Lembeknya Negara Indonesia di Mata Teroris Asing

Jalanhijrah.com-Miris mendengar kabar bahwa satu petugas Kantor Imigrasi Kelas I TPI Jakarta Utara tewas ditusuk oleh teroris asal Uzbekistan, Senin (10/4) kemarin. Itu terjadi saat ketiganya mau kabur dari Rumah Detensi—tempat mereka ditahan sambil menunggu proses deportasi. Juru Bicara Densus 88, Aswin Siregar mengatakan, sekitar jam 04.00 WIB, tiga teroris: Bekhzod Anorbek, Imron, dan MR menyerang petugas imigrasi dan Densus 88 dengan menusuk pakai pisau dapur.

Salah seorang petugas imigrasi, Adi Widodo pun tewas ditusuk. Sementara tiga orang lainnya, yaitu petugas imigrasi Dikky Firstho Damas serta Bripda Dendri dan Bripda Bahrain dari Densus 88, mengalami luka berat dan dirawat di RS. Tiga teroris tersebut kemudian kabur namun berhasil ditangkap kembali. Imron ditangkap di kompleks Bukit Gading Indah. Anorbek ditemukan tewas di Kali Sunter. Sementara MR ditangkap di gorong-gorong Kali Sunter.

Mulai dari masuknya teroris tersebut ke negara Indonesia, kemudian propaganda yang dilakukannya, lalu tertangkap tapi kabur hingga membuat penjaga tewas, itu mengindikasikan beberapa hal yang perlu disadari bersama. Pertama, lemahnya pengawasan terhadap WNA asing. Para teroris tersebut sudah masuk sebulan sebelum tertangkap. Kedua, lemahnya pengawalan terhadap teroris. Andai ketat, kejadian nahas Senin kemarin tidak akan ada.

Ketiga, lembeknya negara ini di mata teroris itu sendiri. Ketika mereka berani kabur dan membunuh, sudah pasti mereka menganggap aparat di negara Indonesia tidak setegas di negara-negara lainnya. Mereka tahu, negara ini cenderung permisif—karena menggunakan pendekatan lunak—dalam penanggulangan terorisme. Seandainya para teroris itu menganggap aparat akan bertindak militeristik, mereka tidak akan berani menusuk atau melukai petugas karena takut dengan konsekuensinya.

Baca Juga  Mengadopsi Gaya Radikalisme untuk Memberantas Radikalisme Itu Sendiri

Mengapa Selalu Kecolongan?

Pertanyaan ini selalu harus diajukan karena satu alasan: kontra-terorisme di negara sudah super maksimal. Saking seriusnya, pemerintah bahkan menjadikannya sebagai kinerja prioritas. Stakeholder-nya juga banyak, terutama BNPT yang anggarannya untuk 2023 sebesar Rp2,328 triliun—sebagaimana disampaikan saat Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR dengan Kepala BNPT membahas anggaran dan program kerja BNPT tahun anggaran 2023.

Mengapa dengan totalitas yang sedemikian rupa, negara Indonesia masih kerap kecolongan? Apa yang salah dari kinerja selama ini? Ini penting ditanyakan dan mesti segera dievaluasi. Untuk tujuan itu, sedikitnya tiga upaya bisa dilakukan. Pertama, pemerintah harus lebih tegas lagi. Sebagaimana dalam ulasan sebelumnya, perlu kerja kooperatif antarlembaga; misalnya antara Densus 88 dengan BNPT. Juga dengan instansi tertentu yang bisa jadi elemen kontra-radikalisasi.

Kedua, teroris harus dikawal ketat. Sudah ditangkap tetapi masih ditahan, seharusnya tiga teroris kemarin diborgol atau bahkan dikerangkeng. Tidak ada ampunan untuk para perusak negara. Adalah buruk jika toleransi yang diberikan negara Indonesia pada mereka ternyata dimanfaatkan untuk lakukan perlawanan. Cara paling efektif untuk membungkam teroris adalah membuatnya jera, melalui tindakan-tindakan tegas yang membuat mereka tidak lagi berani melawan.

Ketiga, masyarakat tidak boleh abai dengan ancaman terorisme. Kebanyakan orang tidak percaya bahwa teroris itu ada. Lebih parah lagi mereka tidak sadar bahwa propaganda teroris ada di tengah-tengah mereka sendiri. Akibatnya, teroris beraksi dengan lancar tanpa ada pelaporan. Seandainya literasi masyarakat tentang terorisme sangat mapan, teroris tidak akan punya peluang. Apalagi masyarakat dunia maya; netizen. Mereka yang abai sejatinya menyumbang maraknya terorisme.

Baca Juga  Besarnya Pahala Silaturahmi Setelah Lebaran

Akan Datang Teroris Lainnya?

Setelah peristiwa kemarin, orang-orang yang selama ini menyembunyikan jiwa terorisnya mungkin merasa sesumbar: betapa rapuhnya negara kita, Indonesia, menghadapai ancaman terorisme. Setelah itu, teroris-teroris lain dari luar negeri mungkin juga akan menjajaki negara ini dengan cara yang lebih strategis dan propaganda yang lebih halus. Namun tujuannya jelas, menjadikan Indonesia—negeri yang majemuk—sebagai teritori baru dunia terorisme.

Karenanya, penting untuk diinvestigasi tuntas tentang jaringan kelompok KTJ melalui para teroris yang tertangkap kemarin. Apakah jenis mereka masih ada di daerah-daerah lain di Indonesia, atau apa saja agenda global mereka tentang terorisme. Seperti diketahui, mereka berafiliasi dengan Al-Qaeda yang dalam buku Manajemen Chaos-nya Abu Bakar Naji, menargetkan Indonesia dalam peta global terorisme. Kekacauan (chaos) sedang mereka upayakan untuk negara ini.

Dengan demikian, mulai sekarang, sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus lebih tegas lagi dalam pemberantasan terorisme. Pendekatan lunak dan cara-cara persuasif memang harus dilakukan, tetapi tidak boleh sampai membuat teroris melihat negara ini sebagai negara yang lembek—mudah disiasati untuk jadi sarang teroris. Jika Indonesia terlalu permisif, teroris-teroris lainnya akan segera hadir. Mereka akan mukim di Indonesia karena memang negara ini selalu jadi sasaran empuk teror.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *