Jalanhijrah.com– Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung satu tahun lebih, tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan secara fisik berupa kematian dan lainnya. Namun, juga menyebabkan masalah kesehatan mental. Pandemi menyebabkan munculnya multiple stress ditengah kehidupan masyarakat.
Masyarakat yang awalnya tidak memiliki kekhawatiran atau depresi sebelum pandemi, mulai khawatir akan tertular Covid-19, khawatir kehilangan anggota keluarga, khawatir kehilangan pekerjaan karena PHK atau khawatir tidak mendapat pekerjaan karena Covid-19. Rasa khawatir ini bisa berujung pada depresi.
Lalu apa yang bisa kita lakukan agar terhindar dari depresi selama pandemi?
Salah satu hal yang bisa kamu lakukan adalah dengan melakukan self-healing. Self-healing (penyembuhan diri), dapat kita artikan sebagai penyembukan luka batin atau mental yang dapat diakibatkan oleh berbagai hal. Melansir dari Psychology Today, self-healing menjadi upaya yang dilakukan diri sendiri untuk menyembuhkan diri sendiri. Sebab itu, penting bagi setiap individu untuk mengenali penyebab luka batin yang dialaminya, sehingga akan memudahkan proses penyembuhan.
Nah, salah satu proses penyembuhan yang bisa dipilih adalah dengan expressive writing. Teknik expressive writing adalah bentuk terapi menulis yang dikembangkan oleh seorang psikolog di University of Texas, James W. Pennebaker di akhir 1980-an. Berdasarkan eksperimen yang dibuatnya, menulis jurnal adalah sebuah obat anti depresi.
Expressive writing sendiri merujuk pada kegiatan merefleksikan pikiran dan perasaan yang dialami ke dalam bentuk tulisan. Kamu bisa menuliskan apa yang kamu rasakan selama pandemi ke dalam bentuk tulisan. Berikut beberapa hal yang perlu kamu perhatikan selama mencoba expressive writing.
Pertama, Memahami Tujuan Menulis
Sebelum memulai menulis, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah memahami tujuan dari menulis. Membuat Expressive writing bertujuan untuk mengeluarkan emosi yang kamu rasakan. Sehingga mungkin sebagian tulisan akan bersifat personal, dan tidak perlu kamu publikasikan.
Karena ketika kamu berpikir untuk mempublikasikan tulisan, tulisan tersebut sudah menjadi milik publik dan publik berhak untuk menghakimi apa yang kamu tulis. Hal itu bisa jadi menyebabkan kamu menulis dengan rasa tertekan. Sekali lagi, perlu dipahami, bahwa tujuannya adalah untuk mengekspresikan apa yang kamu rasakan.
Kedua, Besikap Jujurlah Selama Menulis
Dikarenakan ini adalah bagian dari terapi untuk sembuh dari luka batin, atau tekanan yang kamu rasakan, bersikap jujurlah selama menulis. Kamu tidak perlu menyembunyikan apapun yang kamu rasakan, karena tidak ada orang lain yang akan membacanya. Jika kamu merasa kesal, marah, sedih, tuliskan saja apa yang kamu rasakan terlebih dahulu. Karena tujuan dari terapi ini adalah untuk meluapkan apa yang kamu rasakan.
Kamu tidak perlu merasa malu dengan perasaan negatif yang sedang kamu miliki. Para psikolog pada umumnya sepakat bahwa menghindari atau menekan emosi negatif hanya akan membuat tubuh tegang. Namun, saat kita mencoba untuk memahami, menyelami, mengekspresikan dan memproses emosi-emosi negatif atau kenangan-kenangan buruk yang kamu punya dimasa lalu, maka itu dapat membuat kita merasa lebih baik.
Menuliskan pengalaman buruk yang pernah kamu alami bukanlah untuk mengorek luka lama, tapi berusaha untuk mengambil makna positif dari pengalaman tersebut.
Ketiga, Berusahalah Realistis dan Mengambil Sisi Positif
Setelah kamu meluapkan apa yang kamu rasakan, hal penting lainnya yang tidak boleh luput adalah, berusahalah untuk realistis dan mengambil hal-hal positif dari perasaan buruk tersebut. Jika pada awalnya kamu menulis untuk mengungkapkan apa yang kamu rasakan, setelahnya kamu perlu mencari solusi untuk keluar dari hal buruk tersebut.
Kemampuan untuk mencari solusi tersebut membutuhkan pikiran realistis. Semisal, kamu tidak mendapatkan pekerjaan selama masa pandemi, sehingga kamu merasa gagal dan murung setiap hari. Kamu perlu berpikir dan menenangkan diri, bahwa tidak hanya kamu yang mengalami hal demikian. Pandemi memang menyebabkan masalah lapangan pekerjaan berkurang, bukan karena kamu kurang cakap, sehingga kamu selalu gagal. Dan mungkin, belum bekerja, berarti kamu memiliki waktu lebih banyak bersama keluarga atau waktu untuk mengasah hal skill baru.
Poin ketiga ini perlu diperhatikan agar kamu bisa bergerak maju setelahnya. Tidak hanya menuliskan apa yang kamu rasakan, teknik ini pada akhirnya diharapkan dapat membuka pikiranmu dan mencari solusi setelahnya.
Keempat, Luangkan Waktu 15 Menit untuk Menulis
Sebuah penelitian dari Francesco Gino seorang psikolog dari Harvard Business School menyebutkan bahwa meluangkan waktu 15 menit untuk melakukan refleksi dengan menulis di akhir harimu, bisa membuat harimu terasa jauh lebih efektif.
Meluangkan waktumu sebelum tidur untuk menulis dapat membantumu untuk menganalisa apa yang terjadi pada hari tersebut. Emosi apa yang kamu rasakan, dan bagaimana kamu menyikapinya. Hal ini menjadi penting, karena sebagian orang yang mengalami insomnia, orang yang merasa mengantuk tapi tidak bisa tidur, salah satunya disebabkan karena pikirannya berkeliaran ke mana-mana. Ia belum memberi ruang personal bagi dirinya untuk menyelesaikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya.
Pada akhirnya, expressive writing adalah salah satu cara yang bisa kamu lakukan untuk mengekspresikan hal-hal yang tidak bisa kamu luapkan. Hal ini bersifat sangat personal semisal dengan penulisan diary. Namun, bukan tidak mungkin, ini bisa menjadi inspirasi kamu untuk menulis sesuatu yang bisa dipublikasikan seperti buku atau artikel self-healing. Terapi ini mungkin juga bisa menjadi cara kamu untuk terbiasa menulis. Selamat mencoba!