Jalanhijrah.com-Taqwa merupakan salah satu kata yang sering kita dengar di sebuah majelis ilmu maupun khutbah. Ada banyak ayat di dalam al-Qur’an yang menyebutkan kata taqwa. Namun sebelumnya, kita harus mengetahui terlebih dahulu tentang makna kata taqwa. Pada dasarnya, seseorang dikatakan bertaqwa apabila ia menjalankan perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarangnya (Imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102).
Selain taat, orang yang bertaqwa juga akan meninggalkan maksiat sebab takut siksa Tuhannya di akhirat kelak. Sebagaimana pendapat Ibnu Katsir tentang taqwa, ia mendifinisikan taqwa ialah perbuatan menaati perinah Allah dan tidak bermaksiat kepadanya. Senantiasa mengingat Allah serta bersyukur kepadanya tanpa ada pengingkaran (kufur) di dalamnya.
Lebih jelasnya, taqwa itu ialah beramal yang dilandasi dengan taat karena Allah. Selalu melaksanakan apa yang diwajikan oleh Allah swt. Demikian pula pendapat Abu Yazid al-Bustami yang kemudian dikutip oleh Imam Quthubi mengatakan bahwa orang yang bertaqwa itu apabila ia berkata, berkata karena Allah, dan apabila berbuat, berbuat dan beramal karena Allah.
Perihal taqwa sesungguhnya telah disebutkan di dalam al-Qur’an yang di antaranya seperti di Surah al-Baqarah ayat 2-7. Nah, tulisan ini pun akan membahas tentang apa makna taqwa yang terdapat di dalam surah al-Baqarah ayat 197. Sebab, tak jarang masih terdapat kekeliruan dalam memahaminya. Mengapa masih sering disalahpahami? Berikut potongan ayatnya:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
Pada surah al-Baqaran ayat 197 di atas, sebagaimana yang telah disebutkan di awal, bahwa masih terdapat kesalahan dalam memahami ayat tersebut. Bisa dilihat tentang pemahaman bahwa taqwa adalah sebaik-baik bekal. Benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu kita juga harus melihat bagaimana asbaabun nuzul potongan ayat di atas.
Hal ini juga mengingatkan kita kembali betapa pentingnya paham asbabun nuzul suatu ayat. Inilah kiranya jawaban dari petanyaan tentang mengapa penting mengetahui asbabun nuzul. Sebab, ilmu ini merupakan salah salah satu yang dipelajari dari Ulumul Qur’an. Sehingga, tujuan mempelajarinya yakni untuk menghindari kesalahan dalam memahami suatu ayat.
Kembali ke surah al-Baqarah ayat 197 tadi. Ada potongan ayat khairazzadi at-taqwa. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Jalaluddin, bahwa ayat ini turun di dalam konteks penduduk Yaman disaat mereka beribadah haji ke Baitullah di Makkah. Pada saat berhaji, mereka tidak membawa bekal apa-apa. Mereka menganggap bahwa Allah akan menolong, sebab haji yang mereka lakukan merupakan ibadah untuk Allah.
Pemahaman yang keliru seperti itulah yang menjadikan mereka pada akhirnya melakukan tindakan meminta-minta untuk bertahan hidup. Padahal, perbuatan minta-minta itu tidak diajarkan di dalam Islam. Sebab itu bisa menjatuhkan martabat diri sendiri (Nasih2021). Akan tetapi, Islam sangat menganjurkan untuk berusaha dengan tangan sendiri. Dari peristiwa inilah kemudian turun ayat tentang perintah untuk mempersiapkan bekal ketika berangkat ke Baitullah.
Untuk itu, ibrah yang bisa kita ambil di sini yang juga menjadi amalan ialah, pentingnya berbekal. Karena itu penting. Maka, jelaslah bahwa taqwa yang dimaksud di sini adalah menjaga diri dari meminta-minta yang semakna dengan iffah. Oleh sebab itulah al-Quran menyebutkan bahwa sebaik-baik bekal adalah taqwa yang dalam konteks berhaji ialah menjaga dari perbuatan meminta-minta. Di dalam kitab Tafsir Jalalain telah disebutkan bahwa ketika berhaji, terdapat perintah untuk tidak menjadi beban untuk orang lain dan yang terpenting harus berbekal. wallahu a’lam bi al’shawab.
Muhammad Ikhsan Hidayat, Mahasiswa UIN Walisongo Semarang