Bijaksana Menyikapi Zaman, Sibuk Memperbaiki Diri

Jalanhijrah.com-Sejarah Islam di masa Nabi Muhammad penuh dengan peperangan. Beberapa di antaranya ada Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq. Yang perlu digarisbawahi adalah, perang itu bukan karena umat Islam menginginkan pertumpahan darah. Perang-perang tersebut berawal dari konflik-konflik, yang tujuannya untuk menghambat dakwah Islam. Umat Islam berperang karena kepepet. Untuk mempertahankan hidup. Kalau tidak perang akan ditindas, disiksa bahkan dibunuh oleh para pembenci Islam.

Jika kita melihat kondisi sosial masyarakat Arab di zaman ketika Nabi Muhammad masih hidup, yang namanya perang antar suku adalah hal biasa. Terjadi di berbagai tempat. Maka, sebenarnya wajar jika Islam yang lahir di wilayah dengan kondisi sosial, politik, budaya semacam itu juga tidak bisa lepas dari konflik yang berakibat pada munculnya peperangan demi peperangan.

Dulu, Nabi Muhammad beserta umat Islam berusaha sebijak mungkin merespon kondisi sosial, politik dan budaya dari masyarakat yang seperti itu. Di peristiwa Fathu Makkah, bahkan Nabi Muhammad beserta umat Islam berusaha membuat strategi penyerangan yang meminimalkan jumlah korban jika memang terpaksa terjadi pertumpahan darah.

Dengan keadaan tersebut agak aneh rasanya jika sekarang ada yang beranggapan bahwa Islam adalah agama keras, agama perang atau agama yang disebarkan dengan pedang. Jika dulu, kondisi sosial, politik dan budaya Arab tanpa konflik, tanpa perang antar suku, kemudian karena Islam muncul tiba-tiba terjadi banyak peperangan, itu baru bisa disebut Islam adalah agama keras, agama perang, atau agama yang disebarkan dengan pedang.

Baca Juga  Hukum Mengumandangkan Azan Saat Pemilu

Memang, sepeninggal Nabi Muhammad dan para sahabat, di Arab muncul dinasti-dinasti yang membawa nama Islam di dalamnya. Dinasti-dinasti tersebut melakukan ekspansi ke berbagai wilayah. Tidak jarang ekspansi-ekspansi tersebut juga menimbulkan peperangan. Pada titik ini, harus dibedakan antara mana yang Islam dan mana yang Arab. Islam yang mempunyai konsep rahmatan lil ‘alamin tentu saja bertolak belakang dengan sesuatu yang bersifat mencelakakan orang lain. Namun, orang Arab yang kebetulan menjadi pelestari ajaran Islam, tidak semudah itu berubah menjadi orang-orang yang enggan untuk perang.

Islam sebagai ajaran punya aturan-aturan bakunya, khususnya dalam ibadah. Aturan-aturan tersebut harus dilaksanakan. Kalau tidak dilaksanakan keislaman seseorang tidak sempurna. Saya kira, dalam berbagai agama aturan-aturan teknis dalam urusan ritual ibadah adalah hal yang wajar. Di sisi lain, Islam sebagai nilai itu dinamis. Nilai-nilai tersebut dapat masuk ke dalam kondisi sosial, politik dan budaya mana pun. Asalkan tidak melenceng dari ajarannya. Melenceng itu ketika seseorang sudah berbuat keburukan, menimbulkan kerusakan, apalagi sampai merugikan orang lain.

Nabi Muhammad sebagai tokoh sentral dalam agama Islam pernah mengatakan, “innama bu’its tu liutmima makarimal akhlak” yang artinya, “aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Perkataan tersebut tema utamanya akhlak. Maka jelas, orientasi beragama dalam Islam utamanya adalah akhlak. Bagaiamana seorang manusia berbuat baik, bermanfaat bagi pihak lain, menciptakan kemaslahatan bagi orang banyak.

Baca Juga  Nuruddin Ar-Raniri dalam Himpitan Romantisme dan Ancaman Keberagamaan

Selain perihal akhlak, di situ ada kata menyempurnakan. Yang artinya ada proses dari tidak sempurna memuju sempurna. Kita semua tahu kesempurnaan adalah cakrawala. Dan cakrawala adalah sesuatu yang hanya bisa didekati. Bukan sesuatu yang bisa digapai secara sempurna. Perjuangan menuju akhlak yang sempurna adalah proses yang terus diusahakan sepanjang hidup.

Selain aneh jika Islam dituduh sebagai agama yang keras, agama perang, agama yang disebarkan dengan pedang, di sisi lain aneh juga rasanya jika ada orang mengaku beragama Islam tetapi melakukan penghakiman-penghakiman. Merasa dirinya baik yang lain buruk. Merasa hanya dirinya yang suci, yang lain penuh dosa. Merasa dirinya yang pantas masuk surga, yang lain masuk neraka. Sehingga pantas menuding-nuding dan memberikan penghakiman kepada liyan, yang dianggap buruk, penuh dosa dan pantas masuk neraka.

Karena bagaimana pun, tidak ada orang yang sudah selesai dengan akhlaknya. Jika hari ini baik, belum tentu besok baik. Jika hari ini buruk, belum tentu besok buruk. Setiap orang yang mengidentifikasi diri dan hasil identifikasinya menunjukkan bahwa ia akhlaknya baik, bertugas mempertahankannya. Setiap orang yang mengetahui dirinya belum baik secara akhlak, bertugas untuk menjadi manusia berakhlak baik. Itu, dilakukan sampai akhir hayat. Maka, sebenarnya setiap umat Islam tidak punya waktu untuk menuding-nuding orang lain, menyalah-nyalahkan orang lain. Memperbaiki akhlak sendiri saja sudah sibuk, ngapain menyalah-nyalahkan orang lain?

Baca Juga  Shalat Mencegah dari Kemungkaran, Kalau Maksiat Gimana?

Dani Ismantoko https://alif.id/read/dani-ismantoko/bijaksana-menyikapi-zaman-sibuk-memperbaiki-diri-b240670p/

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *