Menu

Mode Gelap

Milenial · 6 Feb 2023 12:00 WIB ·

Keteladanan Imam Laits bin Saad


					Keteladanan Imam Laits bin Saad Perbesar

Jalanhijrah.com- Nama lengkapnya adalah Abu Harits al-Laits bin Saad bin Abdurrahman. Ia lahir pada Sya’ban 94 H di kampung Qalqasyandah, sekitar sepuluh kilometer dari Kairo, Mesir. Ia adalah seorang ulama besar, ahli fikih terkemuka, dan perawi hadis tepercaya yang hidup pada masa kekuasaan Bani Umayyah.

Sejak kecil Laits bin Saad sudah hapal Al-Qur’an serta banyak hadis dan syair-syair Arab. Al-Laits banyak belajar di masjid agung di Kota al-Fusthath (Masjid Amru bin al-Ash). Di masjid itu para pencari ilmu dapat mempelajari berbagai jenis ilmu seperti tafsir Al-Qur’an, ilmu hadis, fikih, bahasa Arab, sastra, sejarah, dan lain sebagainya.

Laits bin Saad juga mengadakan rihlah ilmiah ke Irak dan daratan Hijaz. Gurunya dari kalangan tâbiin sangat banyak. Al-Mizzi menyebutkan sekitar 80 guru. Muridnya yang terkemuka mencapai lebih 70 orang.

Sebagian besar dari muridnya kelak menjadi guru-guru Imam Ahmad, seperti Ibnul Mubarak dan Ibnu Wahab. Sebagian lagi menjadi guru Imam al-Bukhari, seperti Yahya bin Bukair. Yang lain menjadi guru Imam Muslim, seperti Yahya bin Yahya at-Tamimi. Imam al-Bukhari dan Muslim banyak meriwayatkan hadis dari Imam al-Laits. Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafii, Sufyan ats-Tsauri, al-Ijli dan kebanyakan ulama menganggap Imam al-Laits tsiqah.

Para ulama telah menetapkan bahwa sanad paling sahih di Mesir adalah yang diriwayatkan Imam al-Laits bin Saad, dari Yazid bin Abi Habib. Imam al-Laits dikenal sebagai salah satu mujtahid besar di bidang fikih yang pemikirannya sangat cemerlang. Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang fakih dan muhaddits kenamaan yang hidup pada generasi sesudahnya, memberikan penghormatan dan pengakuan atas keilmuan Imam al-Laits. “Ilmu para Tâbi’în yang berasal dari Mesir telah habis diserap oleh al-Laits,” kata Ibnu Hajar.

Baca Juga  Resolusi 2022: Menyalakan Konten Toleransi, Menghapus Konten Intoleransi

Karena kefakihannya, Imam Malik bahkan sering menanyakan berbagai persoalan kepada Imam Laits bin Saad.

Jejak Pemikiran Imam Laits bin Saad

Sekalipun tidak meninggalkan satu pun karya tulis, pemikiran Imam al-Laits sebenarnya masih bisa dilacak hingga saat ini. Pasalnya, banyak ulama fikih dari generasi sesudahnya yang sering menukil pendapatnya dalam kitab-kitab mereka.

Di antara kitab yang memuat petikan pemikiran Imam al-Laits adalah Al-Mughni (kitab fikih mazhab Hanbali yang disusun oleh Ibnu Qudamah), Al-Muhalla (kitab fikih mazhab azh-Zhahiri yang dikarang Ibnu Hazm) dan Bidâyah al-Mujtahid (kitab fikih mazhab Maliki karya Ibnu Rusyd).

Imam al-Laits juga banyak meninggalkan jejak pemikiran dalam ilmu ushul fikih. Tentang ijmak, misalnya, Imam al-Laits berpendapat bahwa ijmak (konsensus) yang bisa dijadikan dalil hanyalah Ijmak Sahabat (Lihat: Khathib al-Baghdadi, Târîkh al-Baghdâd, 13/3, Adz-Dzahabi, Tadzkîrât al-Huffâzh, 1/207).

Terkait keilmuan Imam al-Laits, Imam an-Nawawi berkomentar, “Semua orang sepakat akan keagungan Imam Laits; termasuk sifat amanahnya dan ketinggian derajatnya dalam fikih dan hadis.” Bahkan, Ibn Wahab berkata, “Andai tidak ada Imam Malik dan Imam al-Laits, tentu manusia akan tersesat.”

Imam asy-Syafii bahkan menilai Imam al-Laits lebih fakih daripada Imam Malik. Hanya saja, kata Imam asy-Syafii, karena kekurangsigapan murid-muridnya untuk membukukan pemikirannya, mazhab al-Laits bin Saad akhirnya lenyap (An-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât, 2/73).

Baca Juga  Ummul Khair binti Al-Huraisy, Pemilik Kata Indah yang Berani

Imam Laits, Pengusaha yang Dermawan

Selain seorang ulama besar, Imam al-Laits juga termasuk pengusaha sukses yang amat dermawan. Karena itu, meski menjadi pengusaha sukses, Imam al-Laits tidak pernah menjadi kaya-raya sehingga tidak pernah membayar zakat. Mengapa? Muhammad bin Ramh menceritakan, “Setiap tahun omset bisnis Imam al-Laits lebih dari 80.000 dinar (sekitar Rp240 miliar/tahun). Namun, beliau tidak pernah membayar zakat. Pasalnya, sebelum mencapai satu tahun (haul), hartanya sudah habis ia infakkan dan sedekahkan. Begitu seterusnya.” (An-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât, 2/73).

Qutaibah bin Said menuturkan bahwa Imam al-Laits selalu bersedekah setiap hari untuk 300 fakir miskin. Imam Laits juga gemar bersedekah kepada para ulama, salah satunya Imam Malik. Setiap tahun ia biasa mengirim hadiah sebanyak 100 dinar (sekitar Rp300 juta) untuk Imam Malik. Suatu saat, Imam Malik menulis surat kepada Imam Laits bahwa ia memiliki utang yang harus dilunasi. Segera Imam Laits membalas surat Imam Malik sambil memberikan secara cuma-cuma uang sebanyak 500 dinar atau sekitar Rp1,5 miliar (Al-Jâmi’ fî Rasâ’il ad-Da’wiyyah, 128-129).

Yahya bin Bakr, berkata: Aku pernah mendengar ayahku berkata, “Al-Laits pernah mengutus tiga orang untuk menyedekahkan hartanya sebanyak 3.000 dinar (sekitar Rp9 miliar) kepada tiga orang, masing-masing mendapatkan 1000 dinar (sekitar Rp3 miliar), yaitu: Ibnu Luhai’ah, Malik bin Anas dan Qadhi Manshur bin Ammar.” Suatu ketika ada seorang wanita miskin meminta kepada sang Imam madu alakadarnya untuk pengobatan anaknya yang sedang sakit. Saat itu Imam al-Laits malah memberi wanita itu 120 liter madu.

Baca Juga  Mewaspadai Provokasi Kelompok Radikal Atas Naiknya Harga Barang

Saat pergi haji, Imam al-Laits singgah di Madinah. Saat itu Imam Malik mengirim beberapa lembar roti basah dari gandum di atas nampan. Setelah menyantap habis hidangan itu, Imam al-Laits lalu mengembalikan nampan tersebut dengan menaruh uang di atasnya sebanyak 1000 dinar (sekitar Rp3 miliar) sebagai hadiah untuk Imam Malik.

Pada suatu ketika, Khalifah Harun ar-Rasyid memberi Imam Malik uang sebanyak 500 dinar (sekitar Rp1,5 miliar). Mengetahui itu, Imam Laits tidak mau kalah. Ia kembali memberi hadiah Imam Malik berupa uang dengan jumlah dua kali lipat, yakni 1.000 dinar (sekitar Rp3 miliar) (Al-Irbili, Wafayât al-‘Ayân wa Anbâ’ Abnâ’ az-Zamân, 4/10).

Ibn Miskin menuturkan bahwa Imam al-Laits sempat dibawa oleh Khalifah al-Ma’mun ke Baghdad dan dipenjarakan di sana. Pasalnya, ia tidak mau memenuhi tuntutan Khalifah al-Ma’mun untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Imam al-Laits tetap dipenjara hingga Ja’far al-Mutawakkil naik takhta.

Sejak itulah ia baru dibebaskan (Al-Irbili, Wafiyât al-‘Ayân wa Anbâ’ Abnâ’ az-Zamân, 2/56). Imam al-Laits wafat sekitar tahun 175 H. Terkait wafatnya Imam al-Laits, Imam Syafii pernah berdiri di sisi kuburannya seraya berkata, “Demi Allah, wahai Imam, engkau telah mengumpulkan empat sifat yang tidak dimiliki ulama lainnya: ilmu, amal, zuhud dan kedermawanan.” (Lihat: Khathib al-Baghdadi, Târîkh al-Baghdâd, 13/3; Adz-Dzahabi, Tadzkirât al-Huffâzh, 1/207). Wa ma tawfiqi illa bilLah.

Penulis

 

Artikel ini telah dibaca 20 kali

Baca Lainnya

Tantangan dan Solusi Menangkal Radikalisme di Indonesia

31 Maret 2023 - 15:00 WIB

Tantangan dan Solusi Menangkal Radikalisme di Indonesia

Gagalnya U-20 di NKRI: Bukti Kedaulatan atau Menangnya Radikalisme?

31 Maret 2023 - 12:21 WIB

Gagalnya U-20 di NKRI: Bukti Kedaulatan atau Menangnya Radikalisme?

Menelaah Keislaman Bangsa Indonesia Menjelang Tahun Pemilu

30 Maret 2023 - 12:00 WIB

Menelaah Keislaman Bangsa Indonesia Menjelang Tahun Pemilu

Ketika Nafsu Tegakkan Khilafah Menghilangkan Pahala Puasa

29 Maret 2023 - 15:00 WIB

Ketika Nafsu Tegakkan Khilafah Menghilangkan Pahala Puasa

Kelas Menengah Muslim dan Kebangkitan Simbol Islam Indonesia

29 Maret 2023 - 10:00 WIB

Kelas Menengah Muslim dan Kebangkitan Simbol Islam Indonesia

Mengantisipasi Partai Teroris, Mencegah Ancaman untuk NKRI

28 Maret 2023 - 15:00 WIB

Mengantisipasi Partai Teroris, Mencegah Ancaman untuk NKRI
Trending di Milenial