Jalanhijrah.com- Kali ini, kita akan menemui seorang sahabat wanita agung yang ikut hijrah ke Habasyah demi menyelamatkan agamanya. Ketika suaminya murtad di negeri asing itu, ia menerimanya dengan sabar dan ikhlas. la bercerai dengan suaminya yang telah berbeda agama itu dan tetap mempertahankan agamanya (Islam) dengan teguh, walaupun harus hidup di tengah negeri yang asing dan tanpa keluarga.
Keteguhan dan kesabaran itulah yang mengantarkan anugerah Allah yang tidak terhingga, karena tidak lama kemudian, Rasulullah saw. mengirim seorang utusan untuk meminang dan menikahinya ketika ia masih berada di negeri Habasyah.
Nama lengkapnya adalah Ramlah binti Abu Sufyan bin Harb. Abu Sufyan pada masa itu masih menjadi tokoh musyrik dan menghabiskan waktu sekian lama dalam kemusyrikannya. Dengan demikian, ia masih terhitung sepupu Nabi saw. sehingga tidak ada seorang pun dari istri-istri beliau yang lebih dekat garis keturunannya dengan beliau.
Tidak ada pula yang lebih banyak menerima mahar darinya, dan dialah satu-satunya istri beliau yang dinikahi di tempat yang terpisah. Rasulullah saw. melangsungkan akad nikah dengannya ketika ia masih berada di Habasyah sehingga wajar jika yang memberi maharnya adalah Raja Habasyah, An-Najasyi, sebanyak 400 dinar, ditambah dengan perlengkapan-perlengkapan lainnya
Abu Sufyan adalah seorang tokoh besar Quraisy. la sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat ada orang yang akan menyalahi kehendaknya atau keluar dari otoritasnya. Akan tetapi, justru putrinya yang ikut berhijrah ke Habasyah dan menjadi seorang muslimah.
Sejak para sahabat dan shahabiyah berhijrah ke negeri Habasyah dan berhasil mendapatkan perlindungan dari An-Najasyi, Ramlah binti Abu Sufyan bin Harb (Ummu Habibah ra.) mengira bahwa ia akan memulai kehidupan yang bahagia dan nyaman. Ia tidak pernah mengira akan mendapat ujian yang sangat berat dan pahit.
Suaminya yang bernama Ubaidullah murtad dari Islam dan memeluk agama Nasrani. Ia pun akhirnya bercerai dengan suaminya itu. Ummu Habibah ra. memilih untuk melanjutkan kehidupannya sebagai seorang muslimah meskipun harus melaluinya tanpa seorang suami di sisinya.
Ia merenungkan perjalanan kehidupan. Kesedihan melingkupinya. Ia tidak dapat kembali ke Makkah karena ayahnya masih musyrik, tetapi juga tidak bisa bertahan selamanya di negeri asing itu.
Pada masa kesedihannya itu, tiba-tiba titik terang kebahagiaan menyeruak dan memberi kehangatan kembali kepadanya, karena membawa kabar gembira paling indah di seluruh alam raya. Kabar gembira itu lebih berharga daripada pundi-pundi kekayaan yang tersimpan di perut bumi dan gelimang materi yang menghiasinya.
Seorang pelayan wanita An-Najasyi menemui Ummu Habibah ra. dan menyampaikan kabar gembira bahwa Rasulullah saw. telah meminangnya. Ummu Habibah ra. tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya sehingga air mata pun bercucuran di pipinya. la menangis sembari tersenyum karena merasa bahagia yang tiada tara. la memuji Allah ‘Azza wa Jalla atas anugerah nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya.
An-Najasyi segera menyambut dan memimpin langsung pernikahan tersebut sebagai wakil dari Rasulullah saw., karena Rasulullah saw. telah mengirimkan surat kepada raja Habasyah itu untuk mewakili pernikahan beliau dengan Ummu Habibah ra. Seluruh sahabat Rasulullah saw. yang saat itu tinggal di Habasyah berkumpul untuk menyaksikan pernikahan.
Peristiwa itu merupakan sebuah kejutan yang tidak terbayang oleh sahabat mana pun. Ummu Habibah ra. menerima mahar (maskawin) pernikahan sebanyak 4.000 dirham. Tidak hanya itu, An-Najasyi juga menanggung biaya dan perbekalannya.
Hari-hari terus berlalu hingga tiba saat yang paling menyedihkan yaitu Rasulullah saw. wafat. Hati Ummu Habibah ra. pedih dan hancur karena kepergian Nabi saw. yang merupakan rasul, suami, dan kekasihnya. Namun, ia tetap menjadi ahli ibadah sepeninggal Nabi saw. Ia diberi umur panjang hingga masa pemerintahan saudara kandungnya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ummu Habibah ra. senantiasa dihormati dan disegani oleh setiap orang, terutama pada masa pemerintahan saudara kandungnya (Mu’awiyah)… juga karena dekatnya hubungan Mu’awiyah dengannya sehingga ada yang menyebut Mu’awiyah dengan julukan ‘Khaalul Mukminiin’ (paman orang-orang mukmin).” Wallahualam.