Neurosexism dan Pengalaman Biologis Perempuan :Bisakah Dinilai sebagai KemerdekaanPerempuan?

Jalanhijrah.comPada abad ke-21 ini, kemerdekaan perempuan di Indonesia tak jarang digaungkan oleh berbagai kalangan. Mulai dari kalangan agama, feminis liberal, sampai dengan feminis pasca modern. Mereka menyuarakan kemerdekaan menurut sudut pandang mereka masingmasing. Dari segiagama misalnya, ada berbagai bentuk penafsiran baru yang adil gender dan mencoba mengangkat kemerdekaan perempuan, seperti yang disuarakan KH. Husein Muhammad, Quraisy Shihab, Faqihhudin Abdul Kodir, dan lainnya. Dari segi kemanusiaan penuh perempuan juga turut dikampanyekan misalnya dari Dr. Nur Rofi’ah Bil. Uzm., Julia Suryakusuma dan masih banyak lagi.

Namun, kemerdekaan perempuan di Indonesia ini sangat jarang menyentuh tataran neurosainsNeurosains atau lebih tepatnya neurosexism yang dipopulerkan oleh neurology Amerika pada1970-an tersebut berhasil membawa penerimaan besar oleh kalangan umum karena melingkupi kehidupan mereka. Seperti laki-laki yang pintar dengan matematika dan perempuan lebih unggul dalam bahasa. Bahwa perempuan lebih cerewet dan laki-laki suka berkompetisi. Bahwa laki-lakisulit mendengar dan perempuan tidak pandai membaca peta. Bahwa ketika laki-laki menyetir, ialebih pandai dibandingkan perempuan karena otak kanan yang cenderung dominan. Akan tetapi karena tidak seimbang maka apabila teerjadi kecelakaan, akibatnya lebih fatal.

Bahwa perempuan karena corpus callosum-nya lebih tebal, maka ia dapat menyeimbangkan otakkanan dan kiri sehingga ia pun mampu melakukan multi tasking. Hal-hal ini acap kali selaras dengan kondisi sosial pada umumnya. Sehingga akan sangat mudah diterima oleh masyarakat umum. Namun, neurosexism ini dianggap selesai karena kajian perbedaan otak laki-laki dan perempuan (neurosexism) sudah disintesis oleh ilmuan-ilmuan lain yang teorinya tidak kalah kuat. Misalnya, Chaterine Vidal seorang neurobiolog Prancis yang menentang neurosexis dengan menegaskan bahawa otak memang organ biologis, tetapi dan terutama, merupakan organ kultural yang dibentuk secara sosial. Atau Gina Rippon profesor dari Aston University yang menganggap bahwa neurosexism disebabkan karena peneliti yang hanya menampilkan data yang mendukung ide perbedaan gender.

Baca Juga  Ummu ‘Atiyyah; Perempuan Hebat Pakar Fikih Jenazah

Padahal jika ditelisik lebih dalam, menurut Larry Cahill seorang ahli saraf California, penyangkalan akan neurosexism itu sendiri akan beresiko mengabaikan perempuan dalam diskusi-diskusi sebagai akibat dari persamaan dengan laki-laki dalam hal perawatan dan jugareaksi terhadap obatobatan. Meskipun ini memang bersifat farmakologi, kedokteran, biologis, namun ternyata hal ini berlaku pula dalam agama yang mana ketika perbedaan tersebut disikapi dengan baik dalam artian tidak perlu disangkal, akan menumbuhkan suatu kemedrekaan, kemerdekaan, dan keadilan bagi perempuan utamanya.

Misalnya apabila disangkutkan dengan QS. Ar-Rum (30): 21 yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan pasangan supaya tercapai ketentraman jiwa dengan penuh kasih dan sayang. Nah, keadaan ini dapat diwujudkan dengan cara berfikir, musyawarah, untuk kemudian saling menerima dan memahami antara satu dengan yang lain. penting untuk dipahami, bahwa pemahaman akan perbedaan biologis (fisik) dalam hal ini perbedaan otak (neurosexism) yang menyebabkan perbedaan sifat dan karakter antara laki-laki dan perempuan, bukan berarti perempuan harus direndahkan karena lebih lemah misal dalam hal ide, seni, selalu ribut, bawel, minta diperhatikan, dan lain sebagainya.

Melainkan, tentu Allah menjadikan biologis yang seperti itu adalah sebagai fitrah, supaya antaralaki-laki dan perempuan sebagai pasangan relasi yang saling ridho, menghargai, dan menghormati perbedaan tersebut. Selayaknya relasi yang sama-sama menjadi support system satu sama lain untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan dengan memaksimalkan potensi yang telah Allah berikan di dunia ini. Hal ini tentunya juga tak lepas dari kajian Dr. NurRofiah, Bil. Uzm., yang menyuarakan keadilan berdasarkan latar belakang keadaan biologis perempuan yang berbeda jauh dengan laki laki. Yakni perempuan yang mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui yang mana kelima pengalaman ini bukanlah pengalaman yang menyenangkan.

Baca Juga  Meneguhkan Peran Ulama Perempuan; Mencari Titik Temu Peradaban Baru

Menstruasi yang setiap bulan dirasakan oleh perempuan dikatakan hampir sama seperti serangan jantung. Hamil seorang perempuan dalam kitab suci Al-Qur’an dikatakan sakit diatas sakit atau lemah yang bertambah-tambah. Belum lagi melahirkan yang sama saja dengan bertaruh nyawa.Kondisi demikianlah yang membuat perempuan mengalami perbedaan pengalaman biologis dengan laki-laki, sehingga pengalaman ini perlu diberikan ruang yang cukup agar perempuan dapat diperlakukan dengan baik, dan memiliki kesempatan yang sama dengan laki laki, bukan justru malah dibatasi ruangnya.

Dengan demikian, perbedaan baik dari segi otak (neurosexism) dan pengalaman biologis bukan merupakan sebuah nilai inferioritas perempuan dibandingkan laki-laki. Justru ketika ada pengalaman-pengalaman yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, menyebabkan perempuan dalam kondisi yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih. Maka perempuan yang sama-sama diciptakan oleh Tuhan sebagai manusia sepenuhnya harus diperlakukan secara adil, meskipun harus ada kesetaraan yang berbeda dengan laki-laki.

*Penulis: Nur Khazanah (Anggota Puan Menulis)

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *