Khilafah Hanya Khayalan Bagi Indonesia

Jalanhijrah.com – Konsepsi khilafah terutama di Indonesia pada prinsipnya masih debatable. Bagaimanapun juga konsepsi khilafah lahir dari ijtihad pendirinya yaitu,Taqiyuddin An-Nabani terhadap nash-nash. Seperti munculnya berbagai mazhab fiqih, teologi, dan filsafat Islam, misalnya, menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam itu multiinterpretatif. Corak multiinterpretatif ini telah berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam dalam sejarah.

Selebihnya, hal yang demikian itu juga mengisyaratkan keharusan pluralisme dalam tradisi Islam. Karena itu, sebagaimana telah dikatakan oleh banyak pihak, Islam tidak bisa dan tidak seharusnya dilihat secara monolitik. Klaim bahwa khalifah merupakan negara Ilahiyah yang konsepsinya langsung dari Sang Pencipta melalui kitab, tidak serta merta menjadi solusi kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat.

Indonesia bangsa yang multikultural, multietnis dan multireligius, menjadi alasan kuat bahwa formalisasi syariat dalam wujud negara (baik dalam wujud negara Islam atau khilafah Islamiyah) bukan solusi terbaik. Penerapan Islam yang legalistik dan formalistik, karena kecenderungan eksklusifnya, dinilai dapat memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam sebuah masyarakat yang secara sosial-keagamaan dan kultural bersifat heterogen.

Justru yang dibutuhkan adalah pandangan mengenai Islam yang substansialistik, yakni yang menomorsatukan keadilan, kesamaan, partisipasi dan musyawarah. Ini yang dapat memberi landasan yang penting bagi pengembangan sintesis yang pas antara Islam dan negara, dalam rangka membentuk kembali hubungan politik keduanya.

Dari argumentasi ini, dapat dimengerti bahwa wujud formalisasi syariat, negara Islam, dan khilafah Islamiyah, pada dasarnya lahir dari interpretasi penggagasnya terhadap teks yang ada. Dengan kenyataan ini, terdapat perbedaan pandangan dalam formalisasi syariat hingga penerapan syariat substansial dalam relasi Islam dan politik sangat mungkin terjadi.

Dalam konteks Indonesia, terjadinya konsensus untuk memilih negara bangsa ketimbang wujud formal negara Islam tidak serta merta dikatakan telah keluar dari Islam. Justru yang ada konsep negara bangsa, dengan sistem demokrasi yang dianut Indonesia tetap mengakomodir peran agama.

Bahkan Pancasila sebagai ideologi negara dinilai memuat unsur-unsur keislaman, kelima sila Pancasila tersebut secara berurutan adalah prinsip Syariah Islam, yakni al-tauhid (ketuhanan), al-musawah baina al-nas(kemanusian), al-ittihad wa al-ukhuwah (persatuan dan kesatuan), al-syura(permusyawaratan), dan al-adalah (keadilan). Dari sini, sudah semakin ditegaskan kalau Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sikap meragukan atau menolak Pancasila bisa dianggap menolak ajaran-ajaran luhur Islam.

Ini sekaligus sebagai penjelas bagi konsepsi yang menentang, bahwa yang mereka tawarkan untuk Indonesia hanya akan menjadi gagasan utopia. Sistem negara bangsa (nation state) adalah sebuah sistem politik kenegaraan yang lebih berdasarkan pada kesamaan bangsa bukan berdasarkan kesamaan agama. Sistem negara bangsa juga ditandai dengan adanya batas geografis dan territorial.

Inilah yang membedakan dengan sistem khilafah mengenal batas-batas geografis dan territorial. Terlepas dari itu, bagaimanapun pemerintah dan masyarakat sebagai produser kebijakan-kebijakan semestinya memiliki keberanian tegas untuk tidak berkompromi dengan kekuatan manapun yang mencoba menghambat konsolidasi demokrasi.

Utopis bagi Indonesia

Indonesia dalam hal hubungan Islam politik dengan negara, telah terjalin pertautan yang unik, karena terjadi kompromi. Ini terjadi karena upaya membenturkan Islam politik dengan negara justru mengalami jalan buntu.

