Bulan Sya’ban memiliki banyak keutamaan, salah satu momen yang menonjol dalam bulan ini adalah di malam pertengahannya atau dikenal sebagai Lailatul Bara’ah. Syekh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitab Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haqq menjelaskan bahwa alasan malam ini disebut Lailatul Bara’ah karena di dalamnya terdapat dua bentuk kebebasan, yaitu kebebasan (dijauhkannya) para pendosa dari rahmat Allah dan kebebasan bagi para wali dari kehinaan.
Penjelasan Syekh Abdul Qadir ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad berikut:
إذا كان ليلة النصف من شعبان أطلع الله على خلقه فيغفر للمؤمنين، ويمهل الكافرين، ويدع أهل الحقد بحقدهم حتى يدعوه.
Artinya, “Apabila tiba malam nisfu Sya’ban, Allah memperhatikan makhluk-Nya, lalu mengampuni orang-orang yang beriman, memberi penangguhan kepada orang-orang kafir, dan membiarkan orang-orang yang penuh kebencian dengan kebenciannya sampai mereka meninggalkannya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa malam Nisfu Sya’ban adalah waktu yang penuh keberkahan, sebab Allah mengampuni orang-orang beriman, memberi kesempatan kepada orang-orang kafir untuk bertaubat, dan memberi ruang bagi orang-orang yang menyimpan kebencian untuk melepaskan perasaan negatif mereka agar mendapat ampunan.
Syekh Abdul Qadir juga menyebut bahwa Lailatul Bara’ah merupakan salah satu malam perayaan (‘id) bagi para malaikat. Sebagaimana dijelaskan para ulama bahwa malaikat memiliki dua malam perayaan di langit, sebagaimana umat Islam memiliki dua hari raya di bumi. Bagi para malaikat, malam itu adalah Lailatul Bara’ah dan Lailatul Qadar. Berbeda dengan manusia yang merayakan hari raya di siang hari, para malaikat merayakannya di malam hari karena mereka tidak tidur. Hal ini menunjukkan bahwa malam-malam ini memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah.
Berkaitan dengan dua malam istimewa tersebut, Lailatul Bara’ah dan Lailatul Qadar, Syekh Abdul Qadir memunculkan satu pertanyaan. Mengapa waktu kemunculan Lailatul Bara’ah ditampakkan oleh Allah, dalam arti sudah ditentukan pada waktu yang spesifik, yaitu malam pertengahan bulan Sya’ban. Berbeda dengan Lailatul Qadar yang waktu kemunculannya dirahasiakan. Menjawab hal ini, Syekh Abdul Qadir mengutip pendapat salah satu ulama berikut:
إن الحكمة في أن الله تعالى أظهر ليلة البراءة وأخفى ليلة القدر، لأن ليلة القدر ليلة الرحمة والغفران والعتق من النيران، أخفاها الله عز وجل لئلا يتكلوا عليها، وأظهر ليلة البراءة لأنها ليلة الحكم والقضاء، وليلة السخط والرضا، ليلة القبول والرد والوصول والصد، ليلة السعادة والشقاء والكرامة والنقاء.
Artinya, “Sesungguhnya hikmah di balik Allah Ta’ala menampakkan Lailatul Bara’ah (Nisfu Sya’ban) dan menyembunyikan malam Lailatul Qadar adalah karena Lailatul Qadar merupakan malam rahmat, ampunan, dan pembebasan dari neraka. Allah Azza wa Jalla menyembunyikannya agar manusia tidak bersandar hanya pada malam itu. Adapun malam al-Barā’ah ditampakkan karena ia adalah malam penetapan hukum dan ketentuan, malam kemurkaan dan keridhaan, malam penerimaan dan penolakan, kedekatan dan keterjauhan, serta malam kebahagiaan dan kesengsaraan, kemuliaan dan kesucian.”
Penjelasan ini menunjukkan bahwa ada kebijaksanaan ilahi di balik penyembunyian dan penampakan dua malam yang penuh kemuliaan. Lailatul Qadar disembunyikan agar manusia tidak hanya bergantung pada satu malam dalam mencari ampunan dan rahmat Allah, melainkan terus beribadah sepanjang tahun. Sementara itu, Lailatul Bara’ah (malam Nisfu Sya’ban) ditampakkan karena menjadi momen penetapan takdir, di mana Allah menentukan nasib hamba-Nya, apakah mereka akan mendapatkan rahmat atau murka-Nya.
Lailatul Bara’ah juga menjadi cerminan dari keadilan Allah, yang menimbang amal manusia serta menentukan penerimaan atau penolakan doa dan amalan mereka. Oleh karena itu, malam Nisfu Sya’ban menjadi peringatan bagi manusia untuk memperbaiki diri sebelum takdirnya ditetapkan dan memastikan bahwa amalannya diterima oleh Allah.
