Manajemen Teror (5): Propaganda Jihad dan Taktik Terorisme

Jalanhijrah.com – Masih dalam konteks pembahasan tamkin, yakni penegakan Negara Islam, sebagai elemen terpenting dalam manajemen teror. Rencana awalnya, bagian keempat kemarin akan mengupas keseluruhan bab pertama buku idarah al-tawahhusy. Ternyata tidak memungkinkan karena luasnya bahasan. Naji, sebagai ahli strategi, benar-benar mengupas tuntas siasat tamkin, meski agak utopis, harus diakui ia memiliki perencanaan matang dalam terorisme.

Mari kita lanjutkan pembahasannya.

Jadi, untuk menegakkan Negara Islam melalui penguasaan teritori, alias tamkin, elemen utamanya adalah, kata Naji, butuh massa sebanyak-banyaknya. Massa yang bersimpati dengan mereka, bahkan jika pun mereka jelas-jelas menebar teror. Naji mengatakan, “kita tahu bahwa itu semua bukan perkara mudah karena sistem thaghut sudah kadung mapan strukturnya,” namun ia optimis atas nama Allah. Ia lalu menawarkan dua strategi, yakni:

  1. Strategi militer jihadis, yang bertugas membombardir kekuatan musuh dan untuk dan menguras kemampuan moneter dan militer mereka
  2. Strategi media propaganda, yang bertugas mengindoktrinasi masyarakat untuk bergabung pada gerakan jihad dan menarik prajurit-prajurit musuh melalui doktrin bahwa gaji mereka tak ada nilainya dibanding bayaran menjadi jihadis—apalagi kalau bukan bidadari dan surga.

Setelah strategi tersebut berhasil, atau paling tidak berjalan dinamis, maka manajemen teror berikutnya mengejawantah dalam sejumlah agenda:

  1. Mengembangkan strategi militer untuk menyerang mundur musuh—sementara para thaghut masih fokus melindungi wilayah vital strategis yang jadi amukan teroris sebelumnya
  2. Mengembangkan strategi media sedemikian rupa, bahkan jika bisa menyasar pimpinan tentara musuh hingga mereka mau bergabung dalam jihad
  3. Merencanakan, menyiapkan, dan melatih diri untuk mengeksploitasi musuh dengan meletusnya chaos dan teror di mana-mana
  4. Melancarkan propaganda media yang tidak hanya untuk indoktrinasi, melainkan menciptakan iklim masyarakat yang konsekuen dengan cita-cita mendirikan Negara Islam sebagai tuntutan wajib syariat, sehingga indoktrinasi memungkinkan terjadi dengan sendirinya kepada seluruh elemen masyarakat.

Demikian strategi tamkin yang Naji tawarkan dalam bab kedua bukunya. Manajemen teror memanfaatkan chaos untuk menegakkan negara setelah ia berhasil meremukkan kekuatan musuh melalui terorisme dan propaganda media. Dalam konteks propaganda, poin keempat barusan, tujuan utamanya termasuk juga memusnahkan segala ide yang menghalangi bersimpatinya masyarakat pada terorisme—yang dalam alibi mereka adalah jihad Islam.

Kemudian Naji beranjak pada bab ketiga, dengan judul “Ahamm al-Qawa’id wa al-Siyasat al-Lati Tatayassaru bi al-Tiba’iha Khittah al-‘Amal wa Tatahaqqaqu Ahdaf Marhalah Syaukah al-Nikayah wa al-Inhak bi Sifah ‘Ammah wa Ahdaf Marhalah Idarah al-Tawahhusy bi Shifah Khashshah—Bi Idzn Allah.”

Terjemahnya, “Kaidah dan Siasat-siasat Primordial untuk Mengimplementasikan Rencana Aksi dan Mencapai Tujuan Tahap Penyerangan dan Penaklukan dan Tujuan Tahap Manajemen Teror.”

Pasal Manajemen Teror

Jadi ini sudah masuk bab ketiga. Namun, di sini perlu dijelaskan lagi beberapa istilah penting agar pemahamannya tidak rancu. Perlu dibedakan antara wilayah teror (manthiqah al-tawahhusy) dengan wilayah manajemen teror (manthiqah al-idarah), namun keduanya kerap kali tak terpisahkan. Pakistan, sebagai contoh, atau Afghanistan, bisa menjadi wilayah teror sekaligus wilayah manajemen teror, dengan Taliban sebagai jihadis dan AS sebagai thaghut-nya.

Naji menguraikan sepuluh pasal. Pertama, seni manajemen teror. Terorisme tidak bisa dilakukan serampangan, sporadis, karena efeknya akan kecil dan hanya membuang-buang waktu. Penyerangan dan penaklukan musuh harus terorganisir secara administratif. Jihad harus sistematis. Manajemen teror, karena itu, harus dikuasai betul. Taktik manajemen harus dipelajari melalui literatur-literatur tentang manajemen konflik. Ini adalah niscaya.

Baca Juga  Pegiat Literasi? Berikut Enam Nasihat Menulis dari George Orwell

Selain itu, seni manajemen teror membutuhkan pola kepemimpinan yang terstruktur. Spesialisasi pengetahuan praktis menjadi urgen, agar jika satu pemimpin mati, yang lain langsung siap jadi pengganti. Keterampilan jihad juga harus mumpuni secara merata pada setiap kader jihadis. Untuk menggapai seluruh seni manajemen ini, teori-teori modern halal dipakai. Segala taktik yang melancarkan manajemen adalah boleh, dan wajib dikuasai seluruhnya.

Kedua, pemimpin dan otoritas manajemen teror. Lumrahnya, kata Naji, dalam aktivisme Islam, kaidah yang dipakai ialah Laisa kull qa’id mudir wa laisa kull mudir qa’id (Tidak semua pemimpin adalah manajer dan tidak semua manajer adalah pemimpin). Kaidah tersebut menurutnya, dalam konteks manajemen teror, harus direvisi menjadi Kull qa’id mudir wa laisa kull mudir qa’id (Setiap pemimpin adalah seorang manajer tetapi tidak setiap manajer adalah seorang pemimpin).

Naji bertolak dari fakta bahwa pemimpin harus ahli strategi, tetapi ahli strategi tidak harus jadi pemimpin. Dirinya masuk kategori yang terakhir, yang merancang manajemen teror tanpa menjadi pemimpin Al-Qaeda. Pasal ini mesti jadi pegangan dalam eksekusi terorisme. Manajemen teror bergerak di tataran teoretis, sementara aski teror adalah aksi langsung yang meniscayakan dua hal: keterampilan memimpin dan penyusunan strategi teror.

Ketiga, penggunaan taktis militer yang telah teruji dan tidak berjihad secara acak cum sporadis. Mari simak statemen Naji yang sangat memukau ini,

ولا نقبل أن تكون سياساتنا في أي تحرك جهادي إلاكماكانت السياسة الشرعية إلا أن الشرع أباح لنا الاستفادة من الخطط والقواعد العسكرية لغير المسلمين ما لم يكن فيها إثم … إن اتباع القواعد العسكرية المجربة سيختصر علينا سنين طويلة قد نعاني فيها مفاسد النمطية والعشوائية، إن ترك العشوائية واعتماد الأساليب العلمية المدروسة والقواعد العسكرية ا ربة وتنزيلها على الواقع وتطبيق العلم العسكري سيؤدي بنا إلى تحقيق الأهداف بدون تعقيد ويمكننا من التطور وتحسين الأداء بإذن االله

Kita tidak memakai taktik jihad kecuali itu telah sesuai dengan tuntunan syariat, atau kecuali jika syariat mengizinkan kita untuk menggunakan rencana dan prinsip militer non-Muslim yang tidak mengandung dosa … Sungguh, mengadopsi metode intelektual, akademik dan prinsip-prinsip militer eksperimental dan benar-benar menerapkannya, yakni tidak bertindak sporadis, akan memfasilitasi pencapaian tujuan kita tanpa hambatan, dan memungkinkan kita untuk mengembangkan dan mengevaluasi taktik eksekusi jihad kita, dengan izin Tuhan.”

