Jalanhijrah.com Sejak munculnya kabar masjid-masjid BUMN menjadi sasaran empuk pembaitan teroris, kini ternyata ditemui banyak masjid-masjid kampus juga mengalami dinamika yang sama. Tapi isunya sangat minim. Media juga kurang memberitakan perihal tersebut. Padahal itu sangat penting.
Masjid kadang menjadi tempat pemupuk radikalisme. Masjid menjadi sarang radikalisme. Ini terlihat ketika mahasiswa dan para takmirnya memainkan peran strategis dakwah yang basisnya adalah ke salafi-wahabi, dan kontra kepada nilai-nilai NU dan Muhammadiyah.
Sasaran Radikalisme
Setara Institute pernah melakukan penelitian terhadap ratusan masjid di Kota Depok dan Bogor dalam waktu singkat. Hasilnya mencengangkan. Mengapa, karena ditemui fakta bahwa ada 529 masjid dan 927 musala di Depok. Jumlah itu terdiri dari masjid pemerintah atau BUMN, masjid donasi individu, masjid umum di perumahan dan masjid kampus.
Salah satu kunci masjid yang memainkan peran strategis dalam indoktrinasi radikalisme dan terorisme adalah masjid Universitas Indonesia (UI) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Hidayatullah. Dulunya, hampir setiap pengajian terjadi pembaitan.
Namun, sampai saat ini juga, masjid-masjid ini masih menyerukan narasi jihad di jalan Allah. Khutbah-khutbahnya, dan beberapa isi pengajiannya, masih mewacanakan bagaimana Islam menjadi tonggak besar dalam berjalannya sistem pemerintahan di Indonesia.
Hasustan-hasutan pun terjadi. Tema perang menjadi pilihan tema menarik yang dipompa terus-menerus. Mereka mengobarkan semangat untuk terus tetap mengawal siapa saja dan kelompok manapun yang gigih dalam bertarung memproklamirkan khilafah. Dan Jemaah ini harus wajib setia berada di belakangnya.
Doktrin Pembenci
Doktrin yang lain, jemaah ini diperkenankan untuk membenci kelompok yang lain. Kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan mereka. Atau kelompok yang menghalangi berjalannya narasi dakwa khilafah. Dan ini sangat kontras dengan masjid-masjid dan para Jemaah di kelompok Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Masjid NU dan Muhammadiyah paling banter sering mengajari tentang takwa dan tata beriman dan menjadi pengiman yang baik. Hal-hal persoalan hasutan demi hasutan tidak pernah dilakukan-diajarkan. Para jemaahnya, rata-rata tidak memakai celana cingkrang dan jenggot yang panjang.
Misalnya, kelompok agama yang bernama Depok Islamic study Circle (DISC), aktif menarasikan intoleran dan pembenci. Temuan Setara, kelompok ini mengaharuskan membenci kelompok lain seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) yang harus dilawan. Mereka juga menganggap Ahmadiyah, Syiah, LGBT adalah musuh Islam yang harus dimusnahkan.
Dulunya, kelompok–kelompok yang dibenci itu diberi animasi gambar otak dengan ulat serta lalat yang disimpulkan sebagai musuh yang paling menjijikkan. Mereka dikategorikan sebagai bangkai hewan yang berlumpur nanah, dicabik-cabik oleh ulat, dan kemudian menjadi virus yang harus dibuang ke tong sampah peradaban.
Moderatisasi Masjid
Masjid-masjid itu kemudian bertranformasi menjadi masjid yang paling getol membunuh karakter kelompok lian. Jalan yang ditempuh adalah doktrin teror dengan berafiliasi ke ISIS. Dengan itu, ia menyebut dirinya sebagai kelompok para pembela Islam. Sebuah klaim nyasar.
Maka tak heran jika Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, sering menemukan teroris lahir dari Jemaah masjid. Dari jemaah yang belajar agama Islam dengan simplistik. Dan sayangnya, lagi-lagi mereka adalah ustaz, mahasiswa, dokter, bahkan dosen. Seperti kasus di Jakarta, Lampung, Malang, dan Sukoharjo.
Jika di dalam tubuh masjid tidak disterilkan bahkan sama sekali diacuhkan, maka masjid akan menjadi jantung radikalisme. Dari dalam masjid tumbuh bibit-bibit unggul calon teroris. Dari masjid lahir generasi pembunuh manusia berbasis agama paling mengerikan. Dan generasi selanjutnya akan menjadi sasaran dan tumbal.
Oleh demikian, mahasiswa dan masjid kampus menjadi entitas yang penting untuk dimoderasikan. Agar ajaran-ajaran moderat minimal menjadi pandu dalam membaca dunia dan melihat cakrawala di depan wajahnya.
Ini barangkali menjadi kerjaan panjang yang harus kita cicil mulai dari sekarang. Kita khususnya ormas keagamaan, dan negera, wajib merebut masjid kembali, kemudian diberikan segmen yang moderat. Namun di samping itu, kita wajib waspada bahwa tidak semua masjid itu memberikan pencerahan. Kita wajib ingat pula bahwa masjid sekarang bukan sekadar tempat untuk salat, tapi ia sering menjadi tempat baiat teroris.
Penulis: Agus Wedi Peminat Kajian Sosial dan Keislaman