Jalanhijrah.com-Superioritas perempuan di zaman dulu menjadikan posisi perempuan selalu berada di bawah laki-laki. Secara alamiah, laki-laki memiliki fisik dan rasionalitas lebih kuat di banding perempuan, sedangkan perempuan lebih menggunakan perasaan dan emosional. Sehingga laki-laki memiliki tugas sebagai pelindung kaum perempuan. Hal in membuat pandangan mengenai kaum perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal tidak semua perempuan yang lemah hanya bisa berdiam diri di rumah dan tidak melakukan apa-apa. Kita bisa melihat sosok Aisyah Ra. sebagai contoh teladan. Beliau sebagai perempuan memiliki keahlian yang sangat luar biasa di usianya yang masih muda. Ini menjadi salah satu bentuk kemajuan kaum perempuan agar bisa mengembangkan dirinya tanpa harus dianggap lemah daripada laki-laki.
Seiring berlalunya zaman, perdebatan mengenai superioritas perempuan dan laki-laki masih ramai dibicarakan. Seorang akademisi Muslim Inggris, Haifaa Jawad setuju bahwa suami berhak bertanggung jawab atas keluarganya. Tetapi jika seorang suami menyalahgunakan statusnya, seorang istri memiliki hak untuk ikut campur dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangganya tersebut.
Tugas dan Kewajiban Wanita
Seorang perempuan yang berperan sebagai istri memiliki tugas dalam sebuah rumah tangga. Dalam hadis ‘Abdullah bin ‘Umar Ra.., Rasulullah Saw. bersabda: “… seorang istri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya, ia akan ditanya (di akhirat) tentang semua itu…” (HR Bukhari dan Muslim). Artinya istri memiliki tugas untuk mengurus dan menjaga rumah tangga yang ia dan suaminya bangun bersama.
Dalam QS. Al-ahzab ayat 33 : “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan perkataannya: “Maksudnya, hendaklah kalian para istri menempati rumah kalian, dan janganlah keluar kecuali ada kebutuhan, termasuk di antaranya kebutuhan yang syar’i adalah keluar untuk salat di masjid dengan memenuhi syarat- syaratnya”
Dapat kita simpulkan bahwa seorang perempuan memiliki tugas untuk mengurus, menjaga, dan berdiam diri di rumah. Artinya seorang perempuan memiliki batasan untuk melakukan pekerjaan yang di minatinya. Seorang wanita saleh zaman dulu harus menjaga dirinya dengan berdiam diri di rumah. Lalu apakah seorang perempuan hingga saat ini hanya boleh diam di rumah dan mengurus rumah saja?
Dalam Kitab Tafsir Al-Qur’an abad 21 karya Abdullah Saed, QS. An-Nisa Ayat 34 menafsirkan bagaimana seorang suami memiliki hak untuk bertanggung jawab atas keluarganya sebagai pemimpin. Tetapi sang istri juga berhak untuk ikut campur memperbaiki permasalahan yang terjadi. Begitu halnya dengan mencari nafkah juga kewajiban seorang suami. Di mana seorang suami yang dianggap sebagai pelindung memiliki kewajiban untuk menjadi pencari nafkah dalam kehidupan rumah tangganya.
Jika kita pahami lebih dalam, Al-Quran hanya memberikan tugas wajib mencari nafkah kepada suami. Tidak ada ada larangan seorang istri untuk mencari nafkah dan tidak mewajibkan seorang istri mencari nafkah. Jadi, seorang wanita diperbolehkan menjadi pencari nafkah untuk membantu ekonomi rumah tangganya.
Kebenaran Menjadi Wanita Karir
Manusia hidup di dunia pastinya untuk bisa menikmati berbagai hal yang akan ia jalani. Kita dapat mengekspresikan diri kita secara bebas tetapi tetap dalam batas-batas yang sudah ditentukan oleh Allah Swt. Sudah diberi kenikmatan di dunia harusnya kita menggunakannya sebaik mungkin.
Salah satu pemikiran baru yang muncul ialah mengenai wanita karir. Banyak wanita ingin membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi panutan tidak hanya laki-laki saja. Wanita karir berarti seorang perempuan pintar dan pekerja keras yang bisa mandiri dalam finansialnya baik bekerja kepada orang lain atau usaha sendiri. Tetapi apakah bisa seseorang menjadi wanita karir sekaligus istri salehah?
Al-Hibri tidak setuju dengan gagasan tafsir-tafsir pra modern tentang kesempurnaan superioritas laki-laki dan intelektual laki-laki. Menurutnya pernyataan mengenai laki-laki diberikan anugerah oleh Tuhan tidak menjadikan semua laki-laki adalah qawwamun atas semua perempuan. Al-Hibri membayangkan bagaimana seorang perempuan bisa menjadi independen secara ekonomi dan berkemampuan secara intelektual. Dan ini sangat bertentangan dengan gambaran wanita salehah yang peran utamanya menjaga keluarga suami, harta, dan kesuciannya.
Al-Quran secara jelas mendorong kesetaraan spiritual untuk semua golongan, Kita dapat menyimpulkan bahwa dalam bermasyarakat tidak boleh ada ketidak setaraan. Karena di dalam Al-Quran itu sangat menghindari ketidak setaraan sehingga dalam bermasyarakat semua orang harus mendapatkan hak yang setara. Dengan begitu perempuan juga bisa dianggap sebagai qawwamun dalam masyarakat modern tidak hanya laki-laki saja. Seorang perempuan yang menjadi qawwamun di zaman modern ini sering disebut sebagai wanita karir. Menjadi wanita karir yang lebih banyak di luar rumah ini membuat banyak orang beranggapan wanita karir tidak memenuhi kriteria sebagai istri salehah. Akan tetapi seorang perempuan tetap bisa menjadi wanita karir sekaligus istri salehah dengan cara menjaga pergaulan mereka dalam lingkungan pekerjaan. Dengan begitu mereka bisa menjaga title wanita karir dan istri salehah.