Jalanhijrah.com-Di tengah teriknya sorotan publik mengenai Politik Dinasti yang diduga menguntungkan Prabowo-Gibran sebagai pasangan Capres-Cawapres di Pilpres 2024, Prabowo justru memproteksi dirinya dengan pernyataan absurd.
“Kalau kita jujur, Anda lihat di semua partai, termasuk PDI-P, ada dinasti politik dan itu tidak negatif,” ujarnya di Djakarta Theater, Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Gak cuma itu, Prabowo menegaskan jika dinasti politik yang dia maksud adalah mengacu pada keluarga yang memilih untuk mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa.
Prabowo menganggap bahwa dirinya adalah bagian dari dinasti politik karena ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo pernah menduduki jabatan sejumlah menteri, baik di era Orde Lama maupun Orde Baru.
“Kita ambil pengertian yang positif dari pengertian dinasti politik adalah keluarga yang patriotik, keluarga yang ingin berbakti pada negara dan bangsa. Salahnya apa? Jangan dipolitisasi,” paparnya.
Ada dua maslah di sini. Pertama, pernyataan tersebut jelas merupakan upaya untuk memanipulasi pandangan publik. Kedua, Prabowo berupaya mengaburkan kompleksitas realitas yang ada di kehidupan sehari-hari mengenai Politik Dinasti.
Melalui pernyataanya, Prabowo pada dasarnya sedang melakukan teknik “minimisasi kritik”. Dia mencoba mengikis bejibun kritik terhadap fenomena dinasti politik dengan mengatakan bahwa itu adalah hal yang wajar di Indonesia. Ini adalah contoh dari minimisasi kritik, yaitu upaya untuk mengurangi dampak negatif suatu permasalahan.
Selanjutnya, Prabowo ternyata juga mengklaim bahwa semua partai, termasuk PDI Perjuangan, melibatkan dinasti politik. Jelas Ini merupakan generalisasi yang meragukan karena ia secara arogan menutup probabilitas bahwa “tidak semua partai mungkin terlibat dalam dinasti politik”. Dan, klaim semacam ini dapat digunakan untuk mengaburkan fakta yang lebih kompleks.
Yang lebih bermasalah, Prabowo juga mencoba mengalihkan isu dari negatifnya dinasti politik ke pengertian positif tentang dinasti politik yang mengacu pada patriotisme domestik. Ini adalah contoh dari pengalihan isu, di mana ia mencoba untuk mengubah fokus perdebatan publik mengenai politik dinasti yang melibatkan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka.
Masalahnya lagi, hal yang bermasalah itu kemudian dikukuhkan dengan basis argumen Prabowo yang mencoba untuk menekankan bahwa dinasti politik dapat bermanfaat jika keluarga tersebut patriotik dan ingin berbakti pada negara dan bangsa. Ini adalah upaya untuk memposisikan dinasti politik dalam konteks yang seolah-olah positif sehingga makin mengalihkan perhatian dari potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Puncaknya, Prabowo mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari dinasti politik dengan menyebutkan ayahnya pernah menduduki jabatan menteri. Ini dapat dianggap sebagai strategi untuk menunjukkan bahwa keterlibatan dirinya dalam konteks politik dinasti adalah hal yang bersifat genetik berdasarkan latar belakang keluarganya.
Politik Bahasa, Politik Kekuasaan
Dalam semesta film, apa yang dilakukan Prabowo sebetulnya lumrah terjadi. Drama nyaris serupa, misalnya, tertuang dalam serial Game of Thrones musim ke-3, episode ke-5 yang berjudul “Kissed by Fire.”
Dalam episode ini, Littlefinger atau Petyr Baelish berbicara dengan Sansa Stark tentang rekam jejak pengkhianatan dan ambisinya dalam permainan politik. Katanya, “Chaos isn’t a pit. Chaos is a ladder.“ (Kalimat ini juga pernah ia ungkapkan kepada Lord Varys dengan motif manipulasi yang sama, yaitu membalikkan opini publik)
Sansa kemudian merespons dengan skeptis, “What’s the worst reason you have for turning on me?“
Littlefinger menjawab dengan (seolah-olah) bijaksana, “That’s what you don’t understand. I have no motive beyond my service to the realm.”
Dalam pernyataannya, Petyr Baelish mencoba untuk membalikkan pandangan Sansa–tentang dirinya yang pernah menjadi pengkhianat Raja Eddard Stark (bokapnya Sansa)–yang mungkin berkonotasi negatif dengan menjelaskan bahwa segala tindakan yang dia lakukan adalah untuk kebaikan kerajaan.
Begitulah diksi berkonotasi negatif, dalam hal ini “pengkhianatan,” dapat sedemikian rupa dibalikkan maknanya menjadi seolah-olah progresif dengan menekankan bahwa dia bertindak untuk kebaikan kerajaan, bangsa, negara, atau apalah itu sehingga menciptakan kesan bahwa motifnya adalah yang terbaik.
Dalam film, manipulasi pandangan atau opini publik pada dasarnya digunakan untuk mengaburkan inti cerita atau diskurus utama yang ada di balik drama. Contoh lain, jika kamu merupakan penggemar sutradara sekaliber Christopher Nolan, film The Prestige (2006) adalah satu contoh betapa drama di dalamnya melibatkan persaingan antara dua pesulap yang memanipulasi dan menipu satu sama lain, juga para penontonnya.
Atau, manipulasi serupa juga sangat rapi tertuang dalam film Gone Girl (2014). Disutradarai oleh David Fincher, film ini fasih sekali memanipulasi pandangan penonton (publik) tentang karakter yang berjibaku di dalamnya dan alur cerita dengan cerdik.
Memang, Prabowo secara formal tidak berprofesi sebagai “sutradara”. Tetapi bukankah nasib orang tidak ada yang tahu?