Jalanhijrah.com – Saya bersama kisah-kisah pilu perempuan, dihadapkan pada kenyataan bahwa keadilan masih begitu mahal.
Saya bersama perasaan perempuan, belum selesai merintih, harus dihabisi oleh kebengisan yang pedih.
Saya bersama perempuan, yang ingin berteriak sekencang-kencangnya, menembus ruang kedap suara.
Berbicara tentang RUU PKS yang kini berubah menjadi RUU TPKS, menjadi banyak teringat dengan orang-orang yang kini sedang menyeret tubuhnya untuk tetap hidup. Mereka yang darahnya telah bersatu dengan tanah, meminta uluran tangan di tengah jalan trotoar. Melewati orang-orang yang lalu lalang, berteriak “Tolong! Tolong!” namun tak ada yang peduli dengannya.
Bukankah kejam dunia ini, kawan?
Banyak korban yang harus disalahkan ketika mereka sedang mencari perlindungan. Tak kurang dari mereka dihina sebagai perempuan yang “murahan”, laporannya dianggap sebagai sesuatu yang “mengada-ngada” karena tak ada bukti nyata, bahkan sampai ditutup dan tidak dilakukan adanya tindak lanjut penanganan.
Sebaliknya banyak pelaku yang didukung karena hukum rimba yang masih diterapkan di masyarakat. “Yang Kuat ialah yang Berkuasa” menjadi sebuah kalimat yang telah menancap dengan kuat dalam pikiran masyarakat patriarki. Merasa jika mereka memiliki jabatan, kekuasaan, serta kekuatan, akan bisa melakukan apapun. Maupun itu melakukan pemerkosaan dengan ancaman, pelecehan seksual, intimidasi, hingga pemaksaan aborsi.
Kisah ini memilukan, bukan?
Melihat kaca mata dalam tahun 2021 ini, sudah banyak kisah-kisah kekerasan seksual yang silih berganti memenuhi ruang media. Seperti kasus kekerasan seksual pada mahasiswa di UNSRI, kekerasan seksual pada anak panti asuhan di Malang, kasus pria yang perkosa adik ipar saat istri melahirkan di Aceh, kasus oknum ustaz yang memaksa santri membuka celana di bantul, pimpinan pondok pesantren yang cabuli lima santri wati di Lebak, dan berita yang terbaru adalah bunuh dirinya seorang perempuan korban perkosaan serta pemaksaan aborsi di Mojokerto. Masih ada puluhan bahkan ratusan kasus yang ada, baik yang telah terungkap di media, dalam tahap pelaporan, atau masih dalam bungkaman mulut korban, entah karena malu, takut, atau karena adanya ancaman tertentu.
Sudahkah kamu menemukan ruang aman, kawan?
Sampai kini saya masih bertanya, apakah lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) adalah benar-benar bisa disebut rumah aman? Sudah berapa banyak kisah lembaga tersebut masih banyak yang lamban dalam menangani laporan-laporan korban, ditarik ulur, kemudian tidak ditangani dengan selayaknya. Ini mengingatkan saya dengan tulisan di berita yang terjadi di tahun lalu, yakni tentang oknum petugas P2TP2A yang melakukan perkosaan serta menjual korban yang harusnya mendapatkan pelayanan rehabilitasi di Lampung Timur. Selain itu, hal ini juga terjadi pada kasus pemerkosaan tiga anak anak oleh ayah kandung di Luwu Timur. Yakni ketika ibunya sendiri melaporkan kronologi kejadian ke pihak P2TP2A Luwu Timur, bukan memberikan penanganan, mereka bahkan menghubungi ayah korban yang merupakan PNS untuk datang ke kantor dan alih-alih melindungi korban.
Bukan berarti di sini saya merendahkan bagaimana usaha P2TP2A, namun perihal pelaporan, tentunya bukanlah sebatas guyonan atau angin lewat semata. Kasus harus diusut hingga tuntas. Harus diberi hak atas kelayakan, keamanan, kenyamanan, juga perlindungan akan masalah yang diadukan. Bukan untuk disalahgunakan, ditangani seadanya, dan sekedarnya saja.
Lalu dimanakah bisa menemukan ruang aman?
Tak ada ruang aman di sini, dan takkan pernah ada hingga kita yang bisa menciptakannya sendiri. Mau di keluarga? Sudah seambrek kasus kekerasan seksual terjadi dan pelakunya dilakukan oleh anggota keluarga sendiri. Mau pada lingkungan teman? Sebaik apapun teman tak menjamin amannya dari kekerasan seksual. Lalu dimana? Tentu kembali lagi, yakni kepada diri sendiri.
Untuk menjadi lingkungan pertemanan dan keluarga yang aman serta nyaman, tentu saja bukanlah hal yang mudah. Perlu usaha untuk membentuk pribadi dan mengajak orang lain dalam bekerja sama menggusur hukum rimba sejauh-jauhnya, mengubur pikiran-pikiran patriarki serta misogini sedalam-dalamnya.
Takkan mudah, sungguh! Pikiran-pikiran yang telah melekat secara turun menurun telah mendarah daging dan begitu sulit untuk disayati meskipun sedikit demi sedikit. Tapi diam saja tentu bukanlah sebuah solusi. Keyakinan harus tetap ditanamkan. Dobrakan-dobrakan harus tetap dilakukan. dan keadilan harus tetap diperjuangkan.
Setiap perempuan butuh kebebasan dalam bergerak, lepas dari segala ancaman, keluar dari penjara penuh kecaman. Setiap perempuan butuh bernapas untuk menghidupi badan. Setiap perempuan membutuhkan kasih sayang untuk menghidupi perasaan. Tragisnya, terkadang keadaan telah mengikat mereka terlalu kuat hingga jatuh tersungkur begitu keras, menyisakan luka dan memar yang hingga rongga dalam.
Sampai kini doa-doa masih terlantun begitu deras, menengadah tinggi kepada Tuhan, memohon begitu dalam, meminta ketidakadilan ini segera dituntaskan. Harapan-harapan ini datang dari jutaan perempuan yang sama-sama merintih dengan keadaan. Mereka yang bergerak dalam diam, mereka yang menjerit kesakitan, mereka yang haus dengan kesetaraan. Semoga keajaiban akan lekas memberi jawaban.