Jalanhijrah.com- Ujian kebangsaan kian berat. Hal ini wajar seiring dengan perkembangan kemajuan bangsa. Ada faktor eksternal dan internal yang turut memengaruhi dinamikanya. Kebhinnekaan dan kekayaan alam Indonesia menjadi modal sekaligus incaran kapital. Kunci mengoptimalkan modal dan meminimalisir serangan kapital adalah dengan terus membangun harmoni berbangsa melalui kehidupan yang penuh toleransi dan damai.
Selain berpikir bagi diri sendiri, Indonesia telah diletakkan oleh founding father agar berkiprah global di garda terdepan. Salah satunya melalui upaya membangun perdamaian global. Perdamaian yang abadi merupakan cita-cita sekaligus amanat konstitusi. “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia…”. Demikian bunyi potongan pembukaan UUD NKRI 1945.
Tantangan perwujudan perdamaian semakin kompleks seiring perkembangan zaman. Keberagaman dan singgungan menjadi keniscayaan. Iklim yang toleran menjadi medan uji yang berat. Kebhinekaan Indonesia dapat tampil menjadi teladan peradaban dengan catatan mampu menunjukkan bukti-bukti hadirnya toleransi yang berkelanjutan.
Arus globalisasi tidak mungkin terhindarkan. Terorisme dan radikalisme manjadi momok yang menakutkan. Konflik berkepanjangan masih melanda banyak negara. Bahkan konon semakin subur seiring kompetisi geo-ekonomi menguasai lokasi strategis serta geopolitik demi lancarnya tata niaga persenjataan. Amanat konstitusi terkait perdamaian dunia dengan iklim toleran penting terus digelorakan dalam kancah peradaban global.
Dinamika Kebhinnekaan
Ribuan etnis, bahasa, golongan, dan kelompok hidup di Indonesia. Hal ini menjadi potensi sekaligus tantangan bagi khasanah Nusantara. Manajemen yang baik akan menguatkan kebangsaan dan berpotensi mengantarkan Indonesia menjadi pemimpin peradaban global yang menjunjung harmoni dan toleransi.
Faktanya konflik masih menghantui perjalanan bangsa ini. Periode terbanyak adalah 1997-2004, di mana terjadi 3.600 kali konflik dengan jumlah korban 10.000 orang lebih. Data tahun 2014 menunjukkan permasalahan konflik yang bersumber oleh poleksosbud berjumlah 68 kasus, perseteruan SARA 1 kasus, dan sengketa SDA/Lahan 14 kasus.
Andreas (2017) memaparkan bahwa konflik horizontal lebih dipengaruhi oleh politik penguasa ketimbang faktor etnis atau SARA. Berkaitan dengan Penyebab sumber konflik disampaikan sedikitnya karena empat hal. Pertama, perbedaan akses terhadap sumber-sumber ekonomi yaitu pengaturan lahan, hutan, mineral, pasar dan distribusi, bank, kesempatan berkuasa, pengangguran, kemiskinan dan perlindungan politik.
Kedua, pengaturan perluasan batas-batas budaya seperti bahasa, pemukiman, simbol publik, upacara publik, pakaian, kesenian, etika dan kebiasaan-kebiasaan daerah. Ketiga, pertentangan ideologi, politik dan agama dimana agama muncul dalam bentuk ideologi atau politik, budaya atau kelompok etnis, atau akses untuk memonopoli ekonomi.
Keempat, ketidakberesan penyelenggaraan negara seperti anti demokrasi, KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), ketidakadilan, penguasaan alat produksi oleh elit, pelanggaran HAM, tindakan ekstra judicial, privilege (keistimewaan, perlakuan spesial) bagi kaum elit, dan impunitas.
Faktor ketimpangan juga dapat menimbulkan intoleransi yang bisa memicu konflik sosial. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka gini ratio pada 2016 mengalami penurunan. Tercatat tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh gini ratio sebesar 0,394 di September 2016. Angka itu mengalami penurunan 0,003 poin bila dibandingkan dengan gini ratio pada Maret 2016 yang sebesar 0,397. Meskipun menurun, namun tetap berpotensi menimbulkan konflik.
Narasi Konstruktif
Intolerasi dan kerawanan konflik menuntut adanya upaya penanganan yang komprehensif dan sistematis. Penanganan Konflik Sosial menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2012 adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.
Salah satu konsekuensi yang harus dipenuhi dalam penanganan intoleransi dan konflik serta perwujudan perdamaian adalah kerja sama atau sinergi lintas lini. Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam fasilitas dan koordinasi. Banyak instutusi telah berdiri dan memiliki tupoksi terkait penanganan konflik, terorisme, dan radikalisme. Antara lain Kementerian Sosial, Kepolisian, TNI, Densus 88, BNPT, dan lainnya.
Langkah mencapai harmoni, toleransi dan perdamaian tidak cukup menyelesaikan hilir masalah, namun mesti menyentuh hulu atau akarnya. Dengan demikian butuh kersajama seluruh institusi, di mana pemerintah mesti memberikan jaminan yang dapat dirasakan semua lapisan.
Kontribusi kerja sama membutuhkan sektor publik. Antara lain ada ormas, lembaga adat atau budaya, LSM, dan lainnya. Kelompok-kelompok ini yang memiliki basis massa dan berpengaruh terhadap mereka. Elite masing-masing kelompok penting dirangkul dan intens diajak bersinergi. Jalur musyawarah penting diprioritaskan setiap muncul bibit masalah.
Peta jalan yang komprehensif dan sistematis penting dimiliki dan konsisten dijalankan dalam upaya mewujudkan perdamaian abadi. Indonesia mesti berani dan percaya diri tampil terdepan dalam persaturan global. Potensi keberagaman dan pengalaman dalam negeri terkait resolusi konflik dapat ditularkan dan menjadi model percontohan menuju perdamaian dunia.
Narasi konstruktif menuju Indonesia harmoni dan peradaban dunia yang damai mesti menjadi asa dan misi semua pihak. Susah payah pejuang dan pahlawan mencapai kemerdekaan. Tanggung jawab kita adalah mempertahankan dan mengisinya dengan iklim toleransi, kedamaian dan kemajuan yang membanggakan.