Di era digital seperti saat ini, hampir semua orang mempunyai akun media sosial. Kehadiran medsos memudahkan seseorang untuk berkomunikasi dan berbagi kabar dengan sahabat, keluarga, maupun rekan kerja. Di sisi lain, dinamika dalam medsos mengalami pasang surut sehingga terkadang bisa mengundang kekecewaan, kesedihan, dan sejenisnya. Bagi sebagian orang, jika mengalami hal seperti ini lebih memilih untuk memblokir akun medsos orang lain.
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana hukum memblokir akun medsos orang lain? Apakah itu termasuk kategori memutuskan jalinan silaturahim?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari menjelaskan, silaturahim merupakan ajaran Islam yang sangat dianjurkan, hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 1:
وَاتَّقُوْا اللَّهَ الَّذِيْ تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya: “Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
Selain itu, Rasulullah saw juga mengingatkan tentang pentingnya menyambung ikatan silaturahim, sebagaimana dalam sabdanya:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَومِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
“Meski begitu, dalam Islam tidak diatur secara detail perihal bentuk, tata cara dan media yang dapat digunakan untuk menyambung ikatan silaturahim. Namun, pada umumnya silaturahim terimplementasikan dalam segala hal perbuatan baik pada seseorang entah itu kekerabatan maupun pertemanan,” jelas Zaeini dalam artikel Inilah Hukum Memblokir Akun Orang Lain di Media Sosial, diakses Jum’at (07/02/2025)
Pada dasarnya, kata Zaeini, jika medsos menjadi satu-satunya media untuk berkomunikasi dengan teman atau kerabat, maka memblokir akun mereka yang menyebabkan terputusnya komunikasi dan pembatasan akses, bisa masuk dalam kategori memutus ikatan silaturahim.
“Akan tetapi, perlu diketahui bahwa larangan memutus ikatan silaturahim ini berlaku dalam konteks tidak terdapat uzur yang dilegalkan oleh syariat (udzur syar’i),” ujarnya.
Bila terdapat udzur syar’i, misalnya untuk menghindari akun-akun yang kerap menebar hoaks atau berita bohong, kebencian dan provokasi, akun toxic yang kerap berkata kasar, akun bermuatan unsur SARA dan pornografi serta akun-akun berkedok penipuan, maka hukum memblokir akun tersebut diperbolehkan.
Dalam artikelnya itu, Zaeini mengutip pendapat Syekh Hasan bin Muhammad Al-‘Athar (wafat 1250 H) sebagaimana berikut:
وَقَطِيْعَةُ الرَّحِمِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ… وَمَعْنَاهُ أَنْ يَقْطَعَ مَا أَلَّفَ الْقَرِيْبُ مِنْهُ مِنْ سَابِقِ الْوَصْلَةِ وَالْإِحْسَانِ لِغَيْرِ عُذْرٍ شَرْعِيٍّ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُوْنَ الْإِحْسَانُ الَّذِي أَلَّفَهُ مِنْهُ قَرِيْبُهُ مَالًا أَوْ مُكَاتَبَةً أَوْ مُرَاسَلَةً أَوْ زِيَارَةً أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قَوْلُهُ وَالرَّحِمُ الْقَرَابَةُ أَيْ مُطْلَقُ الْقَرَابَةِ لَا بِقَيْدِ الْمُحَرَّمَاتِ
Artinya: “Dan memutus tali silaturahim, Rasulullah saw bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang memutus ikatan silaturahim. Hadits ini diriwayatkan oleh Syaikhani. Arti dari hadits tersebut ialah, memutus hal yang dapat menyambung kekerabatan yang sebelumnya telah terjalin dan kebaikan, dengan tanpa adanya udzur atau halangan syar’i, kebaikan tersebut entah berupa harta, surat, mengirim sesuatu atau berkunjung dan yang lainnya. Hubungan kekerabatan disini yakni, murni kekerabatan tanpa adanya hubungan mahram.” (Hasan bin Muhammad bin Mahmud Al-‘Athar, Hasyiyah Al-‘Athar ‘Ala Jam’ul Jawami’ [Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiyah], vol. 2, h. 183)
Larangan memutus ikatan silaturahim tersebut disinyalir dapat menimbulkan rasa sakit (idza’) terhadap orang lain. Tentu dalam diri seseorang yang akunnya diblokir akan timbul rasa tidak enak hati sebab tindakan blokir tersebut membuat dirinya terbatasi.
“Sehingga berdampak pada tidak dapat mengiriminya pesan, membalas ceritanya dan sejumlah interaksi lainnya,” tambahnya.
Selanjutnya, Zaeini juga mengutip pendapat Syekh Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil (wafat 1280 H) dalam kitab Is’ad ar-Rafiq, sebagaimana berikut:
الْمُرَادُ بِالْأَذَى الظَّاهِرِ مَا يُعَدُّ فِي الْعُرْفِ إِيْذَاءً فَفِي الزَّوَاجِرِ أَنَّ إِيْذَاءَ الْمُسْلِمِ مُطْلَقًا كَبِيْرَةٌ وَوَجْهُ التَّخْصِيْصِ بِالْجَارِ أَنَّ إِيْذَاءَ غَيْرِهِ لَا يَكُوْنُ كَبِيْرَةً إِلَّا إِنْ كَانَ لَهُ وَقَعٌ بِحَيْثُ لَا يُحْتَمَلُ عَادَةً بِخِلَافِ الْجَارِ فَإِنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ كَوْنُهُ كَبِيْرَةً اِلَّا أَنْ يَصْدُقَ عَلَيْهِ عُرْفًا أَنَّهُ إِيْذَاءٌ وَوَجْهُهُ ظَاهِرٌ لِمَا فِي الْأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ مِنْ تَأْكِيْدِ حُرْمَتِهِ وَرِعَايَةِ حَقِّهِ
Artinya: “Yang dikehendaki menyakiti secara terang-terangan ialah hal yang secara keumumannya dapat menyinggung, dalam kitab Az-Zawajir terdapat kejelasan bahwasanya menyakiti seorang muslim secara mutlak termasuk dosa besar, sedangkan kekhususannya berlaku terhadap tetangga sebagaimana tertera dalam hadits yang mengindikasikan bahwa menyakiti selainnya bukanlah merupakan dosa besar, kecuali terdapat hal lain sekira tidak dapat ditolelir menurut umumnya. Beda halnya dengan permasalahan tetangga, sebab menyakitinya bukanlah termasuk dosa besar kecuali dalam praktiknya hal itu secara keumuman dianggap menyakitkan, hal ini sudah jelas tertera dalam beberapa hadist sahih yang berisi penguatan larangan hal tersebut dan menjaga hak tetangga.” (Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil, Is’ad Ar-Rafiq wa Bughyah As-Shadiq [Surabaya: Al-Haramain], vol. 2, h. 119)
Dengan demikian, Zaeini menyimpulkan bahwa hukum memblokir akun media sosial orang lain adalah diperbolehkan jika memang terdapat unsur udzur syar’i atau uzur yang dilegalkan oleh syariat. Sebaliknya, jika tidak ada udzur syar’i, maka hukum memblokir akun medsos orang lain tidak diperbolehkan karena dapat memutus ikatan silaturahim.
Sumber: https://www.arina.id/berita/ar-R14jE/hukum-memblokir-akun-medsos-orang-lain