Jalanhijrah.com-Dalam membicarakan masalah Islam dan kemajemukan di Indonesia, sangat mengecewakan sekali penilaian tokoh kristen protestan Indonesia Mendiang Dr. Walter Bonar Sidjabat yang melihat islam sebagai halangan pluralisme di negeri ini. Ia memandang bahwa ajaran islam pada tabiatnya berlawanan dengan dasar negara Pancasila. Dan mengabaiakn bagaiamana sejarah pancasila itu dicetuskan dan dirumuskan, Sidjabat dalam penelitiannya bahwa perbedaan dalam hakikat pandangan dunia islam dan pandangan dunia yang disajikan oleh pancasila telah menyebabkan ketidaksesuaian, ketidaksesuaian ini diperbesar oleh kenetralan prinsip Kemahakuasaan Tuhan dalam konstitusi dan watak dasar yang eksklusif dari kepercayaan Islam.
Keuniversalan dan kekekalan Islam terletak pada doktrin dan ajarannya yang sesuai dan sejalan dengan fitrah manusia, sehingga tidak terjadi kebimbangan dan keraguan bagi orang yang telah percaya dan meyakini agama tersebut. Ketika Islam masuk ke Indonesia tidak menjadikan peperangan sebagai jalan dakwahnya. Melainkan mengedepankan cara kompromi dengan proses akulturasi dan perkawnan Islam dengan budaya Lokal. Hal ini sejalan dengan pendapat Gusdur yang menyatakan bahwa “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita menjadi budaya arab, bukan untuk aku jadi ana, sampean jadi antum, sedulur jadi akh. Kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi budayanya, tapi bukan ajarannya”.
Cita-Cita Islam Dan Keindonesiaan
Pancasila telah menjadi representasi dari islam indonesia dalam kehidupan berbangsa dan berbegara. Sejak pancasila disepakati oleh para pendisi bangsa sebagai ideologi negara maka bersamaan dengan itu pula islam telah berbaur dan berinkarnasi dalam wujud pancasila. Nilai-nilai islam telah diterjemahkan dalan wujud pancasila sebagai pijkaan bernegara. Pancasila sebagai common value dan common consenses, sejatinya bukan lahir dari semangat yang statis dan mistis. Pancasila lahir sebagai proses yang natural terhadap dialektika masyarakat indonesia yang plural secara ideologi, suku, dan agama.
Fenomena kemajemukan Indonesia terlihat dari jumlah, komposisi dan sebaran penduduk berdasarkan aspek-aspek sosial budaya. Dilihat dari komposisi penduduknya, Suku Jawa terbesar mencapai 40,2% dari populasi penduduk Indonesia. Diikuti Suku Sunda (15,5%), Suku Batak (3,6%), suku asal Sulawesi selain Suku Makassar, Bugis, Minahasa dan Gorontalo, serta Suku Madura (3,03%). Selain kemajemukan budaya, kesatuan bangsa Indonesia juga didasari oleh kesatuan pandangan, ideologi serta falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara. Yang secara holistik tercermin dalam sila-sila Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia.
Indonesia adalah negara multikultural, tapi bukan negara multikulturalis. Karena itu multikulturalisme tidak menjadi solusi dalam pengelolaan keragaman di Indonesia. Beberapa kategori multikulturalisme justru menjadi problem di Indonesia. Multikulturisme akibat keberadaan masyarakat yang beragam, sebenarnya memiliki ekses negatif berupa potensi konflik sosial. Sebagai akibat perbedaan yang terdapat dalam masyarakat karena nilai-nilai budaya yang dilatarbelakangi sosio kultural.
Tujuan dari risalah keislaman dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW ke bumi ini, senapas dengan cita-cita keindonesiaan yang dengan jelas termaktub dalam traktat kebangsaan pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu maka Keislaman seseorang haruslah menjadi pijakan dalam berperilaku dan bersosialisasi. Sebagaimana bahasa simbolik dalam sholat kala mengucapkan salam sebagai rukun terakhir sholat orang muslim disyaratkan untuk melirik ke sisi kiri dan kanan. Hal ini mengandung makna bahwa sesudah kita berhubungan dengan tuhan, kita harus menginterpretasikan keimanan dan sholat kita pada kerja sosial di masyarakat sekeliling kita. Karena manusia berbuat baik untuk dirinya sendiri dan manusia berbuat baik bukan untuk Tuhan, karen atuhan tidak membutuhkan amal baik manusia, yang membutuhkan semua makhluk di semesta alam ini.
Dalam situasi dan kondisi kekinian Indonesia, yang menjadi titik sentral untuk menjawab tantangan zaman tidak hanya restorasi nilai-nilai luhur pancasila, namun juga komitmen besar kalangan masyarakat politik, sipil, alim ulama, tokoh masyarakat dan elemen bangsa lainnya untuk mendukung terus persatuan sebagai rule of the game.
Tendensi politik aliran sejatinya merupakan suatu keniscayaan sejauh eksistensi politik aliran itu tidak melemahkan bangunan dasar demokrasi, pancasila dan pluralism. Ia justru menjadi kekayaan dan keniscayaan untuk memperkaya pancasila. Ia juga memajukan peradaban manusia indonesia yang ditakdirkan bersuku, beragam agama, dan berbeda pandangan politik. Akhirnya peradaban dunia kita tidak pernah didirikan di atas tumpukan batu bata persetujuan yang bulat,yakinlah itu tidak pernah terjadi.
Saat ini kita memasuki era globalisasi dan post truth, di mana dunia ini sudah semakin mirip satu sama lain, dimana batas-batas nasional semakin mudah, batas nasional yang dimaksud merupakan batas pengaruh dari luar yang mempengaruhi kita dalam mengambil sebuah keputusan. Selain pengaruh ekonomi dan politik, globalisasi juga berakibat pada pengaruh informasi yang terkadang implikasinya lebih luas dari pengaruh ekonomi dan politik, bahkan jika pengaruh informasi tersebut sudah dikemas dalam sebuah konsep operasional yang dikatakan sebagai ideologi. Pada era post truth, kebenaran bisa tumbang oleh kebohongan Orang sudah tidak lagi mengukur benar atau salahnya suatu hal tetapi tentang apa yang dia sukai dan tidak sukai.