Jalanhijrah.com-Sebelum membahas KM50 sebagai jimat FPI, ada polemik anyar yang harus kita singgung paling awal. Kemarin, standup komedian McDanny bikin ulah. Bertempat di klub malam, kalau tidak salah, dia melayangkan perpeloncoan kepada pengunjung berkudung yang asyik bergoyang. “Kita bertemu di neraka,” katanya. Dia juga menyinggung Habib Rizieq yang, tidak lama kemudian, identitasnya viral dan dibongkar oleh siber simpatisan FPI.
Nama lengkap, nomor hp, email, dan alamat domisili dibocorkan ke publik. Meski belum diketahui pasti bagaimana perasaan McDanny menghadapi perundungan di dunia maya, jika dia normal, takut adalah sesuatu yang pasti. Kejadiannya sama persis dengan korban Muslim Cyber Army (MCA) yang terdahulu: diretas dan dibocorkan ke publik. Soal siber, simpatisan FPI tidak bisa disepelekan. FPI, sebagai public sphere, punya jimatnya sendiri.
Jangankan sipil seperti McDanny, yang identitasnya sangat mudah dijumpai. Yang privasi seperti para pejabat negara pun tidak lepas dari pantauan MCA. Di Telegram, mereka punya akun bernama Death Skull dan Opposite. Di Instagram, mereka punya King Vaduka. Facebook adalah platform utama mereka mencari foto dan email, juga alamat target. Umat Islam adalah konsumen utama mereka, sementara pemerintah itu musuhnya.
Topik KM50 kembali trending di Twitter. Tagar #BongkarRekayasaKM50, seperti tagar yang sudah-sudah dengan narasi yang sama, merilis sejumlah polisi yang terlibat di lapangan saat penembakan enam laskar FPI. Keenamnya, terutama Ipda Elwira Priyadi Zendrato yang bertugas sebagai penembak laskar, diusut profilnya. Idham Aziz, Kapolri waktu itu, juga dituduh aktor. Sementara di balik mereka semua, dianggapnya rezim adalah kunci.
Tetapi itu hanya wacana dasar. Poin terdalamnya adalah, mereka para simpatisan siber, berusaha memberontak—dengan cara mengais iba masyarakat agar membenci pemerintah. Sebagai isu sensitif, KM50 telah berhasil melampaui eksistensi FPI itu sendiri. Selama aparat tidak menuntaskan kasus tersebut, KM50 akan selalu mengusik narasi publik tanah air. Dengan kata lain, KM50 telah menjadi jimat pemberontakan dari FPI untuk pemerintah.
KM50 Jimat Pemberontakan
Apa alasannya? Jika ditarik pada satu kesimpulan, maka alasan terkuat kasus KM50 menjadi jimat FPI menarasikan pemberontakan adalah “hukum”. Ada semacam anggapan di kalangan para laskar, yang kemudian mereka perluas kepada masyarakat, bahwa KM50 adalah extra-judicial killing, yang di dalamnya sarat kepentingan politik untuk mengerangkeng umat Islam. Pada saat yang sama, pelakunya belum dipenjara. Ada celah hukum di situ.
Di antara narasi ketidakadilan yang FPI jual ke ruang publik, masyarakat mulai tersentuh dan bersimpati. Terdapat “cita-cita bersama”, di antara mereka, yang menyebabkan gerakan sosial semacam FPI tidak akan pernah mati diserang sekeras apa pun. Namun melihat represi pemerintah, jalan pintas pemberontakan tersebut adalah melalui siber, yang secara keahlian, mereka juga tidak bisa diremehkan. Satu persatu akan dikuliti melalui peretasan.
Dengan demikian, maka apa pun kepanjangan FPI, Front Pembela Islam maupun Front Persatuan Islam, bukan masalah untuk eksistensi FPI itu sendiri. Pemerintah tetap punya satu lawan yang pemantiknya adalah mereka sendiri, yakni ketidakadilan hukum dalam tragedi KM50. Menariknya, atau justru ironisnya, narasi pemberontakan terebut bisa lebih masif dari kasus awal. Pembingkaian (framing) KM50 oleh FPI bisa berujung mobilisasi massa.
Untuk menguatkan argumentasi tersebut, peristiwa 9/11 di AS dapat menjadi contoh. Jika ditanya, apa jimat AS memerangi terorisme global, yang memungkinkan negara adidaya tersebut menginvasi negara-negara Islam secara bebas dan tanpa jeratan pelanggaran HAM sama sekali? Jawabannya adalah: 9/11. Tragedi tersebut telah di-framing sedemikian rupa, sehingga kampanye war on terror AS seolah-olah melegitimasi segala kekerasan AS di negara lain.
Tragedi KM50 jelas tidak sefenomenal tragedi 9/11. Seseorang boleh menyanggah argumentasi tadi. Tetapi yang mesti digarisbawahi adalah, keduanya sama-sama punya kepentingan politik: AS ingin menginvasi negara kaya minyak dengan dalih terorisme, sementara FPI ingin menginvasi kekuasaan pemerintah dengan dalih ketidakadilan hukum. Pemerintah harus paham, persoalan KM50 di mata FPI bukan perkara sederhana yang dapat diabaikan begitu saja.
Pemerintah dan Dilema
Apakah harus disikapi reaktif atau dibiarkan hingga reda sendiri, adalah pertanyaan yang bagus. Pemerintah memang tengah menggenjot perang melawang terorisme, tetapi gerakan-gerakan kontra-narasi di pinggiran mereka tidak melulu mulus: ada yang tidak paham medan dan ada yang grasah-grusuh. Tanpa analisis yang jelas, generalisasi dilakukan. Alih-alih berhasil meredam ekstremitas, para radikalis justru jadi kabur pengertiannya.
Bahwa FPI bukan kelompok teroris, itu benar adanya. Bahwa mereka tidak bisa disamakan dengan HTI dan lainnya, itu jelas. Karena itu, menghadapi mereka juga tidak bisa disatupaketkan dengan menghadapi kelompok radikal lain, yakni dengan menyerang secara masif. Yang demikian tidak akan ada manfaatnya, justru perlawanan FPI melalui jimat utamanya, KM50, akan teruus berlangsung. FPI perlu disikapi secara hat-hati dan tidak serampangan.
Salah satunya adalah dengan mengusut tuntas tragedi KM50 di ranah hukum. Tidak perlu ada yang ditutupi, agar tragedi tersebut tidak dijadikan jimat untuk melemahkan integritas pemerintah itu sendiri. Masyarakat umum adalah penonton, sementara FPI sedang bergulat dengan pemerintah mengenai KM50. Jika sampai FPI yang memenangkan dukungan penonton, maka ketidakpercayaan terhadap pemerintah akan mengundang pemberontakan.
KM50 sebagai senjata FPI memberontak harus segera dikelarkan kasusnya, dan setelah itu ditutup. Dengan demikian, masyarakat akan menyaksikan keadilan, dan narasi ketidakadilan akan segera tidak relevan dengan sendirinya. Namun, setelah semua ini masih tersisa satu pertanyaan: apakah FPI akan segera punya jimat lain jika KM50 sudah selesai? Apakah pemberontakan mereka bersifat abadi dan ideologis? Jika jawabannya positif, maka apa gunanya? Di sana, pemerintah dilema.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…