Berkaitan dengan Lailatul Bara’ah, Syekh Abdul Qadir menjelaskan kisah spiritual Hasan Al-Bashri (seorang ulama dan sufi besar dari generasi tabiin). Disebutkan, Hasan selalu keluar dari rumahnya pada malam nisfu Sya’ban dengan wajah pucat pasi seolah-olah telah mati dan bangkit kembali. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab bahwa dirinya lebih takut akan nasib amalnya dibanding seseorang yang kapalnya tenggelam. Hasan Al-Bashri merasa yakin terhadap dosa-dosanya, tetapi tidak tahu apakah amal baiknya diterima atau tidak. (Abdul Qadir, 2003: juz 1, h. 348-349)
Doa Nisfu Sya’ban Syekh Abdul Qadir
Masih dalam Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haqq, Syekh Abdul Qadir menganjurkan kita membaca doa malam Nisfu Sya’ban sebagai berikut:
اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ، مَصَابِيْحِ الْحِكْمَةِ وَمَوَالِيْ النِّعْمَةِ، وَمَعَادِنِ الْعِصْمَةِ، وَاعْصِمْنِيْ بِهِمْ مِنْ كُلِّ سُوْءٍ. وَلَا تَأْخُذْنِيْ عَلَى غِرَّةٍ وَلَا عَلَى غَفْلَةٍ، وَلَا تَجْعَلْ عَوَاقِبَ أَمْرِيْ حَسْرَةً وَنَدَامَةً، وَارْضَ عَنِّيْ، فَإِنَّ مَغْفِرَتَكَ لِلظَّالِمِيْنَ، وَأَنَا مِنَ الظَّالِمِيْنَ، اللهم اغْفِرْ لِيْ مَا لَا يَضُرُّكَ، وَأَعْطِنِيْ مَا لَا يَنْفَعُكَ، فَإِنَّكَ الْوَاسِعَةُ رَحْمَتُهُ، اَلْبَدِيْعَةُ حِكْمَتُهُ، فَأَعْطِنِي السَّعَةَ وَالدَّعَةَ، وَالْأَمْنَ وَالصِّحَّةَ وَالشُّكْرَ وَالْمُعَافَاةَ، وَالتَّقْوَى، وَأَفْرِغِ الصَّبْرَ وَالصِّدْقَ عَلَيَّ، وَعَلَى أَوْلِيَائِيْ فِيْكَ، وَأَعْطِنِي الْيُسْرَ، وَلَا تَجْعَلْ مَعَهُ الْعُسْرَ، وَأَعِمَّ بِذَلِكَ أَهْلِيْ وَوَلَدِيْ وَإِخْوَانِيْ فِيْكَ، وَمَنْ وَلَدَنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ.
Artinya: “Ya Allah limpahkan rahmat ta’dhim-Mu kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, lampu-lampu hikmah, tuan-tuan nikmat, sumber-sumber penjagaan. Jagalah aku dari segala keburukan lantaran mereka, janganlah engkau hukum aku atas kelengahan dan kelalaian, janganlah engkau jadikan akhir urusanku suatu kerugian dan penyesalan, ridhailah aku, sesungguhnya ampunanMu untuk orang-orang zhalim dan aku termasuk dari mereka, ya Allah ampunilah bagiku dosa yang tidak merugikan-Mu.”
“Berilah aku anugerah yang tidak memberi manfaat kepadaMu, sesungguhnya rahmat-Mu luas, hikmah-Mu indah, berilah aku kelapangan, ketenangan, keamanan, kesehatan, syukur, perlindungan (dari segala penyakit) dan ketakwaan. Tuangkanlah kesabaran dan kejujuran kepadaku, kepada kekasih-kekasihku karena-Mu, berilah aku kemudahan dan janganlah jadikan bersamanya kesulitan, liputilah dengan karunia-karunia tersebut kepada keluargaku, anaku, saudara-saudaraku karena-Mu dan para orang tua yang melahirkanku dari kaum muslimin muslimat, serta kaum mukminin dan mukminat.” (Abdul Qadir, 2003: juz 3, hal. 249).
Sebagai penutup, Lailatul Bara’ah merupakan malam penuh makna yang mengingatkan manusia terhadap kebesaran Allah dan ketetapan-Nya. Momen ini patut dihidupkan dengan kebaikan dan perbanyak ibadah agar kita termasuk dalam golongan orang yang mendapatkan keberkahan dan rahmat-Nya. Semoga kita semua mendapat keberkahan malam mulai ini. Amin.
Muhamad Abror
Dosen Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta. Alumnus Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta.