Jalanhijrah.com– Beberapa hari yang lalu, sebagian masyarakat Indonesia dihebohkan atas terungkapnya ratusan kotak amal di Lampung yang diduga milik jaringan Jamaah Islamiyah (JI) untuk mendanai aksi terorisme. Peristiwa ini menunjukkan bahwa, penyalahgunaan dana filantropi untuk aksi terorisme masih kerap terjadi di Indonesia.
Sehingga, muncul sebuah pertanyaan, benarkah Indonesia darurat penyalahgunaan dana filantropi untuk aksi terorisme?
Dana Filantropi
Namun sebelum menjawab pertanyaan di atas, maka perlu diketahui apa itu dana filantropi. Menurut Ahmad Ishomuddin (2021), dana filantropi itu lahir dari semangat seseorang yang ingin berdonasi. Pada umumnya itu dilakukan dengan niat dan tujuan yang baik, demi kemanusiaan dan untuk menolong sesama.
Mereka dengan ikhlas mengamanatkan donasinya itu kepada perorangan atau lembaga yang mengatasnamakan diri untuk suatu kegiatan filantropis.
Sayangnya, tak jarang dan sudah banyak bukti nyata bahwa amanat itu tidak mencapai tujuannya. Dana filantropi disalahgunakan untuk tujuan lainnya, seperti untuk memperkaya diri, untuk berpoligami, dan bahkan hingga untuk mendanai kegiatan terorisme. Suatu tujuan yang amat jauh menyimpang dari pencapaian nilai-nilai kemanusiaan yang dituju oleh filantropi.
Jika pemaknaan yang dirumuskan oleh Ahmad Ishomuddin itu dapat diterima dan kemudian dikorelasikan dengan peristiwa ratusan kotak amal di Lampung maka, peristiwa itu sungguh ironis bagi bangsa ini.
Dalam arti lain, keikhlasan atau kedermawanan masyarakat Indonesia dieksploitasi oleh kelompok terorisme. Dengan begitu, Indonesia darurat penyalahgunaan dana filantropi untuk aksi terorisme itu adalah benar.
Ragam Penyalahgunaan Dana Filantropi
Supaya lebih yakin bahwa Indonesia itu sedang darurat penyalahgunaan dana filantropi untuk aksi terorisme maka, saya akan menunjukkan ragam penyalahgunaan dana filantropi yang dilakukan oleh kelompok terorisme melalui telaah pada buku “Pendanaan Terorisme di Indonesia” karya Prihandoko, dkk. tahun 2021.
Secara umum, buku ini menyuguhi dua metode pendanaan kelompok teroris yakni pertama, pendanaan konvensional melalui fai, usaha kecil menengah, pengumpulan donasi mandiri internal, hingga donasi berbalut isu kemanusiaan. Kedua, metode modern melalui pemanfaatan teknologi seperti kartu tunai mandiri (ATM), kartu kredit, internet banking, mobile banking dan virtual account.
Berangkat dari dua metode pendanaan terorisme ini maka Prihandoko, dkk menyimpulkan terdapat tiga model penyalahgunaan dana filantropi di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok terorisme. Pertama, pendanaan terorisme berasal dari anggota maupun simpatisan terorisme. Hal ini terlihat dalam Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok teroris yang berbasis di Poso, Sulawesi Tengah.
Diakui atau tidak, eksisnya MIT ini tak lepas dari dukungan pendanaan yang terus mengalir kepada mereka. Ada empat sumber dana MIT, yakni sumbangan pribadi anggota, fai berupa peretasan situs investasi online speedline, fai berupa pencurian sepeda motor, dan sumbangan atau donasi dari simpatisan atau jaringan kelompok.
Pada poin terakhir, sokongan dana MIT yang berasal dari simpatisan ini banyak tersebar di luar Poso, misalnya simpatisan asal Wonogiri, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Bima, NTB. Mirisnya, setelah ditelusuri, penulis memperoleh kesimpulan bahwa, tujuan simpatisan membantu kelompok teroris adalah untuk mendirikan negara Islam dan menerapkan syariat Islam sekaligus di Indonesia.
Kedua, pendanaan terorisme itu berasal dari korporasi atau lembaga. Prihandoko, dkk., menyebut istilah “Korporasi Selubung” yang di antaranya Komite Penanggulangan Krisis (KOMPAK) dan ADC. Disebutkan, KOMPAK sebagai korporasi selubung dari Jemaah Islamiyah (JI) yang erat kaitannya dengan Ikhwanul Muslimin (IM).
Terutamanya ketika konflik antar agama meletus di Maluku dan Poso antara tahun 1998-2000 di mana JI dan KOMPAK melihat umat Nasrani di wilayah konflik sebagai kafir harbi. Perbantuan dari KOMPAK kepada JI berbentuk moda transportasi para mujahidin untuk pulang pergi dari Ambon ke Makassar dan menuju Jawa atau pun sebaliknya.
Sedang, ADC dianggap sebagai korporasi selubung dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang erat hubungannya dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). ADC yang pendiriannya dilakukan pada tahun 2015 ini bertujuan untuk menggalang dana dan menyalurkan dana-dana infak, sedekah, zakat serta penyaluran hewan kurban.
Ketiga, pendanaan terorisme berasal dari narcoterrorism atau terorisme narkoba. Umumnya, pelaku terorisme narkoba ini mengenal dunia narcoterorism ketika berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Alhasil, pelaku bergerak bebas membangun relasi dengan narapidana lainnya terutama berdagang narkoba. Dengan kata lain, narcoterrorism tumbuh subur di Lapas. Oleh karenanya, perlu ada pemisahan antara narapidana terorisme narkoba dengan narapidana lainnya.
Kendati kasus pendanaan terorisme di Indonesia berhasil diungkap — mulai rentang waktu tahun 1998 hingga sekarang — tak jarang sebagian masyarakat Indonesia masih terkecoh dengan modus para teroris.
Penggalangan Dana Wajib Transparansi
Oleh sebab itu, guna dana filantropi ini tidak disalahgunakan oleh oknum tertentu dan terutama kelompok terorisme maka, setiap penggalangan dana dari masyarakat wajib mematuhi prinsip transparansi, bisa diaudit, secara pasti diketahui oleh semua pihak terkait berapa nominal yang terkumpul, dan dengan jelas distribusi dan penggunaannya bisa dipertanggungjawabkan.
Selain itu, kontrol yang intens dari anggota masyarakat dan pengawasan dari pihak yang berwenang, yakni dari pihak pemerintah, adalah sesuatu yang musti dilakukan.
Dengan demikian, apabila dua upaya ini dilakukan maka Indonesia akan mudah Indonesia keluar dari zona darurat penyalahgunaan dana filantropi untuk aksi terorisme. Semoga.