Héléne Cixous Mengajak Perempuan Menulis

Jalanhijrah.com-Héléne Cixous adalah satu dari sekian banyak feminis kontemporer seperti Gayatri Spivak, Barbara Johnson dan lain sebagainya yang terpengaruh oleh filosof postmodern Jacques Derrida. Derrida sendiri merupakan filsuf yang terkenal dengan gagasannya mengenai dekonstruksi. Khususnya kajiannya yang banyak mendekonstruksi teks-teks dari para filsuf sebelumnya, seperti karya-karya Heidegger, Lacan dan lainnya. Dengan dekonstruksi tersebut, Derrida menulis dan mengkritik pola logosentris dan bineritas dari para filsuf sebelumnya.

Sebagaimana Derrida, Héléne Cixous juga berkelut dalam dunia teks, alias tulisan yang menurutnya perlu adanya dekonstruksi karena banyaknya problematika gender dibaliknya. Namun, sebelum jauh berkenalan dengan gagasannya, sebagai pengantar, sejenak marilah kita untuk berkenalan dari latar belakang kehidupan dari Cixous.

Sebuah Biografi

Seorang feminis dengan nama panjang Héléne Cixous ini lahir pada tanggal 5 Juni 1937 di Oran, Algeria (Aljazair). Sebuah negara di Afrika bagian utara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di usia yang masih muda yakni 12 tahun, Cixous harus menerima kematian Ayahnya yang menderita tuberculosis. Cixous lahir dari keturunan yang beragam, ayahnya berasal dari keturunan campuran Spanyol dan Prancis, sedangkan ibunya keturunan Austro ­Jerman, sehingga ibunya lebih berbahasa Jerman.

Cixous adalah penulis ulung, dari keuletannya ia sekurang-kurangnya telah menghasilkan 40 buku, yang meliputi 34 karya mengenai fiksi atau drama. Selain buku, ia juga tekun menulis lebih dari seratus artikel, mulai dari kajian filsafat, feminisme, teori sastra dan juga kritik sastra. Melalui kajian itu pula, namanya begitu populer pada kalangan teoritikus dan kritikus di Inggris.

Baca Juga  Sejarah Awal Mula Ibadah Shalat Disyariatkan

Di tahun 1968, ia menerbitkan karya pertamanya dengan judul Le Prenom de dieu, sebuah novel yang menggunakan prinsip Derridean, yang mana tokohnya misterius, ketidakhadiran tokoh, yang memaksa pembaca menafsirkan ulang ceritanya. Di tahun berikutnya 1969, Cixous mendapatkan penghargaan the Prix Medicis atas karyanya dengan judul Dedans. Setahun setelah itu 1973, Cixous mulai mengkaji mengenai pembedaan seksual melalui karyanya Potreit du Soleil. Kemudian, di tahun 1974, ia mulai mendirikan lembaga the Centre de recherches en etudes feminines di Paris VIII. Tidak berselang lama, dua tahun kemudian 1976, Cixous mengumpulkan berbagai karyanya dalam sebuah satu publikasi melalui the Editions des femmes. Sebagai ikhtiar politik dan keikutsertaannya dalam rangka gerakan perempuan.

Derrida dan Cixous

Cixous mengadopsi beberapa gagasan-gagasan dari Derrida, mulai dari kiritiknya pada logosentrisme (bahasa rasional tersentralisasi), phallosentrisme (cara berpikir laki­-laki) dan pola pikir dikotomis yang memiliki hierarki dalam sebuah oposisi bineritas. Berlandaskan pemikiran-pemikiran Derrida tersebut, Cixous melancarkan dekonstruksinya pada konsep patriarki dalam sebuah teks. Ia membongkarnya melalui pembacaan teks dan penulisan feminim yang berbeda dari teks sebelumnya.

Melalui keuletannya dalam upaya re-eksperimen dekonstruksinya dalam gaya sastrawi, ia menemukan sebuah konsep mengenai feminine writing dan masculine writing. Melalui penemuan itu, ia hendak mengatakan bahwa penulisan-penulisan maskulin bersumber dari alat vital laki-laki dan libidonya yang terbalut oleh “falus”-nya. Penulisan-penulisan maskulin cenderung logosentris berkiblat pada dirinya sendiri. Berarti memiliki makna sejauh berkaitan dengan relasi manusia laki-laki atau bapak selaku pemilik falus. Bahkan dalam beberapa kasus, penulisan maskulin terlihat lebih superior daripada penulisan feminim.

Baca Juga  KKB Papua, Organisasi Teroris dan Ancaman Perpecahan Bangsa

Cixous hendak mengatakan dalam hal ini bahwa terdapat bias gender dalam penulisan oleh laki-laki. Apalagi ketika laki-laki tersebut berbicara mengenai feminitas. Bahkan tidak terelakkan pula, bahwa tulisan ini sendiri berpotensi bias gender. Pasalnya, ketika laki-laki menulis, khususnya mengenai feminisme, mereka tidak mengalami langsung dalam pengalaman hidupnya. Berbeda dengan perempuan yang mengalami langsung dalam kehidupannya. Kesadaran gender laki-laki hanya sejauh kesadaran pembacaan teks atau pengamatan fenomena, ia tidak memiliki kesadaran mendalam mengenai pengalaman sebagaimana perempuan.

Mengajak Perempuan Untuk Menulis

Oleh karenanya, Cixous menolak cara-cara penulisan maskulin yang memiliki hierarki oposisi biner yang memposisikan perempuan dalam terminologi negatif, pasif, inferior, the other, objek. Sedangkan berkebalikan dengan itu, laki-laki berada pada posisi terminologi aktif, positif, superior, subjek, the self, dan lain sebagainya. Perempuan hadir di dalam realitas masyarakat sesuai dengan yang didefinisikan laki-laki, sesuatu yang telah dikonstruksikan oleh laki-laki.

 

Untuk mengatasi problem gender demikian, feminis Cixous menawarkan sebuah gaya penulisan baru (yang lebih feminim) tentunya berbeda dengan gaya penulisan sebelumnya (yang didominasi maskulin). Cixous mengajak kepada seluruh perempuan di dunia, untuk menulis. Perempuan harus menulis, entah itu dari pengalamannya, pikiran-pikirannya, hasratnya, maupun kesenangannya, tanpa harus terbelenggu dalam konstitusi-konstitusi yang berasal dari laki-laki.

Namun, Cixous menyadari bahwa feminine writing bukanlah sesuatu yang mudah, bahkan bisa saja justru terjebak pada kata-kata. Oleh karenanya, feminine writing harus lebih terbuka, plural, kegairahan, penuh ritmik dan segala hal yang sebelumnya tidak pernah muncul dalam teks-teks maskulin. Salah satu contoh penulisan feminim yaitu ada dalam karya Susan Sellers (1994) yang berjudul Héléne Cixous Reader, yang meruntutkan secara kronologis gagasan-gagasan Cixous. Bahkan Cixous sendiri yang memberikan pengantar dalam buku tersebut.

Baca Juga  Jurus Pentahelix BNPT, Bisakah Membasmi Terorisme?

Sekali lagi, sebagai penutup, wahai kaum perempuan sedunia, menulislah!

Muhammad Maulana Iqbal

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *