Pada tahun 1949, Simone de Beauvoir, filsuf asal Prancis melahirkan feminisme eksistensialis dengan diktum: “Seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi seorang perempuan.” Jauh sebelum itu, lima puluh tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1899, seorang gadis Jawa yang secara tradisi telah didefinisikan menjadi Raden Ayu, menorehkan sendi filsafat eksistensialis di bumi Nusantara.
Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar, ia bermaklumat: “Panggil aku Kartini saja, itulah namaku.” Gadis itu berani mengesampingkan segala gelar, keningratan, dan tradisi yang membalut hidupnya pada waktu itu dengan prinsip liberte, egalite, fraternite (Kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan).
Pernyataan itu membentuk biografinya menjadi tokoh emansipasi atau yang disebut S.K Trimurti dalam buku Kartini dalam Sejarah Nasional Indonesia (1983) karangan Solichin Salam, sebagai perempuan yang pemikirannya melampaui zaman. Kartini mendefinisikan diri dengan mempertanyakan ulang eksistensinya sebagai perempuan, kaum ningrat, dan umat islam. Ia menata ulang definisi-definisi tersebut dalam rentang hidup yang cukup singkat, hanya 25 tahun.
Dalam waktu seperempat abad itu, pikirannya menjangkau ruang feminisme, pendidikan, agama, ekonomi, dan kebudayaan. Semangatnya untuk memerdekakaan diri dan memajukan masyarakat Jawa ia tuangkan dalam surat-surat yang kelak oleh J.H Abendanon dibukukan menjadi Door Duisternis Tot Licht (DDTL) (1911). Buku itu yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armijn Pane.
Kompas (7/10/2024) bertajuk Wardiman Djojonegoro, Melengkapi Surat RA. Kartini memberi angin segar bagi orang-orang yang gandrung pada pemikiran Kartini. Tulisan itu mengabarkan bahwa akan segera hadir buku Trilogi Kartini yang memuat surat-surat yang belum dipublikasikan oleh J.H Abendanon. Dan kini, buku tersebut sudah bisa dimiliki dalam genggaman. Trilogi Kartini terdiri atas tiga jilid buku dengan tebal 1.500 halaman. Jilid I berjudul Kartini, Kumpulan Surat-surat 1899-1904 menampilkan 179 surat Kartini dan 11 artikel memoar yang diterjemahkan dari bahasa Belanda.
Jilid II bertajuk Kartini-Hidupnya, Renungannya, dan Cita-citanya memuat biografi Kartini yang pernah dituliskan oleh Sitisoemandari Soeroto dengan beberapa tambahan berupa petikan penting atau high lights pemikiran Kartini. Jilid III berjudul Inspirasi Kartini dan Kesetaraan Gender Indonesia, memuat perjuangan Kartini dalam konteks ekonomi, pendidikan, budaya, kekerasan terhadap perempuan, dan perlindungan pekerja migran. Buku ini sangat menarik, karena membuka sisi-sisi lain yang selama ini tidak diketahui oleh pembaca tentang hidup Kartini.
Wardiman Djojonegoro dalam Kartini: Hidupnya, Renungannya, dan Cita-citanya (2024) mengabarkan bahwa dalam Door Duisternis Tot Licht (1911) yang kemudian diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, tidak menyertakan seluruh surat Kartini. Ada sekitar 74 surat yang tidak dimuat dan terjadi pemotongan 57 surat atau 237 halaman dari Surat Kartini yang asli.
Akibat dari pemotongan dan absennya beberapa surat, banyak penilaian terhadap Kartini yang mendasarkan pada data-data DDTL kurang memberikan gambaran yang tepat tentang pemikiran maupun kehidupan Kartini. Buku Trilogi Kartini bisa menjadi pelengkap dari surat-surat yang selama ini tidak diketahui oleh banyak khalayak.
Beberapa hal penting yang tidak ditemukan dalam surat-surat Kartini yang dipotong oleh J.H Abendanon dan surat-surat yang tidak dimuat dalam buku DDTL adalah perihal pengakuan Kartini atas ibu kandungnya, faktor yang melatarbelakangi keputusan Kartini untuk menikah, kisah tiga serangkai atau daun semanggi, dan alasan Kartini menerima lamaran Bupati Rembang. Salah satu informasi yang cukup membuat kaget pembaca adalah pengorbanan Kartini yang bersedia dinikahi demi menolong kakaknya, Sosrokartono. Dikisahkan bahwa Kartini rela berkorban demi menyelamatkan kakak kesayangannya agar bisa menyelesaikan pendidikannya di Belanda.
Dalam suratnya tertanggal 21 Desember 1900, yang ditujukan kepada Nyonya R.M Abendanon-Mandri, ia menjelaskan bahwa kakak laki-lakinya, Sosrokartono, dipanggil pulang karena selama 4 tahun tidak belajar dan hanya berfoya-foya saja:
“Dalam 4 tahun itu dia tidak belajar, hanya bersenang-senang dan…. mabuk-mabukan. Para wali di Belanda menasihati Ayah untuk mengeluarkannya. Tepat sebelum keberangkatan kami ke Batavia, Ayah memberikan saya sepucuk surat yang paling putus asa dari dia untuk dibaca, di mana terdengar keputusasaan, kesedihan, penyesalan, menyalahkan diri sendiri. Dia mengakui dosa-dosanya dan memohon agar dia tidak dikeluarkan.”
Setelah menuliskan beberapa surat lainnya, akhirnya Kartini memutuskan:
“… Baiklah sekarang saya akan menikah dan melakukan semua yang mereka inginkan, dengan syarat membiarkan saudara laki-laki saya di Belanda 1 tahun lagi – jika satu tahun ini berakhir dengan baik maka selama itu hingga dia selesai. Hidup saya untuk hidupnya.” (Surat, Jepara, 21-12-1900, kepada Nyonya R.M Abendanon-Mandri).
Trilogi Kartini membantu pembaca memahami lebih rinci mengenai pemikiran, cita-cita, pergolakan batin, dan perjuangan Kartini selama hidup. Buku itu membatalkan asumsi negatif banyak orang tentang hidupnya, misalnya anggapan perihal ketidakkonsistenan pandangan Kartin soal pernikahan, ketidakjujuran Kartini tentang ibu kandungnya dan beberapa hal lain.
Apa artinya Kartini? Kartini tidak tepat jika hanya diposisikan sebagai sosok, apalagi meletakkannya hanya pada wacana kesetaraan gender. Kartini bergelut dalam beragam isu seputar ekonomi, keagamaan, toleransi, pendidikan, nasionalisme dan kebudayaan.
Kartini adalah sebuah nilai yang melahirkan ajaran kemanusiaan bagi banyak perempuan maupun laki-laki. Ia sangat heroik bukan hanya untuk kalangan perempuan tapi juga anak-anak, masyarakat, keluarga, dan bumi pertiwi. Ia membayar perjuangan itu dengan banyak pengorbanan, termasuk kebahagiaan hidupnya sendiri.
Data Buku:
Judul: Trilogi Kartini (Jilid I Kartini, Kumpulan Surat-surat 1899-1904, Jilid II Kartini, Hidupnya, Renungannya, dan Cita-citanya, Jilid III Kartini dan Kesetaraan Gender Indonesia)
Penulis: Wardiman Djojonegoro
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit: 2024
Jumlah Halaman: -+ 1500 Halaman
ISBN: 978-623-321-291-5.
Yulita Putri
Bergiat di Bilik Literasi dan Kamar Kata Karanganyar.