Baik rezim Soekarno maupun Preseden Suharto memandang partai-partai politik yang berlandasrkan Islam sebagai kekuatan pesaing potensial yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Terutama karena alasan ini, sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintah keras berupaya untuk melemahkan dan menjinakkan partai-partai Islam.

Baca Juga  Bagaimana Hukum Menerima Uang dari Partai?

Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelang Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an (dalam perdebatan-perdebatan Majelis Konstituante mengenai masa depan konstitusi Indonesia), tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali disebut kelompok minoritas.

Pendek kata, seperti telah dikemukakan para pengamat lain, Islam politik telah berhasil dikalahkan, baik secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilihan umum maupun secara simbolik. Yang menyedihkan, Islam politik seringkali menjadi sasaran tembak ketidakpercayaan, dicurigai menentang ideologi negara Pancasila.

Belajar dari perjalanan bangsa tersebut, sangat mungkin konsepsi khilafah akan tetap menemui jalan buntu, bahkan lebih dari itu hanya akan menjadi gagasan utopis untuk Indonesia. Sebab, gerakan Hizbut Tahrir yang akan membangun kembali sistem khilafah al-Islamiyah itu tidak berada dalam ruang hampa.

Di Indonesia, HTI hadir di dalam ruang negara bangsa yang telah mempunyai konsepsi Pancasila sebagai basis ideologisnya, yang disatu sisi sebagai sebuah bangsa Indonesia mengharuskan Nasionalisme dan demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya. Ini telah menjadi konsensus para founding father.

Kenyataan ini jelas akan berseberangan. Sebab HTI dalam khitah penegakan khilafahnya tidak pernah mau berkompromi bahkan mengharamkan demokrasi, nasionalisme, patriotisme, dan Pancasila. Sehingga kalaupun HTImemaksakan konsepsi khilafahnya kemungkinan terjadinya konflik ideologi yang tidak dapat dihindari.

Pun juga HTI akan berhadapan dengan dua sayap besar umat Islam Indonesia yakni, NU dan Muhammadiyah yang punya jasa besar dalam kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah, serta telah sejak awal bekerja keras untuk mengembangkan sebuah Islam yang ramah toleran dan moderat terhadap siapa saja, bahkan terhadap kaum tidak beriman sekalipun selama semua pihak saling menghormati perbedaan pandangan.

Kedua ormas ini lebih menekankan kepada agama sebagai inspirasi bukan sebagai aspirasi, yang melahirkan pemaknaan keagamaan yang substansial bukan yang menekankan legal-formal dalam wujud negara.

Kesadaran menjadikan Indonesia sebagai negara bangsa ini, tidak hadir begitu saja, melainkan adalah buah pahit getir pengalaman sejarah Nusantara sendiri. Dialog terus menerus antara Islam sebagai perangkat ajaran agama dengan nasionalisme yang berakar kuat dalam pengalaman bangsa Indonesia, telah menegaskan kesadaran bahwa negara bangsa yang mengakui dan melindungi beragam keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia merupakan pilihan tepat bagi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pilihan ini merupakan bentuk final dan konsensus nasional bangunan kebangsaan kita, bukanlah sikap oportunisme politik melainkan kesadaran sejati yang didasarkan pada realitas historis, budaya, dan tradisi bangsa kita sendiri serta substansi ajaran agama yang diyakini kebenarannya.

Para pendiri bangsa sadar bahwa di dalam pancasila tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip dalam pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai maqasid al-syari’ah, yaitu kemaslahatan umum (al-mashlahat al-ammah).

Dengan kesadaran demikian, mereka menolak pendirian atau formalisasi agama dan menekankan substansinya. Mereka memosisikan negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, budaya dan tradisi bangsa Indonesia.

Gus Dur menegaskan bahwa jika Islam diubah menjadi ideologi politik, ia akan menjadi sempit karena dibingkai dengan batasan ideologis dan platform politik. Pemahaman apapun yang berbeda apalagi bertentangan dengan pemahaman mereka, dengan mudah akan dituduh bertentangan dengan Islam itu sendiri, karena watak dasar tafsir ideologi memang bersifat menguasai dan menyeragamkan.

Baca Juga  Pengkhianatan Pancasila: Indonesia Diprank Ustaz Abu Bakar Ba’asyir?

Dalam bingkai inilah, aksi-aksi pengafiran maupun pemurtadan sering dan mudah dituduhkan terhadap orang atau pihak lain. Perubahan ini dengan jelas mereduksi, mengamputasi, dan mengebiri pesan-pesan luhur Islam dari agama yang penuh dengan kasih sayang dan toleran menjadi seperangkat batasan ideologis yang sempit dan kaku.

Kelemahan pokok para penganut formalisasi syariat dalam bentuk negara adalah, mereka tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa Islam adalah sebuah agama yang multiinterpretatif, membuka kemungkinan kepada banyak penafsiran mengenainya. Meskipun pada tingkat yang paling umum hanya ada satu Islam, bentuk dan ekspresinya beragam, dari satu individu Muslim ke individu Muslim lainnya.

Karena itu, bisa dipahami jika model teoretis di atas tidak bisa menjelaskan kenyataan bahwa banyak santri yang tidak saja bergabung dengan pengelompokan-pengelompokan politik non-Islam, melainkan juga menolak agenda-agenda politik rekan-rekan mereka sesama Muslim yang bergabung dengan partai-partai Islam.

Gagasan-gagasan formalisasi Islam dalam kehidupan bernegara, dalam banyak konteks sebenarnya bersifat utopis, karena tidak saja karena pendekatan mono-religius tidak sejalan dengan karakter politik bangsa Indonesia, tetapi juga karena sejumlah gagasan itu miskin kontekstualisasi dan sama sekali tidak mempertimbangkan faktor-faktor sosiologis masyarakat Indonesia. Sehingga lebih nampak sebagai utopia daripada visi yang realistis.

Fenomena kegagalan Islam Politik, tampaknya, bukan kekhasan Indonesia. Penggulingan Presiden Mesir Mohammad Mursi, tokoh Ikhawanul Muslimin, pada 1 Juli 2013 menjadi contoh menarik. Selama 1 tahun berkuasa, pemerintahannya terjebak pada nalar syariatik, yakni mengganti Konstitusi lama dengan Konstitusi Syariah.

Padahal, bukan Syariah yang menjadi jawaban krisis multidimensional pasca penggulingan Presiden Husni Mubarak dua tahun lalu. Kebijakan-kebijakan Morsi yang syariatik dijawab oleh ketidakpuasan rakyat dengan kudeta militer.

Di samping itu, masih cukup dominan kalangan Muslim berpandangan bahwa, Islam tidak mengemukakan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalan oleh ummah. Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim, karena logika tentang kecocokan agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar soal-soal yang selalu akan berubah oleh kekuatan evolusi, harus diserahkan kepada akal manusia untuk memikirkannya, dibentuk menurut kepentingan umum dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum yang telah digariskan agama ini.

Menurut aliran pemikiran ini, bahkan istilah negara pun tidak dapat ditemukan dalam al-Quran. Meskipun terdapat berbagai ungkapan dalam al-Quran yang merujuk atau seolah-olah merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, ungkapan-ungkapan ini tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. Bagi mereka jelas bahwa al-Quran bukanlah buku tentang ilmu politik.

Yang ada adalah bahwa al-Quran mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etisis, mengenai aktivitas sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan. Untuk itu, kalangan yang berpendapat demikian, sepanjang negara berpegang pada prinsip-prinsip seperti itu, maka mekanisme yang diterapkannya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.

Dengan argumentasi semacam ini, pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertian formal dan ideologis tidaklah sungguh-sungguh penting. Yang terpenting adalah bahwa negara menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu.

Jika demikian, maka tidak ada alasan teologis atau religious untuk menolak gagasan-gagasan politik mengenai kedaulatan rakyat, negara-bangsa sebagai unit wilayah yang sah, dan prinsip-prinsip umum teori politik modern lainnya. Dengan kata lain, sesungguhnya tidak ada landasan yang kuat untuk meletakkan Islam dalam posisi yang bertentangan dengan sistem politik modern.

Baca Juga  Mengadopsi Gaya Radikalisme untuk Memberantas Radikalisme Itu Sendiri

Sebagaimana kalangan pengusung formalisasi syariat lainnya, pada dasarnya muncul karena melihat kegagalan umat Islam. Tepatnya pada pertengahan abad ke-19, umat Islam diliputi oleh rasa rendah diri atau, karena kondisi ini mereka berusaha untuk mengadakan konpensasi atau melarikan diri dengan bermacam-macam cara. Di antaranya adalah dengan mengingat kejayaan-kejayaan Islam dan peninggalan nenek moyang, yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan adab al-fakhir wa al-tamjid (sastra kebanggaan dan kejayaan).

Akibatnya berdampak dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat Islam yang sangat besar dalam menafsirkan al-Quran. Ada juga pandangan karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu. Golongan formalisasi syariat ini mencari dalil-dalil agama untuk menghibur diri dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar.

Jika sekadar menghibur, barangkali tidak akan menimbulkan banyak masalah. Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas melalui berbagai cara. Maka benturan dengan golongan Muslim yang tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari.

Apa yang menjadi landasan Hibut Tahrir menegakkan khilafah pun dalam konteks ini masih debatable, karena biar bagaimanapun konsepsi yang dibangun Hizbut Tahrir lahir dari ijtihad pendirinya terhadap nash al-Quran.

Dibanding dengan ormas yang telah lama berdiri di Indonesia, Hizbut Tahrir belum memberikan kontribusi yang berarti bagi bangsa, bahkan justru gagal mentransformasikan nalar syariatik dalam sistem dan institusi politik yang lebih baik, karena masih terjebak pada konsepsi fikih abad pertengahan Islam. Ini memperkuat argumentasi bahwa menjadi formalisasi syariat tidak sepenuh menjadi solusi.

Meski begitu, harus diakui juga bahwa memang demokrasi di Indonesia belum berjalan sebagaimana mestinya. Hadirnya kalangan fundamentalis, disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi yang masih menggurita adalah bukti nyata dari kegagalan itu. Semua orang mengakui kenyataan pahit ini.

Namun, karena pengetahuan golongan fundamentalis ini sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana, maka mereka mengambil jalan pintas bagi tegaknya keadilan, dalam hal ini melaksanakan syariat Islam melalui kekuasaan. Jika secara nasional belum mungkin, maka diupayakan melalui Peraturan Daerah.

Dibayangkan dengan pelaksanaan syariah ini, Tuhan akan meridai Indonesia. Sebenarnya ekspresi-ekspresi seperti itu di dorong oleh niat yang tulus, namun tidak dapat dipungkiri bahwa semuanya itu kurang dipikirkan secara matang dan pada kenyataannya lebih bersifat apologetik.

Anehnya, semua kelompok fundamentalis ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga negara yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya. Fakta ini dengan sendirinya membeberkan satu hal; bagi mereka bentrokan antara teori dan praktik tidak menjadi persoalan. Dalam ungkapan lain, yang terbaca di sini adalah ketidakjujuran dalam berpolitik secara teori demokrasi diharamkan, dalam praktik digunakan, demi tercapainya tujuan.

Masalah Indonesia, bangsa muslim terbesar di muka bumi, tidak mungkin dipecah oleh otak-otak sederhana yang memilih jalan pintas. Kadang-kadang dalam bentuk kekerasan. Penulis sadar bahwa demokrasi yang sedang dijalankan sekarang ini di Indonesia sama sekali belum sehat, dan jika tidak cepat dibenahi, bisa menjadi sumber malapetaka buat sementara.

Tetapi untuk jangka panjang, tidak ada pilihan lain, kecuali melalui sistem demokrasi yang sehat dan kuat, Islam moderat dan inklusif akan tetap membimbing Indonesia untuk mencapai tujuan kemerdekaan.

Advertisements

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *