Jalanhijrah.com-Perjuangan perempuan untuk menuntut hak-hak mereka sebagai manusia seutuhnya merupakan perlawanan terhadap pembagian kerja yang menetapkan laki-laki sebagai pihak yang berkuasa dalam ranah publik. Maka dari itu, munculah feminisme sebagai gerakan sosial yang pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya kaum perempuan ditindas dan dieksploitasi sebagai manusia domestik, di mana melaluinya pula perempuan berusaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.
Feminisme menyoroti politik seksualitas dan domestik baik pada level personal maupun level publik. Gerakan perempuan secara perlahan tumbuh menjadi suatu kekuatan politik yang besar, menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika Utara, dan kemudian melahirkan aliran feminis radikal yang memperjuangkan aspirasinya melalui jalur kampanye serta demokrasi untuk membangun ruang dan kebudayaan perempuan.
Selanjutnya, feminis sosialis lebih menekankan pada pembangunan aliansi dengan kelompok-kelompok dan kelas-kelas tertindas lainnya, yaitu dengan gerakan-gerakan anti-imperialis, organisasi-organisasi buruh, serta partaipartai politik kiri. Sedangkan feminis liberal lebih pada kelompok kecil yang berkonsentrasi pada lobi-lobi pemerintah demi reformasi pro-Perempuan dan berusaha mempengaruhi para pengambil kebijakan.
Perjuangan perempuan di ranah publik merupakan fokus utama dari ketiganya. Selain itu, terdapat gerakan feminis yang melihat posisi perempuan dan pengalamannya dalam kebanyakan situasi berbeda dengan laki-laki. Gerakan feminis tersebut diinisiasikan oleh Simone de Beauvoir dalam pemikirannya mengenai feminisme eksistensial.
Penggambaran salah satu teori feminisme eksistensial adalah marginalisasi perempuan sebagai liyan dalam kultur yang diciptakan laki-laki serta mengasumsikan laki-laki sebagai subyek, sementara perempuan adalah obyeknya. Feminisme eksistensial ini merupakan perjuangan perempuan melalui gerakan individual di ranah domestik dan cenderung berbeda dari aliran feminisme lainnya yang melakukan perjuangan di ranah publik.
Biografi Simone de Beauvoir
Simone de Beauvoir merupakan ahli filsafat Prancis dan tokoh feminisme modern yang terkenal pada abad ke-20. Ia menuangkan gagasan filosofisnya melalui media yang tidak konvensional seperti dalam roman, sandiwara, dan memoar. Karyanya, Le Deuxième Sexe (The Second Sex) menghantarkannya pada pemikiran mengenai feminisme eksistensial. Ia merupakan anak perempuan tertua dari salah satu keluarga borjuis di Prancis dan dibesarkan dengan paham Katolik sehingga ibunya mengirimnya ke sekolah biarawati.
Pada usianya yang ke-14 tahun, Beauvoir mengalami krisis iman dan menjadikan dirinya sebagai seorang ateis. Hal itulah yang membuatnya mempelajari pemikiran bernuansa eksistensialisme serta mengalihkan fokusnya untuk mempelajari matematika, sastra, dan filsafat. Pada tahun 1926, Beauvoir meninggalkan rumah dan menempuh pendidikan di Sorbonne yang merupakan universitas bergengsi di Prancis.
Pada tahun 1929 Beauvoir mengikuti kursus di École Normale Supérieure untuk persiapan ujian agregasi filsafat. Di sana pula ia bertemu dengan Sartre dan menjadi partner seumur hidupnya meskipun tanpa ikatan. Pada saat itu pula Beauvoir berusia 21 tahun dan merupakan siswa termuda yang lulus ujian agregasi dan menjadi guru filsafat termuda di Prancis.
Karya-karya pribadinya berupa fiksi dan esai banyak diterbitkan hingga di tahun 1949, Beauvoir mengajukan sebuah etika eksistensialis dalam The Second Sex di mana ia berusaha menjelaskan posisi subordinat perempuan dalam masyarakat. Pemikirannya dalam The Second Sex inilah yang kemudian dikenal dengan feminisme eksistensial.
Feminisme Eksistensial
Melalui epistemologi eksistensialisme Jean Paul Sartre, terdapat dalil eksistensialisme yang diaplikasikan dalam konsep feminisme eksistensial Simone de Beauvoir. Terkait dengan etre en soi ‘berada dalam dirinya’ dan etre pour soi ‘berada bagi dirinya’. Etre en soi adalah segala sesuatu yang tidak memiliki kesadaran, tidak mampu menyusun tujuan hidupnya sendiri dan dapat dimisalkan dengan benda mati. Sedangkan etre pour soi yang bersebrangan, merupakan segala sesuatu yang memiliki kesadaran, yaitu manusia itu sendiri.
Konsep etre en soi dan etre pour soi dalam feminisme eksistensial pada dasarnya merupakan bentuk pengukuhan atas hidup yang absurd dan kenihilan manusia sebagai ‘hasrat kesiasiaan’, bahwa keinginan manusia untuk menjadi etre en soi sekaligus etre pour soi adalah hal yang mustahil. Oleh karena itu perempuan hanya sebagai etre pour les autres ‘ada untuk yang lain’, perempuan adalah liyan, sosok yang lain bagi laki-laki.
Dalam upaya mendefinisikan perempuan sebagai liyan, feminisme eksistensial Simone de Beauvoir tidak terlepas dari kritik mengenai data biologi, psikoanalisis, dan materialisme sejarah. Data biologi menjelaskan bahwa adanya fakta-fakta mengenai perempuan yang lebih lemah daripada laki-laki, ototnya kecil, tidak bisa mengangkat beban yang lebih berat, dan tidak dapat mengimbangi laki-laki dalam perkelahian. Fakta-fakta tersebut memang tidak dapat disangkal, namun ternyata tidak terdapat signifikasi karena kekuataan otot tidak dapat menjadi dasar bagi dominasi. Menurut Beauvoir, Ilmu biologi tidak cukup memberi jawaban mengenai perempuan yang dianggap liyan.
Dalam sudut pandang psikoanalisis, perempuan dianggap mencemburui penis sebagai alter ego pada laki-laki. Akan tetapi menurut Beauvoir, perempuan bukan ingin memiliki penis tersebut sebagai penis, tetapi perempuan ingin memiliki keuntungan material dan psikologis yang diperoleh dari pemilik penis. Perempuan adalah liyan bukan karena mereka tidak memiliki penis, tetapi karena tidak memiliki kekuasaan.
Selanjutnya, Beauvoir mengkritik pernyataan mengenai jenis pekerjaan akan dibagi bukan berdasarkan jenis kelamin jika kapitalisme dijatuhkan. Akan tetapi, perubahan kapitalisme ke sosialisme tidak akan secara otomatis mengubah relasi perempuan dan laki-laki. Materialisme sejarah tidak mampu memberikan jawaban dari ke-liyanan perempuan karena hanya menekankan kepemilikan yang dominan pada laki-laki.
Beauvoir juga mengungkapkan fakta-fakta di belakang penindasan perempuan dalam sejarah. Hierarki jenis kelamin telah ditegakkan dengan melihat kembali data penelitian pra-sejarah serta etnografi yang dihasilkan filsafat eksistensialis. Dimulai pada masa kaum pengembara, pengolah tanah di masa lampau, zaman patriarkal dan purbakala klasik, dari abad pertengahan hingga abad ke delapan belas di Prancis, sampai dengan setelah Revolusi Prancis yang menggambarkan situasi perempuan sebagai liyan yang mengalami penindasan hingga mendapatkan kesempatan untuk bebas.
Bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan, laki-laki menganggap bahwa mereka dapat menguasai perempuan dengan menciptakan mitos tentang perempuan. Laki-laki selalu mencari sosok perempuan ideal yang akan menjadikannya lengkap. Dengan memfokuskan pada lima pengarang laki-laki, Beauvoir menunjukkan bahwa karya-karya mereka merefleksikan perempuan yang ideal dan yang dipuja laki-laki adalah perempuan yang mengorbankan diri agar menyelamatkan laki-laki. Dalam setiap karya sastra tersebut, perempuan didorong untuk melupakan, mengabaikan, atau melakukan penyangkalan terhadap dirinya.
Dewasa ini, sulit bagi perempuan untuk menerima secara bersamaan status mereka sebagai individu dan takdir feminitas mereka. Kenyataan tersebutlah yang menganggap perempuan adalah “jenis kelamin yang tersesat”. Beauvoir memberi solusi yang menurutnya lebih menyenangkan untuk ‘menyerah’ pada sesuatu perbudakan buta ketimbang merdeka. Kematian (bunuh diri) memang lebih baik diadaptasikan daripada kehidupan.
Begitulah pemikiran feminisme eksistensial yang lebih melihat sosok perempuan sebagai liyan dari takdir sejarah dan mitos pada perempuan serta membuat pemikiran yang berbeda dari aliran feminisme lainnya, yaitu penghargaan atas diri (perempuan) sebagai manusia yang utuhdan meninggalkan laki-laki yang menghalangi kebebasannya sebagai suatu eksisten.
Feminisme Eksistensial dalam Paradigma Sosiologi
Terkait dengan ragam perkembangan dan percabangan disiplin sosiologi, penggunaan istilah paradigma lebih dititikberatkan pada pengertiannya yang kedua, yaitu paradigma sebagai persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi suatu konstruksi ilmu pengetahuan. Komponen pembeda antara paradigma satu atas paradigma lainnya adalah “objek studi” berikut “metode” yang digunakan dalam disiplin tersebut.
Di samping itu, persyaratan lain yang harus dipenuhi dalam terumus dan terbentuknya paradigma adalah adanya “tokoh acuan”, “eksemplar”, dan berbagai teori yang termasuk dalam paradigma tertentu. Tiga paradigma dalam sosiologi adalah fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial.
Merujuk pada klasifikasi paradigma sosiologi Ritzer, penempatan feminisme eksistensial Simone de Beauvoir pada paradigma sosiologi dirasa penting dilakukan. Apabila dikaitkan dengan pemaparan mengenai konsep pemikiran feminisme eksistensial Simone de Beauvoir pada sub bab sebelumnya, jelas kemudian eksemplar pemikiran feminisme eksistensial Simone de Beauvoir tergolong dalam paradigma definisi sosial yang lebih menekankan pada perjuangan perempuan di ranah domestik.
Hal tersebut dipertegas dengan pernyataan Weber, “There’s no thing such social” (“Tidak ada perihal yang dinamakan masyarakat”). Paradigma definisi sosial justru menganggap individu sebagai yang nyata, masyarakat hanyalah kumpulan individu dengan berbagai kepentingannya masing-masing. Paradigma ini menganggap konsep struktur sosial yang tidak memperhatikan tindakan individu sebagai abstraksi spekulatif tanpa dasar empiris.
Konsep Beauvoir mengenai feminisme eksistensial secara tidak langsung memiliki karakteristik yang sama dengan pandangan klasik Weber mengenai individu dalam masyarakat. Dalam konteks peran subyek, keduanya sepakat menempatkan individu sebagai pencacahan dari masyarakat, sekaligus menempatkan individu sebagai pengisi ruang dalam entitas yang lebih luas.
Maka dari itu, feminisme eksistensial memiliki berbagai karakter paradigma definisi sosial yang berfokus pada individu, yaitu perjuangan perempuan di ranah domestik. Feminisme eksistensial juga termasuk dalam teori mikrososiologi dengan metode kualitatif.
Feminisme Eksistensial di Ranah Domestik
Beauvoir menspesifikasikan peran sosial sejalan dengan mekanisme utama yang digunakan oleh Diri sebagai subjek untuk menguasai Liyan sebagai objek. Terdapatnya misteri feminim di mana perempuan menerima ke-liyanan mereka sebagai tindakan yang tragis yang diturunkan dari generasi ke generasi. Hal ini berdasarkan pengalaman Beauvoir sebagai perempuan borjuis Prancis. Pada masa kecil, seorang anak perempuan nyaris tidak mampu berpikir bahwa dirinya dibedakan secara seksual sejauh ia eksis di dalam dan bagi dirinya.
Dengan berdasar pada pengalaman Beauvoir sebagai perempuan borjuis Prancis, di mana anak laki-laki sejak kecil didorong untuk mewujudkan diri dalam usaha-usaha yang konkret dan anak perempuan selalu diperkuat dalam kecenderungan untuk menjadikan dirinya sebagai sebuah objek. Anak perempuan diberikan boneka yang selalu dirawat dan membayangkan dirinya sebagai boneka tersebut dan memunculkan sikap naris sebagai perempuan. Saat masa pubertas, perempuan menyadari perbedaan tubuhnya dengan laki-laki.
Perempuan kemudian dipaksa untuk menerima dan menginternalisasi tubuhnya sebagai liyan. Keliyanan pada perempuan kemudian dihubungkan dengan pernikahan dan menjadi istri serta ibu. Dimana peran tersebut membatasi kebebasannya dan menyulitkan perempuan dalam menentukan takdirnya. Di sisi lain, perempuan pekerja juga tidak dapat melepaskan diri dari batasan feminitas. Hal tersebut dikarenakan perempuan pekerja diharuskan untuk menjadi dan bersikap sebagai perempuan dengan kewajiban berpenampilan yang menarik.
Meskipun situasi saat ini mulai perlahan membaik, status resmi perempuan tidak pernah setara dengan laki-laki di mana pun. Adapun perjuangan perempuan di ranah domestik menurut feminisme eksistensial adalah menjadi “perempuan bebas”. Terdapat tiga jenis perempuan yang memainkan peran perempuan hingga ke puncaknya untuk menjadi “bebas”, yaitu; perempuan narsis, perempuan dalam cinta, dan perempuan mistis. Perempuan narsis yang obsesif terhadap dirinya, bahkan memiliki perasaan menjadi subjek dan objek secara bersaman.
Awalnya ia menghindari tirani laki-laki dan pada akhirnya hanya akan menerima tirani dari opini publik. Perempuan dalam cinta yang memberikan segalanya pada kekasihnya. Meskipun pada kenyataannya ia bukanlah segalanya untuk laki-laki, ia akan berusaha bahwa dirinya akan dibutuhkan. Perempuan mistis yang ingin menjadi objek sempurna dari subjek yang sempurna pula.
Perempuan mistis tidak bisa membedakan antara Tuhan dengan laki-laki dan sebaliknya. Namun menuru Beauvoir, Ketiga jenis perempuan yang ingin menjadi “bebas” untuk mengejar kediriannya melalui narsisme, cinta, atau mistis ini hanyalah usaha yang sia-sia. Mereka tetap menjadi objek karena tidak menjadi dirinya sendiri. Bentuk-bentuk perjuangan untuk menjadi “perempuan bebas” adalah perempuan harus bisa menentukan pondasi dirinya sendiri.
Perempuan seharusnya memiliki kesadaran untuk menentukan pilihan bebasnya, perempuan dapat bekerja sesuai keinginannya, menjadi seorang intelektual, dan menolak dirinya untuk dijadikan liyan. Perempuan bahkan bebas menolak berbagai aturan tuhan serta nilai, norma dalam masyarakat yang membelenggu dirinya.
Adapun beberapa kasus yang dapat menggambarkan perjuangan perempuan menurut feminisme eksistensial di ranah domestik; Dalam ruang rumah tangga dimana perempuan yang merasa dianiaya suaminya agar memiliki pilihan bebas untuk melawan perlakuan suaminya atau menggugat perceraian.
Sedangkan pada perempuan di ruang kerja yang memiliki masalah dengan rekan laki-lakinya dan merasa dilecehkan dapat melawan langsung dengan keberaniannya secara tatap muka. Pada akhirnya, perjuangan feminisme eksistensial menurut Beauvoir di ranah domestik adalah agar perempuan tidak menjadi perempuan narsis, dalam cinta, dan mistis.
Perempuan pun dapat memilih untuk menjadi pelacur maupun hetaria. Meskipun di satu sisi mereka merupakan objek dan sebagai liyan yang dieksploitasi, di sisi lain mereka merupakan suatu subjek yang mengeksploitasi. Mereka melacurkan dirinya bukan untuk uang saja, tetapi juga untuk penghargaan yang mereka dapatkan atas keliyanan-nya. Apabila perempuan semakin terbelenggu dengan keliyanan dalam dirinya, perempuan pun memiliki pilihan bebas untuk melanjutkan hidupnya meski harus menerima konsekuensi ‘disakiti’ atau ‘diremehkan’ oleh laki-laki.
Di sisi lain, perempuan sebaiknya memiliki keberanian untuk melawan penindasan yang dialaminya secara individu dengan tatap muka. Bahkan perempuan juga memiliki pilihan terakhirnya yaitu bunuh diri karena dalam eksistensialisme, “manusia adalah kebebasan itu sendiri”. Begitu pula dalam feminisme eksistensial, bahwa menjadi bebas adalah bentuk dari subjektivitas.
Sumber Rujukan
Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rueda, Marisa., Marta Rodrigues, & Susan Alice Watkins. 2007. Feminisme untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book.
Losco, Joseph & Leonard Williams. 2005. Political Theory, Kajian Klasik dan Kontemporer. (Haris Munandar, Penerjemah). Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Beauvoir, Simone de. 2016. Second Sex: Fakta dan Mitos. (Toni B. Febrianto, Penerjemah). Yogyakarta: Narasi.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tong, Rosmarie Putnam. 1998. Feminist Thought: Pengantar paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.
Hereford, Z. 2019. Simone de Beauvoir (1908-1986). Diakses pada 8 April 2019 melalui https://www.essentiallifeskills.net/Simon e-de-Beauvoir.html
Penulis