Jalanhijrah.com– The only thing that matters is who is behind the wheel. Kata-kata ini pasti tidak asing jika Anda penyuka film Fast & Furious. Dominic Toretto, di seri kedelapan, balapan pakai mobil butut, tetapi dia adalah pembalap andal. Meski mobilnya terbakar, Dom memenangkan balapan. Adegan tersebut jelas realistis. Kalau Anda nonton film The Man Behind the Gun yang rilis 1953, di situ ada kutipan fenomenal dari Theodore Roosevelt, Presiden ke-26 Amerika Serikat: “The truth is that any good modern rifle is good enough. The determining factor is the man behind the gun.”
Istilah “A Man Behind The Gun” bukanlah kelakar banal. Kendali diri kita bukanlah tangan atau kaki, melainkan otak. Tubuh yang kuat adalah perkara fisik belaka, tetapi pikiran yang menentukan tubuh hendak ke mana dan berbuat apa. Dalam konteks lain, asmara misalnya, hatilah sang kunci. Tidak peduli seberapa kuasa Anda terhadap raga seseorang, jika di hatinya bukan nama Anda, maka Anda bukan tempatnya pulang dan bercurah rasa. Pikiran dan hati adalah faktor vital, yang paling esensial dari segala tindakan fisik di mana pemiliknya terbawa.
Bagaimana jika konsep “A Man Behind The Gun” menghinggapi militer kita? Maka jelas kemungkinannya ada dua, yaitu baik dan buruk. Baik jika yang ada di belakang militer adalah wawasan kebangsaan dan keagamaan yang moderat, dan buruk jika yang ada di belakang militer adalah wawasan radikal. Selama ini, militer menjadi benteng pertahanan negara karena mereka memiliki nasionalisme yang tinggi. Namun, bagaimana jika yang ada di belakang mereka bukan rasa cinta dan ingin melindungi negara, melainkan sebaliknya, paham radikal?
Jawabannya, jelas TNI akan radikal. Dan menariknya, infiltrasi semacam ini akan cepat menyebar luas antarsesama prajurit. Satu prajurit kena, maka yang lain menunggu giliran. Infiltrasi paham radikal di kalangan militer tengah menjadi momok yang menakutkan, setelah terdapat fakta bahwa TNI-Polri berada dalam rebutan Salafi-Wahhabi, Hizbut Tahrir, dan Jemaah Tabligh. Para radikalis tersebut berusaha menguasai benteng pertahanan negara, menancapkan ideologi berbahaya. Secara langsung, militer akan berada dalam setir mereka.
TNI Radikal, Tugas Berat Panglima
Wacana TNI menjadi radikal mungkin akan terdengar asing. Tetapi perlu ditegaskan, radikalisme adalah ideologi yang bisa menyusup kemana pun dan kalangan apa pun. Beberapa waktu lalu, Polisi Sunnah sempat menjadi kontroversi. Jika Salafi-Wahhabi, Hizbut Tahrir, dan Jemaah Tabligh telah menyusup ke TNI-Polri, maka ada dua hal buruk yang menjadi dampaknya. Pertama, infiltrasi internal. TNI tidak bisa mengandalkan otot jika pikiran mereka sudah tercuci oleh pandangan radikal. Kedua, bahaya eksternal, yakni nasib Indonesia di masa yang akan datang.
Pada Minggu (7/11) kemarin, Anggota Komisi I DPR mengunjungi rumah Jenderal Andika Perkasa, calon Panglima TNI, dalam rangka verifikasi fit and proper test. Calon Panglima TNI yang diusulkan Presiden Jokowi tersebut, dengan karirnya yang cemerlang di militer, konon dipilih untuk—terutama—mengatasi konflik Papua. Namun, ternyata Jenderal Andika punya tugas lain yang tidak kalah berat untuk lingkungan TNI sendiri, yaitu menyelamatkan mereka dari infiltrasi radikal tadi. Ini menjadi tantangan bagi Jenderal Andika sekaligus deteksi dini kewaspadaan kalangan militer.
Mengapa Wahhabi, HTI, dan Jemaah Tabligh memperebutkan TNI-Polri? Ini menarik untuk diselisik lanjut.
Pertama Wahhabi. Di sini sebutannya tanpa ‘Salafi’, karena Wahhabi memang bukan pengikut salafusshaleh kecuali dalam klaim tipuan mereka. Wahhabisasi di Indonesia, jujur saja, sudah melangkah jauh dari yang disadari banyak orang. Para teroris, yang lahir juga dari Wahhabi ekstremis, menguasai sejumlah sektor. Bahaya Wahhabi berada di atas HTI maupun Jemaah Tabligh. Mereka mengampanyekan pemurnian Islam. Para selebritas sudah banyak berhasil mereka rekrut, dan dar para seleb itulah, mereka semakin bertambah banyak pengikut.
Wahhabi juga hampir menguasai kepolisian beberapa waktu lalu. Padahal, selama ini, agenda deradikalisasi ke daerah-daerah diselenggarakan oleh kepolisian, mengapa masih ada infiltrasi di kalangan internal mereka sendiri? Ini artinya, paham radikal tidka bisa diremehkan. TNI, berikutnya, sedang mereka cengkeram melalui kajian-kajian, untuk juga dijadikan manusia radikal. Semula, hanya dakwah biasa. Akhirnya, kontennya tendensius. Satu tahap, para TNI hanya akan menjadi radikal di pikiran, belum tindakan. Tapi itu karena HTI belum masuk.
Jika HTI masuk, dan Jemaah Tabligh juga demikian, maka pembasmian radikalisme akan semakin susah. Infiltrasi jelas akan semakin tinggi, dan TNI-Polri akan semakin radikal. Tidak hanya dalam pikiran, para militer akan memberontak negara untuk mendirikan negara khilafah. Tantangan ini ada di hadapan Jenderal Andika. Seperti disinggung di awal, yang terpenting adalah siapa yang ada di balik kemudi, apa yang ada di dalam kepala mereka. Meskipun secara fisik sangat kuat, dan terlatih membela negara, kalau pikirannya sudah tercuci Wahhabi cs maka TNI akan tetap radikal. Jelas.
Bagaimana TNI Filter Paham Radikal?
Penyitaan ratusan kotak amal baru-baru ini mungkin akan dipandang melalui dua susut. Pertama, kuatnya aparat negara. Anggapan ini akan melahirkan keyakinan bahwa militer tidak mungkin membelot pada negara, dan merupakan elemen paling loyal untuk menjaga kedaulatan. Kedua, lemahnya pengawasan. Pelan tapi pasti, paham radikal akan menguasai TNI-Polri jika filtrasi cegah dini tidak dilakukan. Karenanya, cegah dini menjadi keharusan.
Dimulai dengan mengawasi kajian terutama di mushalla atau masjid di lingkungan TNI sendiri, yang biasanya dikelola secara sukarela. Biasanya, majelis semacam itu tidak diawasi, dan tidak melibatkan NU serta Muhammadiyah. Sama halnya dengan mushalla-masjid di mall, stasiun, dan tempat umum lainnya yang absen pengawasan, paham radikal masuk. Kajian adalah motif paling awal untuk agenda mereka: pemurnian yang konfrontatif-radikal.
Di sini TNI dan Polri harus memperhatikan mushalla atau masjid tersebut. Selain itu, filtrasi juga bisa dilakukan dengan mencari jejak (tracing) setiap prajurit, ihwal latar belakang keagamaan mereka. Kasusnya, selama ini, di segala tempat, infiltrasi paham radikal terjadi akibat faktor internal, yang kemudian menyebarkan pahamnya ke teman sejawat. Dengan dua langkah tadi, TNI akan selamat dari paham radikal.
Adalah miris, jika suatu hari nanti, entah kapan waktunya, negara diberontak militernya sendiri. Paham radikal meletakkan TNI ke ujung tanduk: apakah mereka akan mengabdi pada negara, atau justru pikirannya tercuci oleh para radikalis musuh negara. TNI tidak boleh menyepelekan masalah infiltrasi paham radikal ini. Sebagai elemen yang memegang kekuatan, TNI mesti menjadi elemen pertahanan dan jangan sampai jadi agen pemberontakan.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…