Jalanhijrah.com-Buntut panjang kasus penggelapan dana oleh ACT menyeret Koperasi Syariah 212, suatu koperasi yang memakai embel-embel Islam sebagai ampas kasus Ahok dan demo berjilid-jilid lima tahun silam. Kali ini, yang ACT curi yaitu dana bantuan Boeing atau Boeing Comunity Invesment Found (BCIF) terhadap ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 2018. Dana dari Boeing aslinya 138 miliar, tetapi 34 miliar dicuri yang 10 miliar darinya dipakai untuk Koperasi Syariah 212.
Namun tidak lama pihak 212 memberi tanggapan. Wakil Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni (PA 212), Novel Bamukmin mengatakan, PA 212 tidak mempunyai kaitan dengan ACT. Menurutnya, PA 212 punya lembaga kemanusiaan sendiri. Lebih jauh, nomor rekening milik lembaga kemanusiaan PA 212 itu juga terhubung langsung pada sekretariat PA 212. Artinya, pihak PA 212 merasa tidak ada hubungan dengan ACT dan bahwa Koperasi Syariah 212 bukan bagian dari mereka.
“Kami juga bekerja sama dengan FPI dalam setiap aksi kemanusian baik tanggap bencana maupun aksi bakti sosial,” ucap Novel, Selasa (26/7) kemarin.
Mencari Titik Terang
Bagaimana memahami kasus ini? Saya membaca dua kemungkinan. Pertama, dengan melihat keterangan Novel, maka Koperasi Syariah 212 adalah bikinan ACT sendiri, atau milik pembisnis yang bersahabat dengan orang-rang di ACT itu sendiri. Singkatnya, dana 10 miliar dari ACT adalah hibah petinggi ACT untuk rekan bisnis mereka. Tetapi masalahnya, apakah keterangan Novel tentang tidak adanya kaitan antara PA 212 dengan Koperasi Syariah 212 itu valid?
Mari lihat kasus investasi bodong 212 Mart di Samarinda, Kalimantan Timur, pertengahan 2021 lalu. Pernyataan Novel ketika itu konsisten dengan pernyataannya yang sekarang bahwa PA 212 tidak punya kaitan dengan 212 Mart—minimarket di bawah Koperasi Syariah 212. Ketua PA 212, Slamet Maarif juga memberikan keterangan yang sama: PA 212 tidak punya hubungan meskipun namanya mirip. “Jadi, secara organisasi dan kegiatan tak ada kaitan,” kata Slamet, Kamis (6/5/2021).
Kedua, dengan melihat para aktor Koperasi Syariah 212, terbaca bahwa koperasi berembel-embel Islam tersebut memang bukan dari PA 212, namun menggunakan simbol “212” karena memang waktu itu simbol tersebut sangat fenomenal dan sentimental. Kasarnya, sejumlah aktor populisme di kalangan ACT-PKS berusaha memanfaatkan keadaan dengan mendirikan Koperasi Syariah 212, sebagaimana FPI memanfaatkan keadaan dengan mendirikan PA 212.
Salah satu aktor Koperasi Syariah 212 yang saya maksud adalah M Syafii Antonio, pakar Ekonomi Syariah yang pada saat Aksi Bela Islam berjid tengah terjadi, Syafii adalah tokoh yang paling gencar menarasikan pentingnya koperasi syariah dan menyebutnya sebagai fardu kifayah. Pada saat yang sama, ekonom tersebut punya kedekatan dengan ACT-PKS. Jadi, pada saat Koperasi Syariah didirikan, 212 lagi terjadi, maka simbol itu disematkan: Koperasi Syariah 212. Sudah jelas, bukan?
Sampai di situ, dipahami bahwa “212” diadopsi oleh dua kepentingan: Koperasi Syariah dengan kepentingan ekonomi berembel agamis dan PA 212 dengan kepentingan politik berembel-embel umat Islam. Pertanyaannya, siapa yang mengeksploitasi Islam di antara mereka? Jawabannya adalah: keduanya. Masing-masing punya agenda dan kepentingan. Islam tak lebih dari sekadar umpan, dan bagi ACT dan Koperasi Syariah 212, Islam sekadar simbol mencari cuan. Merekalah maling-maling agamis.
ACT dan Gerombolan 212
Setelah analisis di atas, yang terpenting bukanlah siapa yang paling benar di antara Koperasi Syariah 212 dengan PA 212. Bahaya keduanya memenuhi dua bidang yang berbeda. PA 212 tidak dapat disangkal sebagai aktor politik populisme, sementara ACT dan Koperasi Syariah lebih sebagai penjahat ekonomi populis. Kesamaan keduanya ialah pada kesadaran akan ‘pentingnya posisi umat Islam’ yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan politik.
Meskipun begitu, dengan melihat jumlah curian yang besar, baik penggelapan dana Boeing maupun donasi umat secara umum sejak ACT berdiri, maka eksploitasi Islam oleh maling agamis tersebut lebih menjengkelkan. Bagaimana tidak, dana yang seharusnya diperuntukkan keluarga korban kecelakaan pesawat malah dipakai mendirikan koperasi, sudah begitu koperasinya berembel syariah. Itu sama buruknya dengan membangun masjid dengan uang hasil merampok.
Masalahnya adalah citra Islam setelah kasus-kasus yang mengatasnamakannya. Gara-gara maling agamis tersebut, filantropi Islam tergerus kepercayaannya di mata masyarakat. Tidak ada lagi, kecuali segelintir orang, yang percaya kejujuran donasi atas nama Islam. Untuk para pengeksploitasi Islam semacam itu, hukuman yang setimpal adalah memenjarakannya seumur hidup. Agar mereka jera dan bertaubat, juga agar Islam tidak lagi jadi target eksploitas mereka hanya karena kepentingan memperkaya diri.
Bagaimana dengan PA 212? Harus diakui, bahwa jika FPI mempunyai dana filantropi juga sebagaimana diakui Novel Bamukmin, mereka pasti lebih jujur dari gerombolan ACT-PKS. Dari PA 212 sendiri yang perlu dikhawatirkan bukanlah potensi mereka untuk menggelapkan dana seperti ACT, melainkan aksi-aksi politisnya yang diorientasikan untuk merebut pemerintahan dengan cara memainkan politik identitas yang riskan bagi persatuan dan menyemarakkan intoleransi.
Namun begitu, semua maling agamis tadi memang wajib diberantas. Mau itu maling uang umat Islam atau maling suara umat Islam, mereka sama-sama mengeksploitasi Islam. Karena itu, mulai dari kepolisian hingga tokoh masyarakat perlu berisinergi untuk menyelamatkan umat Islam secara ekonomi-politik. Jangan sampai dana umat digelapkan lagi oleh maling-maling agamis, dan jangan sampai juga suara politik umat dicuri untuk tujuan perebutan kekuasaan. Eksploitator Islam wajib diberantas.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Penulis