Maka Naji pun menawarkan beberapa teori untuk meningkatkan efektivitas taktik militer dalam manajemen teror, yaitu:

  1. Mengacu pada teori bahwa ‘jika pasukan tentara berkonsentrasi di satu tempat, maka mereka kehilangan kendali. Sebaliknya, jika mereka menyebar, maka mereka kehilangan efektivitas’. Teori ini bisa digunakan untuk membuyarkan fokus musuh sehingga perlawanannya lemah
  2. Prinsip-prinsip skala operasi harus jelas dan terukur, apakah eskalatif, statis, atau fluktuatif sehingga kinerja taktisnya efektif
  3. Mengacu pada teori umum kemiliteran, yakni ‘seranglah secara masif dan terus-menerus dengan kekuatan maksimum lokasi vital-strategis tertentu seperti pangkalan militer musuh (niqat al-‘aduww)’, sehingga musuh menjadi kewalahan dan jadi lemah
  4. Mengacu pada strategi klasik yang ternyata masih relevan hingga hari ini, yaitu ‘cara yang paling mungkin untuk mengalahkan-meruntuhkan musuh yang sangat kuat secara militer adalah dengan menguras daya ekonomi dan daya militer itu sendiri (‘askariy wa iqtishadiy)’. Mengurai ekonomi dimaksud ialah dengan membuat musuh mengeluarkan dana miliaran untuk operasi militer mereka. Seperti Rumsfel—Menteri Pertahanan AS 2001-2006—yang mengatakan, “Apa lagi yang kita harap untuk terus melakukan operasi militer tersebut? Jangan lupa bahwa kita telah menghabiskan miliaran dolar untuk memerangi musuh yang hanya menghabiskan jutaan dolar.”
Baca Juga  Mewaspadai Momentum Kelompok Teroris, Kita Harus Apa?

Banyak juga, kata Naji, literatur yang mengupas strategi militer dalam manajemen teror. Ia merekomendasikan beberapa tulisan yang bisa menjadi referensi tentang prinsip-teori militer dan seni perang, seperti:

  • Berbagai ensiklopedi jihad milik para mujahid Afghanistan
  • Jurnal Al-Battar terbitan kamp-kamp militer jihadi di Jazirah Arab
  • Tulisan Abu `Ubayd al-Qurashi dalam Jurnal Al-Ansar dan dalam situs Al-Uswah al-Hasanah
  • Buku-buku umum tentang seni perang, khususnya perang gerilya, selama pembaca mampu memfiltrasi dan mengoreksi yang kontradiktif dengan syariat di dalamnya.

Keempat, penggunaan kekerasan. Pasal penaklukan musuh melegitimasi kekerasan. Naji mengkritik keras generasi sekarang yang lemah dan terpengaruh pemikiran Salibis bahwa kekerasan hukumnya terlarang. Padahal, kata Naji, yang namanya jihad dari dulu selalu identik dengan kekasaran, teror, persekusi, dan lainnya. Kemenangan mustahil diraih, kata Naji, kecuali kita menghabisi musuh, dan jelas hal itu tidak bisa dilakukan dengan kelembutan. Ia mengatakan, dengan keras,

ولا يمكن أن يستمر جهاد في ظل الرخاوة، سواء الرخاوة في أسلوب الدعوة إليه أو الرخاوة في اتخاذ المواقف أو في أسلوب العمليات، حيث أن عنصر الرخاوة أحد عناصر الفشل لأي عمل جهادي، وأن من عندهم نية البدء في عمـل جهادي وكانت عندهم تلك الرخاوة فليجلسوا في بيوتهم أفضل وإلا فالفشل سيكون مصيرهم وسيلاقون من بعده الأهوال … وسواءً استعملنا الشدة أو اللين فلن يرحمنا أعداؤنا إذا تمكنوا منا، فأجدر بنا أن نجعلهم يفكرون ألف مرة قبل أن يحاربونا … إننا إن لم نكن أشداء في جهادنا وتملكتـنا الرخاوةكان ذلك عاملاً رئيسيا في فقدان عنصر البأس الذي هو من أعمدة أمة الرسالة، فإن الأمة ذات البأس هي الأمة التي تستطيع أن تحافظ على ما تكتسبه من مواقع، وهي الأمة التي تخوض الأهوال وهي ثابتة ثبات الجبال وهذه المعاني فقدناها في هذا الزمن … فلا مانع لدينا من إراقة دمائهم بل نرى ذلك من أوجب الواجبات ما لم يتوبوا ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة ويكون الدين كله الله

