Islam atau lebih tepatnya, ia mengisi teori Receptie itu dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, menurutnya, merespon teori Receptie itu bukan dengan teori Receptie Exit melainkan dengan teori Receptie itu sendiri.

Baca Juga  Menjadi Maryam Masa Kini

Bagian kedua buku ini banyak membahas pembaruan pendidikan pesantren. Sebagai lembaga pendidikan tertua yang bercirikhaskan nilai-nilai Indonesia, pesantren akan selalu menarik untuk senantiasa dikaji. Bagi Yudian, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan bangsa Indonesia.

Oleh karenanya, untuk memperbaiki bangsa Indonesia maka solusinya adalah memperbaiki mayoritasnya yakni, Islam. Karena Islam maka perbaikilah pendidikan Islam yang mayoritas yakni, NU. Karena NU maka perbaikilah pendidikan NU yaitu pesantren (hlm. 68-69).

Berbeda dengan Cak Nur. Ia beranggapan bahwa visi dan tujuan yang dibawa pesantren itu sangat lemah karena cenderung “dimonopoli” oleh seorang kiai. Hal ini tentu memberikan dampak negatif karena kiai memiliki keterbatasan dan kekurangan (hlm. 70). Di sinilah letak kekurangan pesantren versi Cak Nur.

Namun, Yudian melihat bahwa kekurangan pesantren dalam perkembangan zaman sekarang itu karena mengabaikan “ijazah” yang menjadi simbol bagi kemampuan dan keahlian sebuah produk lembaga pendidikan (hlm. 78).

Perbedaan perspektif yang diametral ini terjadi karena, Cak Nur tidak pernah mengasuh (menjadi kiai) di pesantren. Dengan kata lain, konsep pesantren yang digagas Cak Nur hanya bersifat teoretis karena ia belum memiliki pesantren. Sedangkan Yudian, selain ia berhasil melahirkan konsep pesantren, ia juga berhasil mengaktualisasikan gagasannya ke dalam pesantren yang dimilikinya yakni, Pesantren Nawesea di Yogyakarta.

Bagian ketiga buku ini membahas pembaruan tafsir dan ushul fiqh yang membandingkan pemikiran Yudian Wahyudi dengan Quraish Shihab. Sesama tokoh yang aktif menyampaikan kerja tafsir lisan, Quraish Shihab kerap melakukan siaran langsung di Metro TV. Sedangkan Yudian kerap melakukan tafsir kontekstualnya melalui ruang-ruang seminar dan workshop (hlm. 152-153).

Baca Juga  Islam Moderat sebagai Konsep Mewujudkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin

Tak hanya tempat yang berbeda, penafsiran yang dilakukan Yudian juga berbeda dengan Quraish Shihab. Apabila Quraish dalam menafsirkan suatu surat dalam al-Qur’an dimulai dari pemaparan asbabul nuzul hingga penafsiran dari tiap-tiap ayatnya serta menyampaikan aspek kebahasaannya maka Yudian tidaklah melalui proses tersebut. Penafsiran yang ia lakukan langsung tertuju pada sebuah fenomena dan ditafsiri dengan konteks (175).

Pada titik inilah dapat diketahui bahwa gagasan Yudian lebih aplikatif. Di sisi lain, Yudian melampaui Hasbi, Hazairin, Cak Nur, dan Quraish. Tidak seperti tokoh sebelumnya, Yudian berhasil mendirikan pesantren Nawesea – lembaga pendidikan yang mengintegrasikan antara fisika-metafisika dan sekolah pesantren –  dan Tarekat Sunan Anbia – tarekat yang berusaha mewujudkan surga di dunia dan di akhirat. Dengan begitu, adalah tepat jika kita menyatakan bahwa Prof. KH. Yudian Wahyudi adalah tokoh pembaruan Islam abad ke-21.

Bagi para pengkaji khazanah pemikiran Islam klasik-modern-kontemporer, buku ini sangat layak untuk dijadikan referensi terutama guna mengetahui lebih dalam pemikiran Prof. KH. Yudian dan posisinya di tengah pemikiran para tokoh lain, baik dari Indonesia maupun dari mancanegara.

Hal ini juga ditandaskan oleh Agus Moh. Najib dalam Kata Pengantar yang menjelaskan, buku antologi ini adalah salah satu upaya yang dapat menjadi sumber untuk mengenal pemikiran Prof. KH. Yudian dan pada gilirannya, akan muncul tulisan-tulisan yang mengkaji pemikiran-pemikiran orisinal Prof. KH. Yudian yang eksentrik dan sangat radikal.

Advertisements

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *