Jalanhijrah.com- Ramai sebuah cuitan yang ditulis oleh Fadli Zon melalui akun twitternya. Ia mengutip sebuah berita yang berjudul ‘Densus 88 Klaim Taliban Menginspirasi Teroris Indonesia’, dengan kalimat berikut:
“Narasi semacam ini tak akan dipercaya rakyat lagi, berbau Islamifobia. Dunia sudah berubah, sebaiknya Densus 88 ini dibubarkan saja. Teroris memang harus diberantas, tapi jangan dijadikan komoditas,”.
Pernyataan ini memicu berbagai respon yang cukup ramai dari berbagai kalangan, termasuk dari komisi kepolisian nasional (Kompolnas). Ia menyampaikan bahwa narasi densus bubar semacam itu biasanya selalu datang dari kelompok teroris, radikal ataupun sejenisnya.
Narasi yang disampaikan oleh seorang anggota dewan, seharusnya tidak berisi konten demikian, karena hal tersebut justru memicu bahwa ia tidak sejalan dengan tujuan pemerintah dalam memberantas teroris, dan para radikalis yang ada di Indonesia.
Alasan Islamofobia adalah alibi
Islamifobia, Islamofobia, ataupun istilah islamisfobia merupakan enggabungan bahasa Indonesia melalui bahasan inggris, yakni islami dan phobia (ketakutan). Kata ini kemudian menjadi sebutan bagi orang-orang yang takut mendengar Islam, sebab pada praktiknya, Islam hadir sebagai agama teroris, menghalalkan pembunuhan, dll. Anggapan ini ada pasca terjadinya bom di Amerika Serikat, yang dikenal dengan serangan 11 September 2001.
Sejak kejadian itu, berbagai perdebatan, tuduhan kepada Islam agama teroris semakin mencuat. Islam menjadi perbincangan dunia, Al-Quran sebagai pedoman hidup umat Islam muga tidak luput dari sorotan para ilmuan, orientalis untuk dikaji kebenarannya tentang pembunuhan dan kejahatan yang dilakukan oleh para teroris.
Dampak dari kejadian tersebut, maka atribut yang melekat pada diri seorang muslim, semisal cadar, jilbab, kemudian dilekatkan sebagai seorang teroris. Inilah salah satunya yang disebut Islamofobia, islamisfobia ataupun sejenisnya.
Pada perkembangannya, istilah tersebut terkadang dijadikan label kepada orang-orang yang menyerang para radikalis yang memiliki berbagai kepentingan politik, dan kepentingan kelompoknya. Maka tidak salah ketika ada orang yang berani melawan para teroris, melawan para kelompok radikalis disebut sebagai islamifobia. Seolah-olah takut dengan kehadiran Islam. Padahal sebenarnya tidak demikian. Sebab perkembangan teroris semakin tidak terlihat, apalagi kehadiran media sosial semakin membuat mereka bergerilya.
Dalam konteks ini, kritik Fadli Zon terhadap densus 88 justru sangat tidak masuk akal. Apalagi kehadiran Taliban yang membumikan negara Islam sesuai dengan misinya, pada sisi yang lain, tidak berasas kemanusiaan, keadilan, khususnya bagi perempuan. Bisa disebut pula, narasi yang disampaikan oleh Fadli Zon memicu ketegangan, kebencian, bahkan mendukung para teroris di Indonesia.
Kita perlu berterimakasih kepada densus 88
Kehadiran Detasemen khusus (densus) 88 seharusnya menjadi salah satu wadah yang terus kita dukung dalam pergerakannya untuk memberantas teroris dan aksi radikalisme yang terus menyebar tanpa henti di Indonesia. alasan pembubaran densus 88 karena sudah banyak lembaga yang menangani teroris di Indonesia adalah alasan tidak berdasar.
Tidak hanya itu, sejauh ini kehadiran densus 88 justru menjadi kekuatan yang nyata bagi negara Indonesia dalam penanganan teroris di Indonesia. Juprizal:2020 menjelaskan bahwa peranan Densus 88 dalam menangani aksi kekerasan terorisme sangat jelas, seperti penangkapan gembong pelaksana peledakan bom Bali I dan bom Bali II, menumpas kelompok teroris yang ada di Solo, Temanggung, Klaten, Poso, dll. kinerja densus 88 selama ini membuahkan hasil dalam mengungkap persembunyian para teroris di Indonesia yang sangat meresahkan.
Bahkan, bisa dipastikan bahwa rekam jejak teroris yang ada di berbagai daerah, tertangkap secara nyata oleh densus 88. Yang menarik adalah salah satu alasan Fadli Zon bahwa kehadiran densus 88 nyatanya perkembangan teroris di Indonesia semakin banyak. Padahal, Terorisme bukan persoalan pelaku. Terorisme lebih terkait pada keyakinan teologis. Artinya, pelaku bisa ditangkap, bahkan dibunuh, tetapi keyakinan tidak mudah untuk ditaklukkan, sejarah membuktikan usia keyakinan tersebut seumur usia agama itu sendiri.
Artinya, kehadiran densus 88 tidak ada kaitannya dengan perkembangan teroris di Indonesia yang semakin marak, sebab perjuangan yang dilakukan oleh para teroris yang ada tersebut semakin gencar. Dengan demikian, fakta ini justru mengharuskan densus 88 perlu dipertahankan. Semakin banyak teroris yang ada di Indonesia, justru harus semakin banyaklah kekuatan densus 88 yang harus dikerahkan. Wallahua’lam