Adalah mustahil untuk melakukan jihad dengan cara yang lembut, baik kelembutan itu dalam bentuk persuasi jihad, bersikap kooperatif dengan mereka, atau melakukan operasi damai. Sebab, kelembutan adalah manifestasi kegagalan dalam misi jihad. Maka bagi mereka yang berniat untuk memulai aksi jihad tapi dengan cara yang lembut, lebih baik ia tidur di rumah saja, daripada harus menderita karena kekalahannya … Terlepas apakah kita mau pakai kekerasan atau kelembutan, musuh kita juga tidak akan berbelas kasih kepada kita jika mereka menangkap kita. Jadi, kita harus membuat mereka berpikir seribu kali sebelum menyerang kita … Jika kita tidak melakukan kekerasan dalam jihad, dan justru bersikap lembek, maka itu akan menjadi faktor utama hilangnya kekuatan yang merupakan kunci. Umat yang superior adalah ia yang mampu mempertahankan posisi, berani menghadapi kengerian dan keteguhan mental. Inilah yang absen di zaman sekarang … Jadi, tidak ada yang menghalangi kita untuk menumpahkan darah mereka. Justru kekerasan inilah kewajiban paling penting karena mereka tidak bertaubat, tidak shalat, dan tidak bersedekah. Padahal semua ketundukan hanya kepada Allah.”

Baca Juga  Nyunnah: Istilah Baru Para Dai Salafi-Wahhabi untuk Menipu Umat Islam di Indonesia

Ekstremitas dalam manajemen teror adalah wajib, dan kekerasan tersebut menurut Naji adalah politik bayar harga (siyasah daf’u al-tsaman), untuk menyebarkan keputusasaan di hati musuh. Segala tindakan yang mendiskreditkan umat Islam harus ditanggapi dengan reaksi yang membuat musuh sepenuhnya ‘membayar harga’ atas kejahatannya sendiri. Dengan demikian musuh akan berpikir seribu kali untuk menyakiti Islam. Mereka akan jera, bahkan akan minta rekonsiliasi.

Kelima, mengonstruksi kekuatan. Ini adalah soal militansi. Bagi Naji, kekuatan (al-syawkah) diperoleh melalui loyalitas (al-muwalah al-imaniyyah). Ketika musuh mengetahui, serangannya akan disikapi penyerahan, maka selamanya musuh akan mendominasi—artinya kekuatan belum ada dalam diri umat. Tetapi jika musuh mengetahui, bahwa jika mereka membunuh maka akan dapat pembalasan atas darah mereka, maka ia kelompok tersebut bisa laik dianggap punya kekuatan.

Kekuatan besar adalah ia yang membuat musuh berefleksi seribu kali sebelum menyerang dan bertindak macam-macam. Darah dibayar darah dan kehancuran dibayar kehancuran. Mengonstruksi kekuatan besar membuat musuh tidak mampu melawan, sehingga musuh dapat dipermalukan dan dialihkan perhatiannya. Selama musuh masih memandang umat Islam inferior dan musuh sebagai superior, maka Islam akan terus terpojokkan dan thaghutmenang.

Taktik Terorisme

Pasal-pasal tadi merupakan taktik terorisme, kendati Naji dalam bukunya sama sekali tidak menggunakan kata teror—dan ia juga pasti tidak mau memakai istilah tersebut. Jika kita teliti, maka manajemen teror tadi sangat relevan dengan intrik kelompok teror di Indonesia. Dan lebih-lebih sangat mirip dengan alur strategi terorisme global. Gerakan bawah tanah sebagai rekrutmen dan pelatihan militer, misalnya, ini sudah familiar sekali.

Aksi-aksi sporadis terorisme di negara ini, seperti bom bunuh diri di Katedral Makassar tahun lalu, berdasarkan uraian di atas, merupakan operasi-operasi kecil untuk memudarkan fokus militer dan kepolisian. Sementara lone wolf di Mabes Polri seminggu setelah insiden Makassar bisa menjadi contoh dari aksi acak dan serampangan yang Naji kritik di atas. Dalam manajemen teror, semuanya harus sistematis dan berkekuatan menggertak hingga membuat musuh takut.

Uraian bab ketiga dalam buku ini masih tersisa lima pasal, yang akan dibahas dalam seri selanjutnya. Yang jelas, penyerangan dan penaklukan, yang kemudian diolah menggunakan teori-teori manajemen konflik dan strategi perang, yang Naji uraikan, mengungkap sebuah fakta bahwa jihad tidak bisa dianggap sepele. Para jihadis mengadopsi strategi-strategi militer, bahkan dari literatur thaghut sekalipun, untuk menyebar propaganda jihad dan taktik terorisme.

Bersambung…

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *