Jalanhijrah.com- Gusdur, bapak pluralis kepunyaan Indonesia, selalu menjadi salah satu referensi utama ketika berbicara tentang perdamaian, keberagamaan dan sejenisnya. Kehadiran Gus Dur dalam dinamika kehidupan kita, nyatanya memberikan kontribusi pemikiran yang begitu besar sampai hari ini.
Bahkan jika kita katakan, pemikiran Gus Dur selalu relevan dengan kondisi masa kini. Bisa kita katakan bahwa sosoknya melampaui zaman. Apa yang disampaikan pada beberapa puluh tahun silam, hari ini benar-benar bisa kita jadikan contoh apik untuk menelaah fenomena-femonea sosial.
Melalui tulisan-tulisannya yang cemerlang, Gus Dur mampu meghipnotis pembaca dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul pasca membaca tulisannya. Akan tetapi, bukan Gus Dur namanya jika tidak membuat bingung. Dengan kemampuan literasi yang begitu bagus, Gus Dur tampil sebagai cendekiawan, penulis, kiai, bahkan seniman dengan professional.
Benar adanya apa yang dikatakan oleh Greg Barton, penulis buku “Biografi Gus Dur”, bahwa Gus Dur dicela oleh banyak orang yang tidak mampu menalaah pemikiran dan sikapnya, sehingga memunculkan berbagai tanda keanehan, bahkan tidak masuk akal, dan sejenisnya. Itu hanya dialami oleh orang-orang yang tidak mengerti Gus Dur. Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa Karya Greg Barton, menjadi rujukan utama dalam melihat kehidupan sosok Gus Dur.
Islam marah-marah bukti kemunduran Islam
Dalam tulisan Gus Dur yang dihimpun dengan judul, “Islam, Ghandi dan Kekerasan” Gusdur menulis tentang Kemunduran Islam. Hal itu tidak lain berlandaskan fenomena yang terjadi pada saat itu. Diantaranya, fenomena-fenomena demam syar’i (penegakan aturan Islam) dilakukan dengan sangat barbar, bahkan tidak mencerminkan Islam yang ramah terhadap pemeluknya.
Diantara yang dikritik oleh Gus Dur yakni, gerakan sweeping (pembersihan) dan pemberhantian kendaraan di daerah Kemang yang berisi minuman-minuman keras. Tidak hanya itu, peraturan daerah syari’ah juga digugat oleh Gus Dur karena terjadi dualism pemahaman yang tidak utuh, dan penerimaan yang tidak sempurna, antara agama dengan negara.
Sehingga yang impelementasi dari fenomena tersebut yakni adanya pemisah antara negara dan agama. Apalagi upaya pembersihan yang dilakukan, tentunya upaya pemaksaan dalam mensyar’ikan segala kehidupan sosial yang ada. Bagi Gus Dur, sikap demikian timbul karena pemahaman Islam yang belum selesai. Keadaan prematur yang dialami oleh umat Islam dalam memahami Al-Qur’an dan melihat konteks sosial yang ada. Sehingga agama ditampilkan sebagai musuh bagi negara, karena keduanya tidak bisa disatukan lantaran penafsiran tekstual seperti diatas.
Fenomena serupa juga dikritik oleh Nur Cholis Madjid, sehingga muncul berbagai wacana yang disampaikan, salah satunya pembaharuan Islam. Bagi Cak Nur, pemahaman tradisional terhadap Al-Qur’an menyebabkan umat Islam mengalami ketertinggalan jauh. Sehingga ada jarak yang cukup renggang ketika seorang muslim menjalin hubungan vertikal dengan Allah, di saat yang sama sikap keras justru ditampakkan kepada relasi sosial kemanusiaan. Sebab ia dihadapkan dengan orang-orang non muslim, suku berbeda, pemahaman keislaman yang berbeda, serta kondisi-kondisi sosial lainnya.
Padahal, muslim yang baik adalah muslim yang menghargai sesama manusia. Dalam bahasa sederhana, jika seseorang bukan saudara seiman, setidaknya mereka adalah saudara dalam kemanusiaan. Term ini cukup jelas memberikan kesadaran kepada kita bahwa Islam hadir untuk misi kemanusiaan, menjadi khalifah di bumi yang memberikan rahmat pada seluruh alam. Ingat! Seluruh alam!.
Islam inklusif, rahmat bagi semua
Apa yang terjadi dimasa silam, hari inipun masih sama. Betapa banyak kekerasan yang terjadi dan dilakukan hanya karena penafsiran Islam, pemahaman Islam yang ortodox, bahkan menciderai Islam sebagai agama yang rahmah. Benarkah implementasi rahmah dibenarkan membunuh orang? menyakiti, mencaci bahkan dengan aksi kekerasan lainnya?
Artinya, ada hal yang perlu kita telaah ulang bagaimana kita memahami Islam sebagai jalan untuk menuju kebenaran. Sebab selama ini, perbedaan penafsiran yang muncul, tidaklah tepat dijadikan alasan untuk mengkafirkan, melukai antara yang satu dengan yang lain.
Islam perlu tampil sebagai agama cinta, sebab Allah Sang Maha Cinta. Islam harus tampil kepada seluruh alam. Sebab Allah tidak hanya milik satu golongan. Allah milik kita semua! Jadi tidak perlu ada merasa paling dekat dengan Sang Khaliq sehingga menyepelekan manusia lainnya harena tidak menampilkan ekspresi keberagamaan yang sama. Wallahu a’lam