Kebohongan Aktivis Khilafah tentang Tegaknya Negara Islam 2024

Jalanhijrah.com– Di media sosial, beberapa waktu yang lalu, ada ribut-ribut soal akan datangnya pembaru Islam (mujaddid) yang akan menegakkan Negara Islam. Wacana tersebut dilatari pemahaman harfiah terhadap hadis Nabi bahwa setiap seratus tahun, Allah akan mengirimkan mujaddid untuk menuntun umat dari bayang kegelapan menuju cahaya peradaban. Apa arti di balik wacana tersebut? Apakah ia berkaitan dengan gerilya aktivis khilafah?

Wacana tegaknya Negara Islam memang selalu menarik. Satu sisi, ia memanfaatkan kekacauan realitas sosial-politik. Di sisi lainnya, ia bertolak dari dalil-dalil normatif Islam itu sendiri. Hadis Nabi mengenai pembaru agama sebenarnya sama sekali bukan tentang politik kekuasaan. Nubuatnya, mujaddid akan memperbarui pemikiran Islam agar senantiasa relevan. Misalnya, pembaru Islam seperti Muhammad Abduh di Mesir atau Nurcholish Madjid di Indonesia.

Para mujaddid memiliki pemikiran brilian dan itu terbentuk melalui waktu yang lama. Artinya, pembaruan sendiri bukanlah sesuatu yang terjadi ujug-ujug seperti yang dipersepsikan sebagian kalangan. Bahwa pada 2024 nanti, Tuhan akan menegakkan khilafah kembali sebagai pembaruan dari khilafah yang hilang pada 1924: runtuhnya Turki Utsmani dan naiknya negara sekuler. Selain terlalu sempit memaknai mujaddid, itu juga nihil.

Apakah umpamanya pada 2024 nanti ternyata khilafah tidak tegak dan seluruh negara di dunia masih menggunakan sistem sekuler, nubuat Nabi jadi keliru? Atau misalnya Negara Islam tegak dan ternyata yang jadi khalifah adalah dikatator korup, itu artinya hadis Nabi mewariskan kebatilan? Itu semua tidak benar. Maka, aktivis khilafah harus disadarkan bahwa mereka keliru. Mujaddidbukan penguasa politik dan Negara Islam tidak akan tegak pada 2024.

Baca Juga  Ketika Nafsu Tegakkan Khilafah Menghilangkan Pahala Puasa

Dengan demikian, ada kebohongan yang disebarkan oleh para aktivis khilafah mengenai tegaknya Negara Islam pada 2024 mendatang. Kebohongan tersebut melingkupi dua aspek; pemahaman terhadap hadis Nabi dan pengaburan terhadap sejarah. Ulasan perihal pengaburan sejarah tersebut telah banyak dilakukan. Dalam membaca buku Tarikh al-Khulafa’-nya al-Suyuthi, misalnya, aktivis khilafah membelokkan fakta. Semuanya dilakukan karena nafsu berkuasa.

Banyak Belajar Sejarah

Membaca sejarah tidak hanya akan membuat seseorang mengetahui fakta masa lalu, tetapi juga membuat pandangan utuh perihal apa yang harus dilakukan ke depan. Membaca sejarah perjuangan melawan penjajah, misalnya, membuat kita paham bahwa negara ini harus dipertahankan hingga akhir hayat. Siapa pun yang mengganggu negara ini maka ia adalah penjajah. Dan seperti pahlawan di masa lalu, kita harus mempertahankan negara-bangsa sekuat tenaga.

Begitu juga dengan belajar sejarah politik Islam. Ia akan membantu memahami sesuatu secara presisi dan membuat proyeksi akurat ihwal politik ideal Islam. Misalnya, sejarah mengenai pergantian pemerintahan Ali kepada Muawiyah dan transisi kekuasaan Dinasti Umayyah pada Dinasti Abbasiyah. Suksesi tidak terjadi berdasarkan nubuat pembaruan sebagaimana diklaim aktivis khilafah hari ini. Suksesi justru terjadi lewat jalur pengkhianatan hingga pembantaian.

Dalam sejarah politik Islam juga, dikemukakan bahwa tidak semua raja adalah orang saleh. Ada sultan yang bengis, ada juga yang psikopat. Yang baik hanya beberapa, seperti Umar bin Abdul Aziz yang terkenal. Bahkan selama enam abad kekuasaan Turki Utsmani, yang terekam baik juga tidak banyak. Selain Al-Fatih yang masyhur karena menaklukkan Konstantinopel, Mehmed VI terkenal karena ia sultan terakhir Utsmani. Lainnya, hanya terekam sebagai raja-raja yang suka pesta pora dan kemewahan.

Baca Juga  Aina Qalbi, Kisah Pemuda Menemukan Tuhan

Itu baru sejarah penguasa kedinastian. Belum lagi sejarah-sejarah perangnya yang jika ditelaah serius secara komprehensif, akan didapati kesimpulan bahwa Negara Islam itu tidak pernah ada—yang ada hanya negara yang diklaim sebagai Negara Islam. Formula politik pemerintahan di masa-masa kejayaan Islam sama sekali tidak semurni yang diwacanakan aktivis khilafah. Juga didapati fakta bahwa khilafah tidak pernah merupakan sistem spesifik, melainkan pemerintahan secara umum.

Hanya dengan belajar sejarah, kebohongan aktivis khilafah tentang tegaknya Negara Islam 2024 dapat tersingkap. Misalnya tahun depan memang akan lahir pembaru Islam atau mujaddid, maka itu pasti bukan pembaru sistem politik dalam arti menggantikan NKRI menjadi khilafah. Atau, jika bukan di Indonesia, yang jelas mujaddid yang akan muncul tidak akan memperjuangkan tegaknya Negara Islam. Semua kebohongan tersebut lahir karena nafsu berkuasa belaka.

Kurangi Nafsu Berkuasa

Tidak ada yang perlu setuju bahwa jarak satu abad runtuhnya Turki Utsmani adalah momentum kembali tegaknya khilafah. Klaim tersebut hanyalah klaim belaka, yang tidak punya pijakan yang kuat baik secara normatif maupun bukti-bukti kesejarahan. Di kalangan aktivis khilafah, manapun kelompoknya, yang menonjol adalag nafsu ingin memegang otoritas tertinggi setiap negara, maka yang digunakan adalah Islam. Padahal, Negara Islam itu tidak seperti dalam doktrin mereka.

Berbicara tentangakan datangnya mujaddid setiap satu abad, tentu seluruh umat Islam menginginkannya. Umat harus punya tokoh baru, namun bukan pembaru politik, melainkan pembaru pemikiran Islam. Mujaddid yang dimaksud juga bukan sosok yang mencoba menegakkan formula politik masa lalu, melainkan memecahkan problem-problem keumatan masa kini dalam konteks keamanan internasional dan kembalinya marwah Islam di ranah global.

Baca Juga  Arah Suara PBNU pada Politik 2024

Sudah saatnya umat Islam menyampingkan kejayaan masa lalu jika arah wacananya adalah soal perebutan kekuasaan. Itu nafsu, bukan ajaran Islam. Pada momentum satu abad runtuhnya Turki Utsmani, yang harus digelorakan adalah semangat pembaruan pemikiran Islam dan seluruh aspek keilmuan. Dari sisa-sisa warisan masa keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian terpenting yang dilupakan. Itu yang harus dihidupkan kembali.

Umat Islam hari ini berada dalam konteks berbeda dengan abad pertengahan. Karenanya, meraih kejayaan tidak bisa ditempuh dengan politik an sich, karena hanya akan melahirkan perpecahan dan islamofobia. Bisa disaksikan bagaimana Islam dicap agama teroris hanya karena segelintir orang hendak memaksakan pendirikan Negara Islam. Para aktivis khilafah menebarkan banyak kebohongan tentang 2024 mendatang. Namun, kita semua harus cerdas dan tidak teperdaya tipuan mereka.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

*Penulis: Ahmad Khoir Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *