Jalanhijrah.com-Alkisah dalam sebuah majelis ilmu, ada seorang guru yang memiliki tiga murid buta. Ketiganya mengalami proses yang sama dalam mengikuti kegiatan pembelajaran pada setiap materi yang disampaikan oleh guru. Suatu hari, ketiga-tiganya mengikut ujian, seperti apa yang diarahkan oleh guru. Dalam kondisi buta, sang guru mengajak ketiganya ke kebun binatang.
Sesampainya di kebun binatang, mereka berhenti pada seekor gajah. Sang guru menyuruh mereka untuk menggambarkan hewan gajah. Dalam kondisi buta tersebut, tentu kita bisa membayangkan bagaimana cara mereka mencari tahu untuk menggambarkan sosok gajah dengan cermat.
Sayangnya, mereka hanya berkutat pada satu aspek yang mereka pilih. Anggap saja seperti ini. si A, sedang berada di kaki gajah, si B berada di bawah perut gajah, sedangkan si C berada di kepala gajah. Sang guru sudah memperingatkan kepada ketiganya tentang proses pencarian yang sudah dilakukan. Akhirnya mereka sudah sepakat dengan jawaban yang dimiliki.
Dengan posisi seperti sebelumnya. Masing-masing dari ketiganya menggambarkan bentuk gajah. Akan tetapi, penggambaran tersebut sangat tidak sempurna, sebab apa yang disampaikan oleh mereka hanya sebagian dari bentuk gajah yang sebenarnya. Ketiganya keukeuh dengan jawaban yang dimiliki. Tanpa mencari tahu lebih lanjut, akhirnya sang guru menunjukkan kepada ketiganya bagaimana bentuk gajah yang ada di depan mereka.
Setiap orang adalah pencari ilmu
Dalam hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224)
Hadis ini menjadi sebuah bukti bahwa kewajiban menuntut ilmu ini tidak terbatas pada usi, jenis kelamin, status sosial, dll. Sehingga jati diri sebenarnya setiap orang adalah pencari ilmu.
Merasa kosong dalam pengetahuan yang dimiliki, serta terus semangat mencari ilmu menjadi titik tekan tulisan ini.
Memposisikan diri sebagai gelas kosong menjadi alternatif utuh dalam melihat segala aspek kehidupan. Sebab hal ini menuntut kita sebagai manusia untuk selalu mencari tahu tentang kebenaran dengan melihat berbagai perspektif yang ada.
Tidak mudah tergerus dengan berbagai informasi yang ada seperti hari ini, misalnya, menjadi salah satu upaya yang harus terus diikhtiarkan. Ditengah arus informasi dan pengetahuan yang melimpah ruah, sikap untuk terus mencari ilmu menjadi posisi bijak yang harus dimiliki oleh setiap orang. Kisah tiga si buat adalah peringatan keras kepada kita sebagai pencari ilmu untuk tidak merasa puas dengan hasil apapun, serta terus mencari pengetahuan-pengetahuan baru.
Kesalahan sibuta diatas adalah cepat puas dengan pencapaian, tidak memberi kesempatan dirinya untuk menempa diri dan terus belajar, serta melakukan berbagai hal yang seharusnya dilakukan seorang pembelajar. Kesalahan lainnya adalah tidak menerima pendapat temannya yang berbeda, dan hanya menganggap pendapat dirinyalah yang paling benar. Penyakit “merasa paling benar” ini adalah masalah besar.
Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin baru menuntut kita untuk semakin upgrade diri agar tidak ketinggalan informasi dan ilmu yang sudah semakin baru. Sehingga berdasarkan kemampuan itu, kita tidak mudah menyalahkan pengetahuan orang lain yang baru, dan belum pernah kita dapatkan sebelumnya.
Fenomena orang sok tahu yang semakin marak
Cerita tiga sibuta diatas, jika dilihat dalam konteks saat ini, banyak sekali diantara kita yang merasa paling tahu. Merasa sudah mengetahui banyak hal. Padahal, pengetahuan yang dimiliki baru seberapa. Pada persoalan keagamaan, khususnya.
Banyak sekali orang yang merasa sudah paling tahu tentang pengetahuan agama, tanpa menelaah lebih jauh perspektif orang lain, kitab lain bahkan para ulama lain untuk membandingkan pengetahuan yang dimiliki.
Akhirnya, sikap yang ditunjukkan justru begitu reaktif, bahkan sampai jauh dari sikap kemanusiaan pada umunya. Cenderung marah-marah dan merasa terancam ketika ada orang yang berbeda dengan pemikiran yang dimilikinya. Padahal, setiap pemikiran yang berbeda dalam memahami agama juga menjadi sebuah kewajaran yang harus dipahami.
Lebih khususnya, tidak menciderai orang lain dengan landasan agama dan dalil-dalil yang dijadikan kambing hitam seperti biasa dilakukan oleh orang-orang yang sok tahu dan kuantitasnya semakin hari semakin bertambah. Lalu, apakah kita mau menjadi sibuta atau jangan-jangan kita seperti sibuta diatas? Wallahu a’lam