Hijrah Karena Doktrin Penceramah Radikal

Jalanhijrah.com– Tulisan sebelumnya, Mengungkap Jaringan dan Gerilya Salafi-Wahhabi dalam Event Muslim Life Fair 2022, mendapat tanggapan lumayan dari pembaca. Banyak yang kaget dan tidak mengira bahwa gerilya ideologi Wahhabi sudah mencakup banyak aspek kehidupan beragama dan bernegara. Di bidang ekonomi, mereka sudah bergerak sejak lebih 15 tahun lalu. Di bidang keagamaan, hari ini pemurnian Islam lagi gencar-gencarnya. Indonesia semacam sedang dibawa hijrah.

Hijrah apa, oleh siapa, dan bagaimana? Maksudnya, yang benar-benar khas Indonesia seperti terkikis pelan-pelan, dan masyarakat Islam di Indonesia diseret untuk hijrah dari Indonesia yang dulu ke Indonesia yang sekarang. Disadari atau tidak, keberislaman di negara ini sudah bergeser jauh. Dulu, umat Islam damai tenteram dalam perbedaan. Sekarang, mereka semakin religius tapi semakin minim akhlak, semakin tidak sopan dan emosian.

Hijrah, kacamata besarnya, dalam konteks bangsa ini, kurang lebih begitu. Sementara itu penceramah radikal hanya satu dari sekian taktik indoktrinasi Wahhabi. Artinya, Wahhabi masih memiliki cara-cara lain untuk mendiseminasi ideologinya kepada masyarakat Indonesia. Agen-agen Wahhabi masuk melalui ekonomi dan sosio-politik-keagamaan dan menghijrahkannya sesuai ajaran mereka. Hijrah karena doktrin ideologis inilah yang hari ini masifnya—meminjam bahasa Gus Baha—ra karu-karuan.

Doktrin Hijrah

Rata-rata alasan tentang berhijrahnya seseorang—yang notabene simbol-centris—bertolak dari kejadian historis hijrahnya Nabi Muhammad saw. Setelah mendapat penolakan luar biasa dari klan Quraisy di Mekah, Nabi saw. hijrah ke Yatsrib. Kelak, Yatsrib ganti nama jadi Madinah. Tak hanya tentang pindah kota, di Madinah, Nabi saw. sukses jadi pemimpin tertinggi, jadi negarawan yang amat disegani. Latar historis tersebut kemudian dimaknai sebagai “perpindahan dari buruk ke baik”.

Baca Juga  Generasi Emas atau Cemas?

Seperti Nabi yang direspons tidak baik di Mekah, namun dimuliakan di Madinah, kaum hijrah pindah dari laku buruk mereka. Kini mereka setingkat lebih agamis; mulai dari pakai gamis dan cadar, posting tentang dakwah Islami di media sosial, dan puncaknya ialah jadi penghakim kebenaran—bahkan dalam beberapa kasus meningkat jadi kekerasan dan aksi teror. Meski secara term sendiri pun bermasalah, kata ‘hijrah’ tetap lebih populer daripada kata ‘taubat’.

Apakah itu hijrah, atau justru taubat, tidak ada yang peduli. Pokoknya kalau sudah bercadar, atau simbol-simbol lainnya, label ‘hijrah’ sudah melakat dengan sendirinya, sebagaimana melekatnya label Gus dan Neng bagi anak-anak kiai secara otomatis. Lama-lama, maknanya pun berkembang. Tak hanya yang berbusana agamis, mereka juga dituntut untuk ber-Islam kaffah, kaffah yang ideologis. Pemahaman hijrah yang demikian tentu adalah kekeliruan yang fatal sama sekali.

Kejadian historis perpindahan Nabi dari Mekah ke Yatsrib adalah perpindahan geografis, peta politik Islam, dan strategi dakwah Nabi. Tidak ada yang berubah; misi utama Nabi tetaplah sama dengan ketika di Mekah, yaitu menyampaikan risalah kepada seluruh umat. Baik di Mekah maupun Madinah, sosok Nabi tetaplah sama, yakni sebagai rahmatan lil ‘alamin. Apalagi, buntut hijrah hari ini ialah sikap merasa paling benar khas Wahhabi. Itu jelas berbeda dengan hijrahnya Nabi.

Merasa sebagai orang paling benar merupakan buah indoktrinasi ideologi tertentu, tentu saja. Adalah kenyataan yang tak dapat disangkal bahwa, setelah mengaku hijrah, kebanyakan mereka dipancing untuk terjerumus dalam jeratan ideologi islamis. Islamis di sini berkonotasi negatif, yakni mengarah pada doktrin Wahhabi yang notabene biang kerok radikalisme-ekstremisme. Seburuk itu doktrin hijrah yang disalurkan oleh para penceramah radikal.

Baca Juga  Gerakan Islam Radikal: Kedangkalan Intelektual-Spiritual dalam Beragama

Malah Jadi Radikalis-Ekstremis

Kenapa kaum milenial yang hijrah mudah sekali terpapar paham radikal–ekstrem? Pertanyaan ini seringkali diajukan di forum-forum. Jawabannya ialah karena kedangkalan pemahaman mereka tentang Islam, juga tentang term-term sensitif yang ada dalam ajaran Islam itu sendiri. Bagaimana mereka mengartikan jihad, perang, serta sistem Negara atau khilafah dalam doktrin mereka. Doktrin tersebut lahir dari mana? Tidak lain, penceramah idola mereka.

Pada saat bersamaan dengan indoktrinasi yang kian masif, kaum milenial hijrah tidak memiliki ruang membandingkan segala doktrin yang masuk. Tidak ada klarifikasi. Mereka menelannya mentah-mentah. Jihad mereka pahami sebagai perang, dan demokrasi sebagai sistem yang kontra-Islam, sehingga harus diganti khilafah. Kesalahan doktrin ini mengakar, dan indoktrinasi yang terus menerus secara akumulatif akan menjelma jadi sebuah tindakan konkret.

Bom bunuh diri adalah salah satu contohnya. Keputusasaan untuk hidup demi sesuatu yang mereka anggap jihad, dan tidak sanggup hidup di Negara Pancasila, yang mereka anggap sebagai taghut. Itulah kenapa kita dapat menyimpulkan bahwa hijrah dalam fenomena milenial merupakan titik tolak alias cikal-bakal lahirnya paham radikal dan ekstrem. Kuatnya indoktrinasi bukan sesuatu yang baru, penceramah radikal menjelaskan bahwa pelaku bom bunuh diri akan dibalas surga.

Dalam arti semua ini, hijrah sebaiknya dihindari. Ia sudah reduktif, jadi terkesan negatif, dan tidak lebih dari ajaran-ajaran rusak para penceramah radikal. Hijrah tak lagi sekadar merepresentasikan tren industri busana, melainkan jadi cikal-bakal paham radikal dan ekstrem. Kalau memang hendak memperbaiki diri, kita bisa gunakan term yang lebih pas, yakni “taubat”. Hijrah karena doktrin penceramah radikal akan membawa seseorang menuju kehancurannya sendiri.

Baca Juga  Perjuangan Non-Qital Perempuan Melawan Terorisme

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

*Penulis: Ahmad Khoiri Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *