R20: Ulama sebagai Pemersatu dan Peneguh Kohesi Sosial?

Jalanhijrah.com– Sebagai pemikir dan pelaku ritual-spiritual keagamaan, ulama menjadi poros dan mata air keteladanan bagi kehidupan umat sebagai peneguh kohesi sosial dan penggalian spirit ajaran Islam: seperti tasamuh (toleransi), egalitarianisme, dan al-adalah (keadilan)

Di tengah superior keagamaan dan kefanatikan yang mendaku sebagai yang paling benar, yang bahkan merampas hak otoritas Tuhan, ulama menjadi kunci dan tebeng untuk melenturkan dinamika dan suasana tersebut. Pemaham yang eksklusif yang kemudian bermuara pada penolakan kebinnekaan, menjadi pekerjaan nyata yang harus segera digarap dan ditukangi oleh ulama dan kita.

Sesungguhnya, beragama secara eksklusif dan idealis tidak cukup untuk menjawab kondisi zaman mutakhir. Para ulama tentunya perlu urun rembuk dan mendongkel realitas itu untuk dicari dan mencari sisi positifnya sebagai acuan kebaragamaan dan kehidupan bersama. Agar, agama tidak hanya dijadikan sebagai pemersatu emosional, tapi juga berperan sentral meneguhkan nilai-nilai otentik berislam: harmonisasi sosial dan bertuhan. Berkorban mencari solusi keumatan adalah memiliki distingsi atau kepentingan diri atas kepentingan keilahiyaan dan kemanusiaan.

badah tentu sesuai dengan kandungan maknanya, bertujuan taqarrub ila Allah dan taqarub ila al-nas. Membuat seseorang lebih (taqarub) dekat dengan Tuhannya, dan sekaligus (aqrab) merekatkan kohesi sosial antar masyarakat. Baik yang dulunya memiliki hubungan baik atau yang bercerai berai. Dengan begitu, apabila ulama bisa mengakomodatifkan permasalahan dan kepentingan umat, itu bermaknakan menjadi pengikat ikatan batin antara yang vertikal (Tuhan) dan horizontal (kerekatan sosial, budaya, politik).

Baca Juga  Meneladani Nabi Muhammad pada Bulan Rabiul Awal

Peneguhan Kohesi Sosial

Dalam konteks ini, ibadah-ibadah kita dan keulamaan perlu memiliki penekanan kemampuan (istitha’ah) dan perasaan ikhlas. Berkorban berjuang atas agama Allah memerlukan biaya finansial yang cukup. Disamping itu perlu diarahkan pada pengembangan wacana solidaritas kemanusiaan sebagai cara pandang yang otentik dan humanis, serta jauh dari sikap pamer nan egoistik.

Sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Kesabaran dan keikhlasan berkorban menjadi simbol jihad besar. Ia mengandung makna derma, sekaligus ungkapan syukur kepada Allah atas rezeki, ilmu, harta dan nikmat yang telah diberikan (QS. al-Kautsar, 108:1-3).

Apalagi, disuasana tengah pandemi dan sengkarut ini, berkorban demi keumatan merupakan urgensi. Aktualisasi keulamaan menjadi sangat relevan untuk solidaritas kemanusiaan. Peneguhan semangat keulamaan selalu dinantikan oleh mereka yang terdampak musibah covid-19, mengalami keterhimpitan materi, ilmu dan literatur  serta ruang pendidikan sosial dan agama.

Dengan melakukan solidaritas seperti itu, akan menolong orang-orang yang kesusahan. Bahkan, kian meningkatnya filantropi keagamaan dan keulamaan itu, kehidupan menjadi damai, terbantu, stabil, dan kuat atau bisa menjalani kondisi terpuruk ini.

Berkorban dengan Ikhlas

Tetapi, yang menjadi pertimbangan pokok kita, ilmu, harta-harta, dan pikiran yang dikorbankan adalah ilmu, harta-harta, dan pikiran yang ikhlas. Membantu seseorang harus diperoleh melalui cara-cara yang baik—sesuai dengan tuntunan hukum Islam dan hukum negara. Prinsip Islam orang boleh mendermakan segala sesuatu yang dicintainya (Ali Imran/3: 92) agar bermanfaat bagi orang lain—mengeluarkan mereka dari jurang kemalaratan dan kesedihan. Seperti ulama, berkorban dengan jalan lapang akan memiliki dampak pada kehidupan dan lebih memiliki jiwa ketenangan dan ketahanan yang kokoh.

Baca Juga  Tahapan Belajar Fiqih Syafi’i, ala Syeikh Abdul Aziz Asyahawi

Lebih jauh, ia harus melampaui materi, ia perlu sampai pada non-materi, yakni membantu dan berkorban secara ananiyah. Berkorban hawa nafsu angkara murka, egoisme, dan sifat fanatik lainnya menjadi penting karena tidak merugikan orang banyak. Bahkan bila itu terjadi dilakukan akan membuat kita selesai dengan diri kita sendiri.

Di tengah kondisi pandemi dan perkembangan politik kian memanas belakangan ini, berkorban ananiyah sangat penting dirayakan. Sebab, sulit dimungkiri, banyak kerusakan dan kehancuran yang dialami individu, kelompok, golongan manusia, dan negara bangsa terjadi karena kegagalan manusia mengendalikan dan tidak mau mengorbankan ananiyah untuk kepentingan yang lebih besar (Azyumardi Azra, 2020).

Sebagaimana analisis Azyumardi Azra, gajala ananiyah dengan terbukanya keran demokrasi yang ditandai dengan merebaknya penyebaran isu-isu provakatif, semburan berita bohong yang disebarkan secara masif di sosial media, menjadi ketidakutuhan manusia. Akibatnya, ananiyah makin berkobar, pertikaian dan konflik bermunculan yang bisa merusak tatanan atau kohesi sosial negara-bangsa.

Dalam konteks itu, nilai dan semangat mengalahkan nafsu ananiyah merupakan keniscayaan; tinggal bagaimana menyikapinya secara arif, bijak dan tawaqal. Untuk mengarah kesana, perlu pengembangan pemahaman bahwa pemahaman secara tulus dan bersikap adil memperbaharui hubungan antarmanusia, antarawarganegara, dan ke Tuhan. Pemahaman tulus dan berikap adil bukan sekadar aktualisasi sikap moral bernilai tinggi, tetapi bertujuan yang tak kurang mulianya, yakni perbaikan mencakup pada semuanya.

Baca Juga  Fazlur Rahman: Teori Hermeneutika dalam Interpretasi Ayat Al-Qur’an

Seperti misalnya, kehidupan sosial politik harus mengorbankan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan rakyat. Ceramah keagamaan harus menghilangkan egoisme pribadi dan identitas kelompok untuk harmonisnya sosial umat. Dalam kepincangan ekonomi-sosial, lapisan elite ulama, dan warga harus meningkatkan tebalan jiwa dalam kesediaan memberikan pengorbanan nyata dan sungguh-sungguh untuk harkat dan martabat kedaulatan hidup rakyat. Bukan justru kedaulatan warga dikorbankan untuk kepentingan diri, politisi dan oligarki. Sebab itu, ajaran dan nilai-nilai keislaman seperti berkorban materi dan sifat ananiyah secara terus menerus merupakan kebutuhan urgen setiap manusia, dari masa ke masa.

Keagamaan atau ritual agama, dan sosok ulama memang berfungsi sebagai pemersatu emosional manusia. Namun, dalam praksisnya, agama dan ulama mengandung nilai-nilai humanisme akomodatif untuk terlibat aktif mengurai simpul kohesi sosial menuju kemaslahatan bersama.

Adanya situasi simulacra dan kondisi tak menentu ini, kita bisa mengorbankan segala hal untuk kemaslahatan umat negara-bangsa. Sekaligus bisa menemukan dan mengantarkan pada kesejataian sebagai manusia. Sebagai awam, tentu kita berharap ulama-ulama kita tetap teguh dan selalu mengajari kita nilai-nilai agama dan sosial yang luhur, ingklusif, dan moderat. Sehingga nilai-nilai agama itu bisa menjadi pemersatu, meneguhkan dan merekatkan kohesi sosial-umat kembali

Penulis: Agus Wedi

Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *